Tokoh dari Surabaya: Wawancara Dengan Pak Oei Him Hwie, Pendiri Perpustakaan Medayu Agung
Ivan Taniputera
10 September 2011
Jika ada yang bertanya siapakah salah seorang tokoh di Surabaya yang memiliki sumbangsih besar dalam dunia perpustakaan, maka jawabannya adalah Pak Oei Him Hwie. Penulis sudah lama mengenal Beliau, namun baru pada tanggal 10 September 2011 berkesempatan mewawancarai Beliau. Waktu itu penulis mengunjungi perpustakaan yang Beliau dirikan, namun Pak Oei sedang pulang ke rumahnya yang terletak tak jauh dari sana. Oleh karenanya, penulis menyusul Beliau ke tempat kediamannya dan setelah itu bersama-sama kembali ke perpustakaan.
Mungkin belum banyak yang mengenal Beliau. Pak Oei Him Hwie yang dilahirkan pada tahun 1935 merupakan pendiri Perpustakaan Medayu Agung, yakni perpustakaan yang mengkhususkan diri pada literatur-literatur sejarah. Sewaktu beberapa kali mengunjungi Perpustakaan Medayu Agung, penulis memang sempat menyaksikan beberapa mahasiswa sejarah sedang mencari data di sana. Dengan demikian, perpustakaan yang terletak di Jl. Medayu Selatan IV/ 42-44, Surabaya, ini sangat membantu pelestarian dan penyebaran sejarah beserta ilmu pengetahuan.
Wawancara dengan Pak Oei berlangsung santai dan sebelumnya penulis sempat diajak melihat-lihat koleksi-koleksi Beliau, yang antara lain terbagi menjadi koleksi langka dan khusus. Koleksi langka berisikan buku-buku kuno dan langka, seperti buku koleksi karya seni Ir. Soekarno yang hanya dicetak terbatas dan diperoleh dari Bung Karno sendiri. Buku kumpulan koleksi itu berisikan foto-foto karya seni yang asli dan bukannya cetakan. Semuanya ditampilkan berwarna. Tidak banyak yang berkesempatan memilikinya. Selanjutnya terdapat pula Ensiklopedia dari zaman kolonial. Bahkan Pak Oei juga mempunyai buku Mein Kampf berbahasa Jerman yang asli. Di ruangan koleksi khusus kita dapat menyaksikan buku-buku tentang Bung Karno, Pramoedya Ananta Toer (Pram), sejarah Tionghua di Indonesia, dan sejarah Indonesia. Masih ada lagi buku-buku mengenai Tiong Hoa Hwee Koan dan organisasi Tionghua Indonesia yang dipajang di etalase kaca khusus. Bahkan ada pula piringan hitam yang berisikan pidato Hitler. Karena kondisinya yang sudah tua, piringan hitam itu tidak dapat lagi diputar. Bila diputar timbul kekhawatiran piringan hitam tersebut akan mengalami kerusakan.
Kini kita akan sekilas menapak-tilasi kisah kehidupan Pak Oei. Beliau dilahirkan di Malang, Jawa Timur, dan menjalani profesi sebagai wartawan. Semasa mudanya, Beliau merupakan pecinta buku dan telah banyak mengumpulkan berbagai literatur berharga serta kliping-kliping koran khususnya terkait sejarah. Saat bertugas sebagai wartawan, Beliau sempat mewawancara Ir. Soekarno dan memperoleh berbagai barang kenang-kenangan, seperti jam dan album karya seni koleksi presiden pertama Republik Indonesia tersebut. Namun perjalanan hidup Beliau tidaklah selamanya mulus. Prahara melanda negeri kita dengan meletusnya pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Pak Oei ditahan oleh pemerintah Orde Baru dengan tuduhan sebagai anggota Baperki dan seorang Soekarnois. Tuduhan sebagai Soekarnois itu dikarenakan Beliau pernah meliput mengenai Bung Karno dan banyak memiliki foto-fotonya.
Berdasarkan informasi Pak Oei, Baperki yang merupakan singkatan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia waktu itu memperjuangkan persamaan hak dan tak menyetujui politik asimilasi. Organisasi itu memang memiliki kedekatan dengan Bung Karno, sehingga tokoh-tokohnya ditangkapi oleh pemerintah Orde Baru. Perjalanan nasib membawa Pak Oei ke Pulau Buru bersama para tahanan politik (tapol) lainnya. Selama 13 tahun Beliau menjalani penahanan di Pulau Buru. Namun penahanan tersebut membawa Beliau mengenal Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan Indonesia yang turut dibuang ke Buru. Menurut Pak Oei, Pram merupakan tahanan yang diisolasi sehingga tak boleh menerima tamu. Tetapi ladang Pak Oei ternyata terletak di belakang pondok Pram, sehingga bila tak ada penjaga Pak Oei secara diam-diam menyelinap ke sana.
Selama dalam tahanan itulah, Pram menulis tangan karangan-karangannya dan Pak Oei beserta kawan-kawan sesama tahanan membaca dan mengoreksinya. Hingga saat ini, Pak Oei masih memiliki naskah manuskrip tulisan tangan Pram yang merupakan salah satu koleksi Perpustakaan Medayu Agung. Belakangan, Pram dapat memperoleh mesin ketik yang sudah sudah rusak tetapi dapat diperbaikinya, sehingga selanjutnya karangan Pram dapat diketik. Demikianlah penuturan Pak Oei, yang melanjutkan dengan meriwayatkan mengenai permusuhan antara HAMKA dan Pram. Waktu itu, Pram menuduh HAMKA telah menulis karya jiplakan (plagiat) berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Meskipun demikian, penulis mengatakan bahwa HAMKA juga sastrawan besar dan karyanya berjudul Di Bawah Lindungan Kaabah telah dituangkan dalam bentuk film serta sedang diputar di berbagai gedung bioskop.
Yang menyedihkan selama dalam tahanan itulah banyak buku-buku koleksi Pak Oei yang dirampas oleh tentara dan dibakar. Untungnya sebagian di antaranya berhasil disembunyikan oleh saudara Pak Oei dan kini menjadi koleksi langka Perpustakaan Medayu Agung. Sayangnya beberapa di antaranya hancur karena terkena hujan dan ada pula yang dimakan ngengat. Semoga saja perusakan dan penghancuran buku seperti ini tidak terjadi lagi di masa mendatang, karena buku merupakan wahana berharga dalam melestarikan prestasi dan buah pemikiran umat manusia. Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali terjadi peristiwa pembakaran buku, sehingga tidak sedikit warisan buah pemikiran gemilang umat manusia yang hilang ditelan zaman.
Pak Oei baru dibebaskan pada tahun 1978. Waktu hendak meninggalkan Pulau Buru, Beliau dititipi manuskrip oleh Pram. Untungnya tidak digeledah, sehingga manuskrip itu terselamatkan. Sementara itu, Pram sendiri baru dibebaskan tahun 1979. Kendati telah dibebaskan, sulit bagi Pak Oei memperoleh pekerjaan karena KTP (Kartu Tanda Penduduk) Beliau dibubuhi tanda “ET” atau “Eks Tapol.” Untunglah Beliau dibantu oleh Haji Masagung (Tjio Wie Thay), salah seorang tokoh Tionghua Muslim dan sekaligus pendiri Toko Buku Gunung Agung. Pak Oei kemudian diangkat sebagai sekretaris pribadi Haji Masagung dan kerap diajak keliling berdakwah. Sebagai seorang Muslim yang taat, Haji Masagung merupakan sosok berjiwa toleran dan tidak pernah memaksakan agamanya. Pak Oei sendiri tetap beragama Buddha hingga saat ini.
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari Pak Oei, baik ilmu sejarah maupun pandangan hidup Beliau. Saat wawancara, Beliau sempat menunjukkan pada penulis buku berjudul “Kamus Himpunan Politik” terbitan tahun 1950-an, yang menyebutkan bahwa Bung Karno dilahirkan di Surabaya. Ketika itu, memang ada rekayasa yang menyebarkan informasi keliru bahwa Bung Karno dilahirkan di Blitar. Sewaktu mengetahui bahwa Pak Oei dilahirkan tahun 1935, yakni semasa berkuasanya pemerintah kolonial, penulis menanyakan mengapa Beliau tidak meminta kewarganegaraan Belanda saja-mengingat bahwa setiap orang yang lahir sebelum tahun 1942 boleh mendapatkan kewarganegaraan Belanda. Tetapi Beliau menjawab bahwa karena dilahirkan di Indonesia, kita harus menjadi warga negara Indonesia yang baik. Dengan demikian, hal ini mencerminkan jiwa nasionalisme Beliau. Selain itu, kecintaan Beliau terhadap buku selaku jendela ilmu pengetahuan patutlah kita teladani.
Dewasa ini Perpustakaan Medayu Agung dibuka setiap jam kerja dari hari Senin hingga Sabtu. Khusus hari Sabtu hanya buka setengah hari. Pak Oei sendiri sedang menulis memoir berisikan pengalaman hidup Beliau sebagai warisan bagi generasi selanjutnya. Beliau menerima berbagai penghargaan antara lain dari kedutaan Cekoslovakia, Jawa Pos, Unair, dan lain sebagainya. Bagi para penggemar sejarah Perpustakaan Medayu Agung merupakan tempat rujukan berharga yang sayang sekali dilewatkan. Karena hari telah menunjukkan pukul lima sore, penulis mohon diri pada Pak Oei. Semoga Pak Oei senantiasa dikaruniai kesehatan dan Perpustakaan Medayu Agung tetap berkibar.
Foto penulis bersama Pak Oei (kanan)
Pak Oei sedang memegang buku karya penulis
Pak Oei sedang berada di ruang koleksi khusus
Koleksi-koleksi yang dipajang di etalase