Pameran Wayang Potehi di Hotel Majapahit Surabaya
Ivan Taniputera
15 Januari 2012
Saya baru saja menyaksikan pameran wayang potehi yang diadakan di Hotel Majapahit, Surabaya. Sebagai informasi, Hotel Majapahit merupakan hotel bersejarah, yang menjadi saksi peristiwa perobekan bendera Belanda di zaman revolusi fisik terdahulu. Di hotel yang masih menyimpan pesona ini diselenggarakan pameran wayang potehi sebagai ajang menyambut kedatangan tahun baru Imlek. Pameran sedianya akan berlangsung hingga tanggal 21 Januari 2012. Setiap hari diadakan pementasan yang dimulai pukul 18.00.
Berbagai koleksi unik wayang potehi sempat saya saksikan, seperti wayang potehi yang menggambarkan Buddha.
Sebagian besar tokoh tidak saya kenali. Tetapi ada beberapa juga yang dapat saya kenali, karena telah akrab dengan cerita-cerita klasik Tiongkok terkait tokoh tersebut. Sekilas pandang saya sanggup mengenali empat tokoh kisah Xiyouji (Hokkian: See Yu Kie) atau kisah perjalanan ke Barat. Novel tersebut mengisahkan perjalanan Bhikshu Tong (Tong Sam Cong) dalam mengambil kitab suci Tripitaka ke India, dengan ditemani Sun Wugong (Sun Gokong), Zhu Bajie (Tie Pat Kay), dan Sah Ceng.
Lalu masih ada lagi tokoh Jenderal Guan Yu dalam Roman Sanguo Yanyi atau Kisah Tiga Negara. Ini merupakan roman sejarah yang populer sehingga diterbitkan berulang-ulang.
Masih ada lagi wayang potehi yang menggambarkan Malaikat Kepala Sapi dan Malaikat Muka Kuda.
Koleksi lain yang tak kalah menariknya adalah kumpulan wayang potehi yang sudah berusia 200 tahun.
Berikut ini adalah foto beberapa koleksi lainnya.
Pada kesempatan tersebut, saya juga sempat berbincang-bincang dengan Bapak Toni (mohon maaf kalau ada kesalahan dalam penulisan nama) dari Kelentang HSK, Gudo, Jombang. Saya menanyakan jika dalam wayang kulit ada pakem-pakem tertentu, maka apakah wayang potehi juga memiliki pakem-pakemnya juga? Menurut Beliau, dalam wayang potehi yang sudah pakem adalah tuturan pembukaan sebelum kedatangan atau kemunculan raja, dewa, pahlawan wanita, dan lain sebagainya dalam pertujukan, dimana ini dilafalkan dalam bahasa Hokkian. Beliau menjelaskan pula bahwa agar dapat mementaskan dengan baik, maka diperlukan 150 wayang. Diungkapkan oleh Beliau, bahwa wayang potehi sebenarnya kurang tepat disebut sebagai "wayang," dan lebih cocok disebut sebagai "drama boneka" atau "teater boneka." Wayang itu berasal dari kata "bayang-bayang," yang konsep pementasannya agak berlainan. Masih menurut keterangan Beliau, ada sumber yang menyebutkan bahwa wayang potehi ini berasal dari masa Dinasti Tang.
Bapak Toni (kiri) bersama Bapak Ardian P.
Pameran ini sangat menarik dan cocok menjadi ajang pelestarian budaya. Semoga pameran semacam ini dapat terus diadakan.