Tidak Naik Kelas Bukanlah Hal Memalukan
Ivan Taniputera
20 Mei 2012
Alkisah, seorang teman menceritakan mengenai
anaknya yang malas belajar, sehingga mendapatkan nilai buruk dan terancam
tinggal kelas. Ini merupakan masalah klasik yang sudah terjadi dari zaman
dahulu. Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini saya hendak mengulas
mengenainya. Pertama-tama kita harus menyadari bahwa manusia itu sangatlah
beragam, termasuk dalam hal kemampuan menerima pelajaran. Ada yang lambat dan
ada pula yang cepat. Kita tidak dapat dan memang seyogianya tidak memaksakan
bahwa setiap orang harus mempelajari suatu bidang dalam kurun waktu yang sama.
Bakat dan minat seseorang juga amat sangat beragam. Terdapat berbagai alasan mengapa
seorang anak tidak mudah menyerap suatu pelajaran. Ada yang memang kemampuannya
agak lambat, seperti dalam kasus anak-anak berkebutuhan khusus ataupun
anak-anak yang sebenarnya memiliki kemampuan dan sesungguhnya tidak
lambat belajar, namun kurang motivasi.
Kedua, kita perlu mendefinisikan ulang apa itu
tujuan seseorang belajar dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Banyak
orang hanya mengejar nilai atau ijazah semata. Ini sah-sah saja, walaupun bukan
tujuan belajar yang ideal. Seharusnya, belajar itu agar seseorang menjadi
memahami mata pelajaran yang diajarkan. Itulah sebabnya, sekarang kita mengenal
apa yang dinamakan standar kompetensi. Jadi seseorang dianggap
"berhasil" apabila telah memahami topik-topik tertentu sesuai dengan
jenjang pendidikan dan mata pelajaran yang telah ditentukan pula. Bagaimanapun
juga kriteria "keberhasilan" itu dilihat dari "nilai
ujian." Hingga saat ini kita belum dapat menemukan cara atau metoda
lain guna menentukan "keberhasilan" tersebut selain dari ujian. Dengan
demikian, kita tidak akan membahasnya lebih jauh.
Menimbang kedua hal diatas, yakni (1) kemampuan
dan kecepatan belajar tiap orang yang berbeda-beda dan (2) tujuan ideal belajar
adalah agar seseorang memahami apa yang diajarkan, maka adalah wajar jika ada
anak yang belajar "lebih lama" pada suatu kelas dibandingkan yang
lainnya. Ini adalah konsekuensi wajar kedua hal yang baru saja saya sebutkan.
Apabila seorang anak "tinggal kelas," hal itu sama sekali bukan
sesuatu yang memalukan. Lebih baik dia tinggal kelas agar tidak kesulitan di
jenjang pendidikan berikutnya. Karenanya, tinggal kelas adalah justru sesuatu
yang sangat positif bagi anak itu sendiri. Jikalau belum siap dengan jenjang
atau tingkatan berikutnya untuk apa dipaksakan?
Tinggal kelas dapat pula dipergunakan memotivasi
seorang anak yang malas belajar. Diharapkan bahwa dengan tinggal kelas itu ia
dapat terpacu meningkatkan semangatnya dalam belajar. Hal ini justru hendaknya
menjadi cambuk bagi dirinya agar belajar lebih keras mengejar ketertinggalannya.
Tinggal kelas memang bukan sesuatu yang memalukan atau aib, namun juga bukan
sesuatu yang terpuji. Lebih baik, jika seseorang dapat menyelesaikan jenjang
pendidikan dalam kurun waktu yang sama dengan kebanyakan orang lainnya.
Tentunya ini dengan mempertimbangkan kemampuan si anak juga. Jadi, agar tidak
terjadi kesalah-pahaman, tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai anjuran agar
seseorang tinggal kelas saja agar pengetahuannya lebih matang; melainkan hendak
memberikan wawasan obyektif mengenai tidak naik kelas itu sendiri. Satu hal
penting lagi yang perlu disebutkan di sini adalah orang tua harus pula berperan
aktif memotivasi anaknya agar dapat mengerahkan kemampuannya secara maksimal,
juga tantangan bagi guru agar mengajarkan sesuatu dengan menarik. Semoga
bermanfaat.