Benarkah
Runtuhnya Orde Baru Sudah Diramalkan Sebelumnya?
Ivan
Taniputera
26
Mei 2012
Saya baru saja
mendapatkan hal ini dari buku "Wayang Mbeling: Sastra Indonesia Menjelang
Akhir Orde Baru." Pada tahun 1996 muncul sebuah lagu berbahasa Jawa yang
berjudul "Anoman Obong." Lagu itu diambil dari salah satu
bagian Ramayana yang mengisahkan mengenai Anoman hendak membebaskan Sinta dari
tangan Rahvana. Liriknya berbunyi sebagai berikut:
Anoman si kethek
putih
Sowan tamane
Sinta diajak mulih
Konangan
Indrajit lan patih
Ning anoman ora
wedi getih
Terjemahan
bahasa Indonesia (oleh saya):
Anoman kera
berwarna putih
Datang di taman
tempat Sinta [berada] dan mengajaknya pulang
Ketahuan oleh
Indrajit beserta patihnya
Tapi Anoman
tidak takut mati.
Oleh pengikut
Rahvana tersebut, Anoman ditangkap dan dihukum bakar di tiang pancang. Meskipun
demikian, dengan kekuatan kesaktiannya, Anoman berhasil membebaskan diri dari
hukuman tersebut dan bahkan api yang berada di ekornya membakar seluruh
Alengka. Lagu ini diciptakan oleh komedian asal Jawa bernama Ranto Edi Gudel,
jika kita perhatikan bait berikut ini akan terasa bahwa ini menggambarkan
kerusuhan Mei yang meletus di Jakarta maupun Solo:
Eh, ladalah,
Ngalengko diobong (diobong,diobong)
Togog Bilung wah
ah o... padha pating domblong
Omah gedhe padha
dadi areng (dadi areng)
Dasamuko mati
gereng-gereng
Terjemahan
bahasa Indonesia (oleh saya):
Wah, astaga,
Alengka dibakar (dibakar, dibakar)
Togog dan Bilung
pada mulutnya terganga kebingungan
Rumah besar
semuanya menjadi arang (jadi arang)
Dasamuka mati
sambil meraung-raung.
Salah seorang
paranormal asal Solo bernama Bang To Es, merasa gelisah sewaktu mendengar lirik
lagu tersebut, apalagi pemerintah saat itu berniat mengadakan rangkaian
pagelaran lakon Rama Tambak. Oleh sebagian orang, ini dianggap sebagai pertanda
akan terjadinya suatu bencana di masa mendatang.
Menurut
pada pembaca, ini hanya kebetulan ataukah memang merupakan pertanda akan
terjadinya kerusuhan tersebut?
Sumber: Wayang
Mbeling: Sastra Indonesia Menjelang Akhir Orde Baru karya Marshall
Alexander Clark, halaman 154-155.