Daoshi, Filsuf Tiongkok, dan Sains Modern: Suatu Perbandingan
(Ivan Taniputera, 21 Juli 2011)
Sepanjang sejarahnya yang ribuan tahun, Tiongkok telah mengembangkan berbagai aliran filsafat dan pandangan, bahkan pada masa Dinasti Chou dikenal "zaman Seratus Aliran Filsafat." Salah satunya adalah Daoisme, yang menurut keyakinan didirikan ...oleh Laozi. Daoisme sendiri kemudian mengalami perkembangan dan timbul pula beberapa aliran. Salah satu aliran itu adalah Tianshidao yang didirikan oleh Zhang Daoling. Guru Sesepuh Tianshidao ini terkenal sanggup mengobati orang, sehingga para pengikut yang bergabung dengan Tianshidao semakin banyak. Lalu pada masa akhir Dinasti Han pecah pula pemberontakan Destar Kuning (Huangqin) yang dipimpin oleh tiga bersaudara Zhang. Konon Zhang Yue salah seorang di antara mereka pandai pula mengobati orang dengan membagi-bagikan jimat. Zhang sendiri dahulunya juga belajar ilmu pengobatan, namun ia akhirnya beralih haluan pada politik dan berniat menggulingkan Dinasti Han (206 SM-221 M).
Sesepuh ilmu pengobatan di Tiongkok sebenarnya adalah Shennong, salah seorang kaisar legendaris, yang konon pernah mencoba seluruh tumbuh-tumbuhan guna mengetahui racun dan tidaknya tumbuhan tersebut. Dengan kata lain, Shennong telah menggunakan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan.
Kembali pada Daoisme, perkembangan selanjutnya melahirkan aliran-aliran Zhengyi dan Quanzhen. Salah satu obsesi para Daoshi adalah menciptakan ramuan panjang umur atau hidup abadi. Pada mulanya mereka berniat menggunakan obat-obatan yang diminum; inilah yang disebut waitan (alkimia luar). Kendati demikian, eksperimen mereka mengalami kegagalan, dan banyak kaisar-kaisar Tiongkok, yang mati keracunan. Sebagai catatan, salah satu bahan yang dipakai adalah air raksa. Selaku logam berat, cairan ini sungguh beracun. Belajar dari kegagalan itu, para daoshi, beralih pada pelatihan diri manusia sendiri, misalnya melalui yoga dan meditasi. Inilah yang dikenal sebagai neitan (alkimia dalam). Tokohnya adalah Wang Chongyang.
Dalam bidang kosmologi, semenjak lama para Daoshi melakukan pengamatan terhadap alam sekitar mereka. Tentu saja dengan memanfaatkan segenap kemampuan yang ada pada masa itu, sehingga melahirkan pandangan kosmologisnya sendiri. Kosmologi Daoisme, mengajarkan bahwa segala sesuatu berawal dari Wuji, yang melahirkan Daiji, dan seteruskan. Dari maha dwi kutub (liangyi), lahirlah yinyang. Kemudian muncul lima elemen (wuxing). Selanjutnya timbul pula 10 batang langit atau diangan (jia, yi, bing, ding, wu, ji, geng, xin, ren, dan gui) serta 12 cabang bumi atau dizi (zi, chou, yin, mao, chen, shi, wu, wei, shen, you, xu, dan hai); yang pada hakikatnya adalah wuxing dan yinyang. Dari perpaduan semuanya itu lahirlah segenap fenomena yang tak terhingga jumlahnya. Kita tidak akan membahas ini lebih lanjut; tetapi pandangan Tionghua mengenai nasib dilandasi oleh hal ini; sehingga lahir ilmu peramalan, seperti bazi, ziweidoushu, dll.
Meskipun demikian, bagi Daoisme kendati nasib dapat “dihitung” namun bukanlah sesuatu yang tak dapat berubah lagi. Jika hitungan nasibnya buruk, dilakukan berbagai “penyiasatan.” Inilah yang dikenal sebagai ritual ciswak atau qisha. Menurut teori Daois ritual ini adalah “menggeser” tiangan dan dizi yang buruk.
Lalu bagaimanakah sains modern? Pada intinya sains modern lahir karena manusia ingin mengubah dan mengatasi suatu permasalahan yang mendera hidupnya. Sama seperti para Daoshi mereka melakukan pengamatan terhadap alam, lalu selanjutnya mereka melakukan sistematika dan memanfaatkan data-datanya demi mengatasi problematika umat manusia. Hasilnya adalah dilahirkan beberapa penemuan yang memperbaiki kualitas hidup manusia. Sebagai contoh, Alexander Fleming yang menemukan insulin guna mengobati penderita diabetes. Louis Pasteur yang menemukan pasteurisasi agar makanan dapat bertahan lebih lama. Dr. Christian Barnard yang menemukan proses cangkok jantung. Thomas Alva Edison yang menemukan bola lampu listrik. Masih banyak lagi rangkaian penemuan lainnya.
Menilik contoh-contoh di atas, nampak nyata ada kesamaan semangat antara para daoshi dan ilmuwan modern, walaupun memanifestasi pada hal yang berbeda; yakni “keinginan mengubah sesuatu ke arah lebih baik.” Mereka “tidak terima” dengan kondisi yang sudah ada dan merasa bahwa kehidupan manusia bisa lebih baik lagi. Mereka tidak hanya menyerah dan menerima nasibnya begitu saja. Jika Thomas Alva Edison hanya menyerah saja pada kondisi manusia pada zamannya, kita masih hidup dalam kegelapan malam hari dengan diterangi lampu minyak atau sebatang lilin. Inilah pararelisme yang nyata antara daoshi dan para filsuf Tiongkok dengan ilmuwan modern. Kedua, mereka sama-sama melakukan pengamatan terhadap alam dan memanfaatkannya demi memperbaiki kualitas hidup manusia.