HIKAYAT POHON MANGGA
Ivan Taniputera
30 Maret 2012
Alkisah pada zaman dahulu di halaman sebuah rumah yang amat sangat besar serta dihuni banyak orang, tumbuh subur banyak pohon mangga. Kebetulan penghuni rumah juga sangat menggemari mangga. Harga mangga di pasaran adalah Rp. 10.000,- / buah. Sebenarnya warga rumah tersebut tinggal petik saja. Meskipun demikian, di dalam rumah itu warganya harus membeli mangga sebesar rp. 4500/ buah. Kepala keluarga bersikeras bahwa ia telah mensubsidi penghuni rumah itu sebesar rp 5500. Sebenarnya kalau diteliti, ongkos yang dikeluarkan adalah untuk memetik mangga itu, mencuci, membungkus, dan menyalurkannya ke masing-masing penghuni yang membutuhkan. Dan TERNYATA.... ongkosnya semua itu hanya rp. 300 per buah mangga. . Yang lebih parah lagi. Banyak pohon mangga yang sudah diijonkan ke para tetangga. Lalu uang hasil pengijonan pohon mangga itu masuk ke mana? Suatu ketika, sang kepala keluarga punya ide jitu yang katanya demi menambah perbendaharaan kas keluarga dan berderma pada si miskin. Ide brilian itu adalah menaikkan harga per butir mangga menjadi rp. 6000. Akhirnya penghuni rumah marah dan mendemonstrasi kepala keluarga. Intinya kepala keluarga harus turun. Apakah moral cerita ini? Hanya rumput bergoyang yang tahu. Aku hanyalah penulis hikayat yang bodoh.
Tempatnya penggemar Sejarah, Sains, Astrologi, Teknologi, dan Metafisika
Jumat, 30 Maret 2012
Kamis, 29 Maret 2012
Kekerabatan Antara Luwu', Gowa, dan Toraja
Kekerabatan Antara Penguasa Luwu', Gowa, dan Toraja
Ivan Taniputera
29 Maret 2012
Saya mau sharing lagi tentang asal muasal penguasa di Toraja. Ini memperlihatkan kaitan antara Toraja dan Luwu:
Puang Laki Padada dikenal sebagai cucu Timboro Langi', salah seorang tomanurung paling terkenal dari Tana Toraja. Ayah Beliau, Puang Sanda Boro, menikahi seorang wanita yang dijumpai dalam bambu, yakni yang dikenal sebagai To Bu'tu ri Pattung atau Orang Yang Muncul dari Dalam Bambu. Pernikahan ini dikaruniai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri. Yang putera adalah Laki Padada, yang merasa sedih karena kematian saudarinya. Beliau lalu bertekad mencari cara menemukan keabadian. Pengembaraan Beliau membawanya hingga ke Gowa, dan akhirnya Beliau berhasil menikahi puteri penguasa Gowa. Pernikahan ini membuahkan tiga orang anak, yakni:
1.Pattala Merang yang menjadi penguasa Gowa.
2.Patala Bunga yang menjadi penguasa Luwu.
3.Patala Bantan, yang kembali ke Toraja dan menikah dengan Petimba Bulan (Gayung Emas).
Petimba Bulan sendiri merupakan puteri atau cucu Manaek, yakni pendiri tongkonan Nonogan di kawasan Sanggalangi'. Pattala Bantan kemudian pergi ke Sanggalla' dan menjadi penguasa atas kawasan yang dikenal sebagai Tallu Lembangna.
(Sumber: "Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtennar," halaman 175.
Yang menjadi pertanyaan saya, Pattala Merang dan Patala Bunga tidak pernah disebutkan dalam daftar raja-raja Gowa maupun Luwu. Meskipun demikian, hikayat di atas nampaknya hendak menjelaskan kekerabatan antara Gowa, Luwu, dan Toraja.
Ivan Taniputera
29 Maret 2012
Saya mau sharing lagi tentang asal muasal penguasa di Toraja. Ini memperlihatkan kaitan antara Toraja dan Luwu:
Puang Laki Padada dikenal sebagai cucu Timboro Langi', salah seorang tomanurung paling terkenal dari Tana Toraja. Ayah Beliau, Puang Sanda Boro, menikahi seorang wanita yang dijumpai dalam bambu, yakni yang dikenal sebagai To Bu'tu ri Pattung atau Orang Yang Muncul dari Dalam Bambu. Pernikahan ini dikaruniai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri. Yang putera adalah Laki Padada, yang merasa sedih karena kematian saudarinya. Beliau lalu bertekad mencari cara menemukan keabadian. Pengembaraan Beliau membawanya hingga ke Gowa, dan akhirnya Beliau berhasil menikahi puteri penguasa Gowa. Pernikahan ini membuahkan tiga orang anak, yakni:
1.Pattala Merang yang menjadi penguasa Gowa.
2.Patala Bunga yang menjadi penguasa Luwu.
3.Patala Bantan, yang kembali ke Toraja dan menikah dengan Petimba Bulan (Gayung Emas).
Petimba Bulan sendiri merupakan puteri atau cucu Manaek, yakni pendiri tongkonan Nonogan di kawasan Sanggalangi'. Pattala Bantan kemudian pergi ke Sanggalla' dan menjadi penguasa atas kawasan yang dikenal sebagai Tallu Lembangna.
(Sumber: "Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtennar," halaman 175.
Yang menjadi pertanyaan saya, Pattala Merang dan Patala Bunga tidak pernah disebutkan dalam daftar raja-raja Gowa maupun Luwu. Meskipun demikian, hikayat di atas nampaknya hendak menjelaskan kekerabatan antara Gowa, Luwu, dan Toraja.
Minggu, 25 Maret 2012
Lanjutan Kursus Ziweidoushu Tahap II Oleh Master Xiangyi
Lanjutan Kursus Ziweidoushu Tahap II Oleh Master Xiangyi
Ivan Taniputera
25 Maret 2012
Pada tanggal 24 Maret dan 25 Maret 2012 telah diadakan lanjutan kursus Ziweidoushu tahap kedua. Kursus ini merupakan lanjutan kursus tahap pertama dan membahas makna berbagai bintang utama beserta kombinasi-kombinasinya dengan bintang minor.
Bagi para penggemar metafisika Tiongkok, khususnya Ziweidoushu, ini merupakan pengetahuan yang sangat berharga.
Ivan Taniputera
25 Maret 2012
Pada tanggal 24 Maret dan 25 Maret 2012 telah diadakan lanjutan kursus Ziweidoushu tahap kedua. Kursus ini merupakan lanjutan kursus tahap pertama dan membahas makna berbagai bintang utama beserta kombinasi-kombinasinya dengan bintang minor.
Bagi para penggemar metafisika Tiongkok, khususnya Ziweidoushu, ini merupakan pengetahuan yang sangat berharga.
Selasa, 13 Maret 2012
Sekilas Jejak Tionghua di Kalimantan Timur
Sekilas Jejak Tionghua di Kalimantan Timur
Ivan Taniputera
13 Februari 2012
GUNUNG KOMBENG
Gunung Kombeng terletak di Kecamatan Muara Wahau, Sungai Pantun, Kalimantan Timur. Lokasi ini sebenarnya merupakan situs bersejarah, yang banyak ditemukan berbagai arca, baik dari Siwaisme maupun Buddhisme. Menurut penuturan hikayat setempat, pada abad ke-18, datanglah seorang bangsawan Tiongkok bernama Lou Kong Beng. Konon karena terjadinya bencana alam berupa gempa bumi, perahu jung yang mereka tumpangi pecah di dekat gunung tersebut. Anggota rombongan yang masih hidup lantas meneruskan perjalanannya ke gunung itu. Berdasarkan nama pemimpin rombongan, yakni Lou Kong Beng, maka dinamailah gunung tersebut sebagai Gunung Kombeng.
Uniknya warga suku Bahau yang berdiam di sana memiliki nama-nama yang mirip dengan nama Tionghua, seperti Wang Pek, Wang Li, Ding Li, Biang Koek, dan lain sebagainya (lihat Kutai Perbendarahaan Kebudayaan Kalimantan Timur, halaman 56. Lebih jauh lagi, upacara dan ritual kematian mereka juga mirip Tionghua. Mereka menyediakan tiruan rumah-rumahan beserta perkakasnya, hanya saja bedanya dengan tata cara Tionghua, benda-benda tersebut bukan dibakar melainkan digantungkan di atas tiang kayu yang ditancapkan miring di atas kuburan. Selain itu, mereka juga menyertakan padi dalam karung yang diletakkan begitu saja di atas kuburan.
SALASILAH KUTAI
Dalam buku Salasilah Kutai juga dikisahkan mengenai seorang pangeran Tiongkok yang mengadu ayam jago dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti, yakni raja Kutai Kertanegera yang pertama. Konon saat itu, ayam jago bernama Bokor Perak milik Pangeran Tiongkok dikalahkan oleh Ujung Perak Kemudi Besi, yakni nama ayam jago raja Kutai.
Berdasarkan hikayat-hikayat ini diperlihatkan bahwa telah ada hubungan antara Kutai dengan Tiongkok.
DAFTAR PUSTAKA :
1)Adham, D. Salasilah Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1981.
2)Dewan Redaksi Penerbitan Kutai Masa Lampau, Kini, dan Esok, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1979.
Ivan Taniputera
13 Februari 2012
GUNUNG KOMBENG
Gunung Kombeng terletak di Kecamatan Muara Wahau, Sungai Pantun, Kalimantan Timur. Lokasi ini sebenarnya merupakan situs bersejarah, yang banyak ditemukan berbagai arca, baik dari Siwaisme maupun Buddhisme. Menurut penuturan hikayat setempat, pada abad ke-18, datanglah seorang bangsawan Tiongkok bernama Lou Kong Beng. Konon karena terjadinya bencana alam berupa gempa bumi, perahu jung yang mereka tumpangi pecah di dekat gunung tersebut. Anggota rombongan yang masih hidup lantas meneruskan perjalanannya ke gunung itu. Berdasarkan nama pemimpin rombongan, yakni Lou Kong Beng, maka dinamailah gunung tersebut sebagai Gunung Kombeng.
Uniknya warga suku Bahau yang berdiam di sana memiliki nama-nama yang mirip dengan nama Tionghua, seperti Wang Pek, Wang Li, Ding Li, Biang Koek, dan lain sebagainya (lihat Kutai Perbendarahaan Kebudayaan Kalimantan Timur, halaman 56. Lebih jauh lagi, upacara dan ritual kematian mereka juga mirip Tionghua. Mereka menyediakan tiruan rumah-rumahan beserta perkakasnya, hanya saja bedanya dengan tata cara Tionghua, benda-benda tersebut bukan dibakar melainkan digantungkan di atas tiang kayu yang ditancapkan miring di atas kuburan. Selain itu, mereka juga menyertakan padi dalam karung yang diletakkan begitu saja di atas kuburan.
SALASILAH KUTAI
Dalam buku Salasilah Kutai juga dikisahkan mengenai seorang pangeran Tiongkok yang mengadu ayam jago dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti, yakni raja Kutai Kertanegera yang pertama. Konon saat itu, ayam jago bernama Bokor Perak milik Pangeran Tiongkok dikalahkan oleh Ujung Perak Kemudi Besi, yakni nama ayam jago raja Kutai.
Berdasarkan hikayat-hikayat ini diperlihatkan bahwa telah ada hubungan antara Kutai dengan Tiongkok.
DAFTAR PUSTAKA :
1)Adham, D. Salasilah Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1981.
2)Dewan Redaksi Penerbitan Kutai Masa Lampau, Kini, dan Esok, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1979.
Minggu, 11 Maret 2012
Sabtu, 03 Maret 2012
Festival Tabot di Bengkulu
Festival Tabot di Bengkulu
Ivan Taniputera
3 Maret 2012
Judul buku: Tabot: Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu
Penulis : Dr. Harapandi Dahri
Penerbit: Penerbit Citra, 2009
Jumlah halaman: 162
Festival Tabot merupakan salah satu kekayaan khazanah budaya Nusantara yang dimiliki oleh masyarakat Bengkulu. Perayaan yang diadakan 1-10 Muharram ini erat kaitannya dengan aliran Syiah. Inti upacara ini dimaksudkan mengumpulkan bagian-bagian jenazah Husain bin Ali bin Abi Thalib (halaman 71). Tidak ada catatan tertulis, kapan upacara ini mulai dilakukan di Bengkulu, namun ada yang mengatakan bahwa perayaan ini mulai ada semenjak pembangunan benteng Marlborough di Bengkulu (halaman 71). Upacara Tabot diawali pada tanggal 1 Muharram dengan pengambilan tanah di dua tempat yang dianggap keramat, yakni Tapak Padri dan Anggut. Penutupan perayaan ini berlangsung pada tanggal 10 Muharram dan disebut sebagai "tabot tebuang." (halaman 72). Tempat berakhirnya perayaan ini adalah Tempat Pemakaman Umum Karbala di Kawasan Padang Jati, Bengkulu. Alasan pemilihan lokasi ini adalah adanya keyakinan bahwa di sanalah tempat Syekh Burhanuddin (Imam Senggolo) dimakamkan (halaman 72). Menurut buku ini, tradisi perayaan Tabot dibawa oleh para tukang yang ditugaskan membangun benteng Marlborough.
Hal menarik lain yang didapat dari buku ini adalah penuturan sejarah ringkas Bengkulu. Konon sejarah Bengkulu diawali oleh Ratu Agung, yang konon merupakan keturunan dewa dari Gunung Bungkuk (halaman 58). Ratu Agung memiliki enam orang putera yang berperang melawan Aceh. Dalam perjalanan waktu selanjutnya, mereka kemudian mengundurkan diri ke Gunung Bungkuk. Karena Bengkulu tidak lagi memiliki pemimpin, maka datanglah empat dari Lebong guna mengambil alih kekuasaan di kawasan tersebut. Meskipun demikian, belakangan timbul perselisihan di antara mereka, yang berhasil diredakan oleh utusan raja Minangkabau bernama Maha Raja Sakti. Raja Minangkabau kemudian mengangkat Maha Raja Sakti sebagai raja Bengkulu. Sebagai tambahan, buku ini juga memaparkan sekilas mengenai adat istiadat Bengkulu, termasuk yang berkaitan dengan upacara pernikahan.
Buku ini patut dimiliki oleh siapa saja yang ingin mengenal budaya Nusantara pada umumnya dan sejarah beserta budaya Bengkulu pada khususnya.
Ivan Taniputera
3 Maret 2012
Judul buku: Tabot: Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu
Penulis : Dr. Harapandi Dahri
Penerbit: Penerbit Citra, 2009
Jumlah halaman: 162
Festival Tabot merupakan salah satu kekayaan khazanah budaya Nusantara yang dimiliki oleh masyarakat Bengkulu. Perayaan yang diadakan 1-10 Muharram ini erat kaitannya dengan aliran Syiah. Inti upacara ini dimaksudkan mengumpulkan bagian-bagian jenazah Husain bin Ali bin Abi Thalib (halaman 71). Tidak ada catatan tertulis, kapan upacara ini mulai dilakukan di Bengkulu, namun ada yang mengatakan bahwa perayaan ini mulai ada semenjak pembangunan benteng Marlborough di Bengkulu (halaman 71). Upacara Tabot diawali pada tanggal 1 Muharram dengan pengambilan tanah di dua tempat yang dianggap keramat, yakni Tapak Padri dan Anggut. Penutupan perayaan ini berlangsung pada tanggal 10 Muharram dan disebut sebagai "tabot tebuang." (halaman 72). Tempat berakhirnya perayaan ini adalah Tempat Pemakaman Umum Karbala di Kawasan Padang Jati, Bengkulu. Alasan pemilihan lokasi ini adalah adanya keyakinan bahwa di sanalah tempat Syekh Burhanuddin (Imam Senggolo) dimakamkan (halaman 72). Menurut buku ini, tradisi perayaan Tabot dibawa oleh para tukang yang ditugaskan membangun benteng Marlborough.
Hal menarik lain yang didapat dari buku ini adalah penuturan sejarah ringkas Bengkulu. Konon sejarah Bengkulu diawali oleh Ratu Agung, yang konon merupakan keturunan dewa dari Gunung Bungkuk (halaman 58). Ratu Agung memiliki enam orang putera yang berperang melawan Aceh. Dalam perjalanan waktu selanjutnya, mereka kemudian mengundurkan diri ke Gunung Bungkuk. Karena Bengkulu tidak lagi memiliki pemimpin, maka datanglah empat dari Lebong guna mengambil alih kekuasaan di kawasan tersebut. Meskipun demikian, belakangan timbul perselisihan di antara mereka, yang berhasil diredakan oleh utusan raja Minangkabau bernama Maha Raja Sakti. Raja Minangkabau kemudian mengangkat Maha Raja Sakti sebagai raja Bengkulu. Sebagai tambahan, buku ini juga memaparkan sekilas mengenai adat istiadat Bengkulu, termasuk yang berkaitan dengan upacara pernikahan.
Buku ini patut dimiliki oleh siapa saja yang ingin mengenal budaya Nusantara pada umumnya dan sejarah beserta budaya Bengkulu pada khususnya.
Langganan:
Postingan (Atom)