Kongsi-kongsi Tionghua di Montrado
Ivan Taniputera
28 November 2011
Judul buku : De Kongsi’s van Montrado: Bijdrage Tot De Geschiedenis en De Kennis van Het Wezen Der Chineesche Vereenigingen Op De Westkust van Borneo.
Penulis : S.H. Schaank (Controleur bij het Binnenlandsch Bestuur)
Penerbit : Albrecht en Rusche, Batavia
Tahun terbit : 1893
Jumlah halaman : 115
Saya beruntung sekali dapat memperoleh buku langka berbahasa Belanda ini. Untungnya karena dahulu pernah mempelajari bahasa Jerman, maka sedikit banyak saya dapat memahami buku ini. Bahasa Belanda dan Jerman memang memiliki kemiripan. Judul buku yang cukup panjang ini, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman kurang lebih akan berbunyi sebagai berikut: Die Kongsis von Montrado: Beitrage Durch die Geschichte und die Kenntnisse von die Wissens nach Chinesische Vereinigungen in Westkust von Borneo. Nampak sekali kemiripan dan kedekatan antara bahasa Belanda dan Jerman. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira akan berbunyi: “Kongsi-kongsi di Montrado: Ulasan Mengenai Sejarah dan Pengetahuan Perihal Organisasi-organisasi (Persatuan/ Perhimpunan) Tionghua di Pantai Barat Kalimantan.”
Buku yang menarik ini dibuka perihal nama Montrado sendiri:
“De Chineesche naam voor Montrado nl. Ta-la-loek [huruf Tionghua] is blijkbaar afgeleid van den Maleischen en Dajakschen naam voor Montrado n.l. Taradoeq of Tradoe, welke door de Chineezen die in Borneo immigreerden, daar zij geen r. En . d. Kunnen nitspreken, noodzakelijk tot Ta-la-loek moest verbasterd worden. (Ta-ra-doeq werd Ta-la-loek).” (halaman 5).
Terjemahan bebasnya:
“Nama Tionghua bagi Montrado adalah Talaloek yang jelas sekali diturunkan dari nama Melayu dan Dayak bagi Montrado, yakni Taradoeq atau Tradoe. Oleh orang-orang Tionghua yang berimigrasi ke Kalimantan, karena tidak dapat mengucapkannya dengan tepat, lalu mengubahnya sebagai Ta-la-loek. (Ta-ra-doeq menjadi Talaloek).”
Alasan pengundangan orang-orang Tionghua ke kawasan tersebut adalah sebagai berikut:
“De Maleische vorsten, door den wensch gedreven om zich de rijke minjgronden in hun gebied ten nutte te makan en de bronnen hunner inkonsten, te vermeederen, waren zelven de eersten om de nijvere Chineezen in hun gebied te roepen tot bewerking der goudmijnen..” (halaman 6)
Terjemahan bebasnya:
“Para bangsawan Melayu, karena berharap memanfaatkan kekayaan pertambangan di daerahnya serta menambah penghasilannya, merupakan yang pertama mengundang orang Tionghua bekerja di pertambangan-pertambangan emas...”
Yang pertama-tama mengundang orang-orang Tionghua adalah panembahan Mempawah dan sultan Sambas (saat itu Sultan Omar Akama’d-din). Dengan demikian, pada tahun 1760 berdirilah pemukiman Tionghua di Larah. Kemudian dari Larah, mereka menyebar ke Montrado.
Masalah pertambangan ini menimbulkan gesekan juga antara berbagai kerajaan di Kalimantan Barat, terutama karena masalah perbatasan:
“De grenzen tusschen het gebied der Maleische vorsten zijn doorgaans slecht bepaald, naardien het bezit van onbewoonde wildernissen ieder onverschillig is...” (halaman 7)
Terjemahan bebas:
“Perbatasan antara berbagai kerajaan Melayu ditentukan secara buruk, seperti dalam hal kepemilikan belantara-belantara tak berpenghuni...”
Pada tahun 1772 terjadilah peperangan antara Sambas dan Mempawah, yang mengakibatkan musnahnya pemukiman Tionghua di Selakouw. Pontianak memanfaatkan hal itu guna meluaskan pengaruhnya dan mengalahkan Mempawah dengan bantuan VOC serta mendudukan putera sultan Pontianak bernama Syarif Kasim ke tahta Mempawah. Belakangan Syarif Kasim diangkat menjadi sultan Pontianak berikutnya.
Selanjutnya dijelaskan pula asal muasal daerah para pendatang Tionghua di Kalimantan, seperti Kwang Toeng (Guangdong, halaman 10). Suku-sukunya antara lain Hakka dan Hoklo (Fulao, lihat halaman 11). Dicantumkan pula data-data statistik orang-orang Tionghua di berbagai belahan dunia, seperti:
Westelijke staten........................................102.196 “ ‘80
Alaska................................................2.125 “ ‘90
N. atlantische staten.......................................1.669 “ ‘80
Dan seterusnya (halaman 15).
Riwayat pembentukan kongsi adalah sebagai berikut:
“Deze mijnwerkers, vroeger in vele vereenigingen verdeeld, vormden langzamerhand door nauwere aaneensluiting een steeds kleiner wordend aantal verbonden, die den naam Kong-si [Huruf Tionghua] aannamen. Zoo spreekt de overlevering nog van de “17 Kongsi’s,” terwijl Veth. (zie boven) 24 vereenigingen in Montrado opgeeft.” (halaman 23)
Berdasarkan kutipan di atas, para pekerja tambang itu pada mulanya sudah memiliki banyak sekali perhimpunan, namun lambat laun membentuk ikatan lebih besar yang disebut Kong-si. Pada zaman itu sudah ada 17 Kongsi, tetapi Veth menghitung ada 24 perhimpuan di Montrado.
Kemudian 14 kongsi yang ada lalu bergabung membentuk Fo-Sjoen Kongsi: Thai Kong, Lo Pat Foen, Kioe Foen Theoe, Sjip Sam Foen, Kiet Lien, Sin Pat Foen, Sam Thiao Keoe, Man Fo, Sin Woek atau Sie Sjip Si Foen, Hang Moei, Sjip Ng Foen, Thai Fo, Lo Sjip si foen, dan Sjip Ngi Foen, atau Sjip Ngi Foen Thai Ngi (halaman 25). Selanjutnya dijelaskan data-data dan wilayah kerja masing-masing kongsi ini. Data berharga lainnya adalah undang-undang perpajakan (belasting) bagi orang-orang Tionghua yang ada di Kalimantan, termasuk pajak perjudian (speeltafels), pertambangan, penjualan opium (verkoop van opium), arak (belasting op de particuliere arak stokerijen), dan lain sebagainya (halaman 99-104).
Buku ini dengan demikian memberikan gambaran mengenai seluk beluk ringkas kongsi-kongsi di Kalimantan, dengan gaya penuturan yang singkat dan padat. Data-data dan statistiknya sangat cocok menjadi sumber penelitian mengenai kongsi-kongsi yang ada di Kalimantan Barat. Sebagai penutup, penulisnya, S.H. Schaank, merupakan Controleur bij het Binnenlandsch Bestuur. Controleur atau kontrolir adalah jabatan selaku pengawas bagi berbagai daerah kekuasaan pemerintah kolonial. Binnenlandsch Bestuur boleh disamakan sebagai departemen dalam negeri atau departemen pemerintahan dalam negeri.