Perbandingan Bahasa Melayu Tempo Doeloe dengan Bahasa Indonesia Modern
Ivan Taniputera
25 November 2011
Kebetulan saya hari ini mendapatkan beberapa naskah-naskah Melayu. Ternyata bahasa Melayu hingga hari ini tidak banyak mengalami perubahan, karena saya masih dapat memahami maknanya. Marilah kita tinjau salah satu naskah yang saya dapatkan, yakni Hikayat Patani. Naskah ini mengisahkan mengenai sejarah berdirinya Kerajaan Patani. Pada bagian pembukaannya kita dapati sebagai berikut:
“Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Maharajana. Maka Paya Tu Kerub Maharajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa.” (Hikayat Patani halaman 68)
Bagian di atas meriwayatkan mengenai penguasa Patani, yang bernama Paya Tu Kerub Maharajana dan penggantian tahta oleh puteranya. Kalimat-kalimat di atas masih dapat kita pahami dengan cukup mudah, tetapi kalau hendak disalin dalam bahasa Indonesia modern, maka nampaknya akan berbunyi sebagai berikut:
“Adapun raja yang bertahta di Kota Maligai bernama Paya Tu Kerub Maharajana. Ia memiliki seorang putera yang dinamakan Paya Tu Antara. Beberapa waktu kemudian, Paya Tu Kerub Maharajana mangkat. Maka Paya Tu Antara menjadi raja menggantikan ayahnya. Ia menggelari dirinya Paya Tu Naqpa.”
Mari kita baca bagian lainnya:
“Hatta antara berapa hari baginda berlayar itu maka baginda pun sampailah ke Laut Tanjung, dan itu pun disuruh baginda layarkan lalu ke Barawas. Setelah sampai ke Berawas maka perahu itu pun dilabuhkan oranglah. Arakian maka baginda pun menitahkan orang Berawas itu mudik memanggil I Sai. Setelah dua hari lamanya maka I Sai pun datanglah menghadap baginda…” (Hikayat Patani halaman 86)
Nampak adanya penggunaan kata “hatta” dan “arakian” yang kini jarang dipergunakan dalam bahasa Indonesia modern. Apabila kita hendak menyalinnya ke bahasa Indonesia modern, maka kalimat-kalimat di atas barangkali berbunyi:
“Demikianlah, setelah beberapa hari berlayar, baginda tiba di Laut Tanjung. Lalu baginda memerintahkan berlayar kembali ke Barawas. Setelah tiba di Berawas perahu itu berlabuh. Baginda lalu menitahkan orang Berawas ke pedalaman mengundang I Sai. Setelah dua hari lamanya, I Sai datang menghadap baginda…”
Naskah berikutnya yang saya peroleh adalah tentang naskah undang-undang dalam sastra Indonesia lama. Buku ini berisikan beberapa naskah perundangan di kerajaan-kerajaan Nusantara dahulu, seperti Jambi, Palembang, dan lain sebagainya.
Berikut ini adalah kutipan dari Undang-undang Palembang II:
“Pasal 46. Jika orang lakie-lakie masuk di dalam orang punia ruma dengan maksud hendak buat jahat dengan orang punia binie, kerap gawe namania, maka tertangkap di dalam ruma lantas dibunu oleh lakie prampuan ietu tiada dengan perkara. Akan tetapie jika orang ietu tertangkap di luar ruma maka ia kena denda 12 ringiet, kesikap utang ditumbok matie namania.”
Bait di atas menjelaskan mengenai kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap isteri orang lain. Jika disalin ke dalam bahasa Indonesia modern, maka barangkali akan berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 46. Jika seorang pria memasuki rumah orang lain dengan maksud hendak berbuat jahat terhadap isteri orang lain itu, yang dinamakan kerap gawe; bila tertangkap di dalam rumah dan dibunuh oleh suami wanita itu, maka habis perkara. Tetapi jika orang itu tertangkap di luar rumah, maka ia didenda 12 Ringit. Namanya disebut kesikap utang ditumbok matie.”
Naskah selanjutnya adalah Syair Kerajaan Bima, naskah yang berbentuk puisi:
3.ayoai segala muda yang berhati
Mengapakan tuan melupakan mati
Malik al maut hadir menanti
Mengambil nyawa berganti-ganti
Pola syair di atas adalah a-a-a-a. Apabila disalin dalam bahasa Indonesia modern akan berbunyi sebagai berikut:
3.Aduhai kaum muda yang peduli
Mengapa engkau melupakan kematian
Malaikat maut hadir menanti
Mengambil nyawa silih berganti.
Demikianlah beberapa contoh perbandingan antara bahasa Melayu kuno dengan Indonesia modern. Ternyata penutur bahasa Indonesia modern masih dapat memahami makna kalimat-kalimat yang ditulis dalam bahasa Melayu lama tersebut. Terlepas dari semua itu, naskah-naskah nusantara warisan budaya bangsa sangatlah penting dipelajari, karena akan membawa kita mengenal budaya warisan leluhur di zaman dahulu. Kemudahan dalam mendapatkan naskah-naskah tersebut juga merupakan faktor penting yang perlu kita pikirkan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Chambert-Loir, Henry. Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 2004.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Naskah Undang-undang dalam Sastra Indonesia Lama.
Teeuw, A. & Wyatt, D. K. Hikayat Patani, The Hague, Martinus Nijhoff, 1970.