AUTOBIOGRAFI YAP TJWAN BING-SALAH SEORANG PERINTIS KEMERDEKAAN
Ivan Taniputera
24 Januari 2012
Judul buku : Yap Tjwan Bing: Meretas Jalan Kemerdekaan, Otobiografi Seorang Pejuang Kemerdekaan
Penulis : Yap Tjwan Bing
Jumlah halaman : 127
Penerbit : PT Gramedia, Jakarta 1988
Yap Tjwan Bing merupakan salah seorang tokoh perintis kemerdekaan, yang patut kita hargai jasanya. Saya beruntung sekali mendapatkan buku yang langka ini. Sebelum membaca isi sebuah buku, saya biasanya menelaah terlebih dahulu kata pengantar atau bagian pendahuluannya agar dapat lebih memahami maksud penulisan sebuah buku. Di bagian pendahuluannya dapat kita baca sebagai berikut:
“Penulisan otobiografi ini saya maksudkan agar pengabdian pada perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tidak hilang begitu saja. Di samping itu, riwayat yang disajikan dalam buku ini juga menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia telah dilakukan oleh semua golongan masyarakat yang mendiami wilayah kepulauan Indonesia. Saya menyadari bahwa penulisan buku ini merupakan suatu pekerjaan yang berat bagi orang seusia saya dan berada dalam keadaan lumpuh. Namun dengan pimpinan Tuhan, saya berusaha untuk menyelesaikannya sebaik mungkin. Saya berusaha sungguh-sungguh untuk mengingat kejadian-kejadian antara 30 sampai 50 tahun yang telah lalu, dan saya beruntung bahwa ingatan saya masih berada dalam keadaan yang cukup baik, ditambah dengan dokumen-dokumen tertulis dan beberapa buah buku bacaan yang ada” (halaman xv).
Buku ini dibuka dengan memperkenalkan latar belakang keluarga Yap Tjwan Bing. Beliau dilahirkan di Slompretan, Solu, pada tanggal 31 Oktober 1910. Ayah Beliau bernama Yap Yoe Dhiam dan ibunya bernama Tan Tien Nio. Sedangkan saudara-saudara Beliau ada empat orang, yakni Yap Giok Nio, Yap Swan Nio, Yap Tjoen Sing, dan Yap Tjoen Hoei. Latar belakang keluarga Beliau adalah pedagang. Yap Tjwan Bing sempat meneruskan pendidikannya ke negeri Belanda guna memperdalam jurusan apoteker (farmasi). Sebelumnya, Beliau sempat menikah dengan di Madiun pada tahun 1932. Pernikahan ini dikaruniai dua orang anak, yang masing-masing bernama Dewi Yap Gwat Lee (wanita) dan Yap Siong Hoei (laki-laki) –halaman 1.
Semenjak masa mudanya, Yap Tjwan Bing telah mengetahui pahit getirnya kehidupan rakyat akibat penjajahan. Beliau semasa mudanya senantiasa bergaul tanpa membeda-bedakan, dan demikian pula dengan keluarga Beliau. Nenek Beliau, Nyonya Tan Djing Liong merupakan sahabat K.R.T. Dokter Radjiman Widyodiningrat dari Solo. Bahkan isterinya sangat ramah terhadap orang-orang yang bekerja di keluarga mereka:
“Istri saya sangat ramah perilakunya terhadap orang-orang yang bekerja di rumah kami sehingga pada umumnya mereka senang dan lama bekerja pada keluarga kami. Misalnya, berbeda dari kebiasaan pada umumnya, mereka boleh memakai sandal di dalam rumah. Istri saya selalu membelikan mereka kain-kain baju. Bilamana istri saya membeli buah-buahan, mereka juga mendapat bagian sehingga dapat menikmati kelezatan buah-buahan itu” (halaman 3).
Yap Tjwan Bing telah menjalin persahabatan dengan Bung Karno dan Bung Hatta, selaku proklamator kemerdekaan RI:
“Selanjutnya tentang putra kami Yap Siong Hoei. Saya mempunyai kesan bahwa Siong Hoei sejak kecil telah menaruh simpati pada perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang dipimpin Bung Karno dan Bung Hatta. Pada waktu Bung Karno dan Mr. Sartono mengunjungi rehabilitasi sentrum di Solo, Dokter Suharso membawa Siong Hoei untuk bertemu dengan mereka. Mr Sartono yang sudah mengenal Siong Hoei memperkenalkannya kepada Bung Karno dan menerangkan bahwa Siong Hoei adalah putra saya yagn menderita sakit lumpuh. Dokter Suharso menyarankan agar Siong Hoei mendapat pengobatan di Amerika Serikat supaya ia dapat berjalan kembali.
Siong Hoei berjabat tangan dengan Bung Karno serta Mr. Sartono. Bung Karno memberikan beberapa nasihat dan mengharapkan agar Siong Hoei dapat sembuh kembali.” (halaman 4).
Semasa hendak melanjutkan pendidikannya ke HBS, Yap Tjwan Bing merasakan diskriminasi penjajah terhadap masyarakat terjajah, baik itu golongan pribumi maupun Tionghua. Beliau tidak dapat melanjutkan ke HBS karena bukan berasal dari golongan ambtenaar yang berpangkat kapten atau mayor. Oleh karena itu, Beliau lantas melanjutkan pendidikannya ke AMS-B di Malang. Pada waktu itu, usaha ayah Yap Tjwan Bing mengalami kebangkrutan, sehingga tidak dapat meneruskan pembiayaan sekolahnya. Untung Beliau mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda (halaman 6).
Semenjak muda, Yap Tjwan Bing telah memiliki pandangan yang tegas terhadap penjajahan. Beliau pernah berdebat dengan seorang guru bernama Mollen yang mengajar staatskunde (ketata-negaraan). Menurut Mollen, anggota Provinciale Raad (DPR Daerah) dan Gemente Raad (DPR Kotamadya) harus diangkat oleh pemerintah kolonial dan bukannya dipilih rakyat. Yap Tjwan Bing menentang pendapat ini dan berkeras bahwa cara yang benar adalah dengan sistim pemilihan (halaman 6).
Suatu ketika para pedagang Belanda dari perusahaan Jacobson Borsumij di Semarang datang mengunjungi ayahnya. Karena merasa sebagai penguasa di negeri ini, mereka tidak membuka topi dan duduk dengan kaki diangkat ke meja. Yap Tjwan Bing muda yang kala itu berusia 14 tahun merasa tidak senang. Ia membuka topi-topi mereka dan menurunkan kaki orang-orang Belanda tersebut dari meja. Berkat tindakan ini, di kunjungan berikutnya mereka tidak lagi berlaku kurang ajar (halaman 14).
Ketika menginjak usia 18 tahun, Yap Tjwan Bing telah menaruh simpati terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Semasa melanjutkan studinya ke negeri Belanda, Yap Tjwan Bing membaca sebanyak mungkin buku-buku politik dan menceburkan dalam kegiatan politik di bawah pimpinan Mr. Sartono, salah seorang tokoh Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Mr. Sartono bersama Mr. Iwa Kusumasumantri pernah turut membela Bung Karno di pengadilan. Kekaguman Yap terhadap Bung Karno semakin tumbuh (halaman 15).
Kiprah Yap Tjwan Bing dalam perjuangan semakin nyata dengan diangkatnya Beliau sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan KNIP. Setelah disahkannya UUD 45, Yap Tjwan Bing merasa bangga karena bangsa Indonesia telah memiliki undang-undang dasarnya sendiri (halaman 23). Meskipun demikian, Yap Tjwan Bing tidak dapat mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden karena harus kembali ke kota Bandung akibat situasi kota tersebut yang tidak menentu.
Yap lalu meneruskan perjuangannya melalui PNI. Demikianlah sekelumit otobiografi Yap Tjwan Bing, salah seorang tokoh yang menorehkan andilnya dalam sejarah negeri ini. Beliau berpesan agar sesama elemen masyarakat berjuang bahu membahu demi kepentingan bersama tanpa membeda-bedakan demi terciptanya kemajuan di berbagai bidang.