Sekelumit Sejarah Raja-raja atau Pemuka di Tanah Dayak
Ivan Taniputera
21 Agustus 2011
Uraian ini bersumber dari buku “The Head-Hunters of Borneo: A Narrative of Travel up the Mahakam and Down the Barito; also Journeyings in Sumatra” oleh Carl Bock, penerbit Oxford University Press, 1985. Carl Alfed Bock (1849-1932) sendiri merupakan seorang ahli ilmu pengetahuan alam (naturalis) berkebangsaan Norwegia. Ia mengadakan kunjungan ke Kepulauan Nusantara pada tahun 1878-an. Dalam karyanya itu, Bock menuliskan mengenai para pemuka suku Dayak, yang juga bergelar rajah (raja), yakni Rajah Dinda beserta saudaranya, Sinen. Ia menggambarkan Rajah Dinda sebagai berikut:
Rajah Dinda is a powerfully-built man, standing 5 ft. 9 in., very muscular, and with limbs of Herculean dimensions. His face is rather small, with delicate feature, giving him a feminime appearance, which the total absence of beard increases, and which contrasts strangely with the vigour of his prodigious frame. He is descended from an old dynasty which has held authority in Long Wai from tempo doelo (olden times), as the Malay say of anything that dates back more than two generations. (halaman 65).
Berdasarkan uraian dalam buku itu, Rajah Dinda berada di bawah otoritas sultan Kutai (Koetei). Dengan demikian, Kesultanan Kutai banyak membawahi para pemuka Dayak.
Selanjutnya disebutkan pula mengenai Rajah Dadu dari Tidung (Tidoen) yang bersama-sama menumpang kapal “Tiger”:
Besides the Assistant Resident, the company consisted of the Pangeran Bendahara, who knows all the people along the coast, with his doroe tjoelis, or secretary; Rajah Dadu of Tidoen, who lives at Sanga Sanga, not far from Pelaroeng; and Mr. Seitz’s precis writer, a young Chinaman (halaman 90).
Dadu ini barangkali mengacu pada gelar “Datu” yang merupakan gelar kebanyakan raja Tidung. Oleh karenanya, kehistorisan Kerajaan Tidung dikukuhkan pada karya di atas. Di Tidung memang pernah ada kerajaan, walaupun bukan dalam artian kerajaan yang diakui Belanda.