Sejarah Kabupaten Kapuas Hulu: Suatu Contoh Sejarah Daerah
Ivan Taniputera
18 November 2011
Negeri kita terdiri dari beribu-ribu pulau dan daerah yang terbentang dari Aceh hingga Papua. Oleh karena itu, sangat wajar sekali jika sejarah nasional kita perlu diletakkan berdasarkan kerangka sejarah daerah. Sejarah nasional merupakan suatu resultan atau gambaran umum berbagai peristiwa yang terjadi di seantero negeri kita pada suatu kurun waktu tertentu. Meskipun demikian, sejarah daerah boleh dikatakan masih belum begitu banyak dikaji secara mendalam. Tulisan ini hendak memberikan contoh keterkaitan dan hubungan timbal balik antara sejarah daerah dan sejarah nasional negeri kita.
Kawasan Kapuas Hulu yang pada zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Boven Kapuas kini menjadi salah satu kabupaten dalam Provinsi Kalimantan Barat. Di kawasan ini pernah berdiri berbagai kerajaan seperti Selimbau, Silat, Jongkong, Suhaid, Bunut, dan Piasa. Pada abad ke-19, Belanda sedang berniat memperluas kekuasaannya dan menciptakan apa yang disebut Pax Nederlandica. Oleh karena itulah, pada masa ini kerap meletus peperangan melawan kerajaan-kerajaan yang tak bersedia takluk pada keinginan penjajah. Ambisi Belanda tersebut juga terasa hingga Kapuas Hulu.
Belanda pertama kali datang ke Kerajaan Selimbau di Kapuas Hulu semasa pemerintahan Panembahan Abbas Surya Negara. Ketika itu pemerintah kolonial Hindia Belanda diwakili oleh Cattersia, asisten residen Sintang. Tujuan kedatangan Belanda pertama itu adalah meminta izin raja mengusahakan kayu guna mendirikan benteng di Kenerak. Selanjutnya beberapa kali raja-raja Selimbau mengadakan kontrak politik dengan Belanda; yakni:
• 15 November 1823 semasa pemerintahan Pangeran Soema.
• 5 September dan 25 Desember 1847 semasa pemerintahan Pangeran Mohammad Abas Suria.
• 27 Maret 1855
• 28 Februari 1880 semasa pemerintahan Pangeran Haji Muda Agong.
Pengaruh Belanda ketika itu sangat terasa dalam hal penetapan batas masing-masing kerajaan, seperti batas antara Selimbau dan Silat. Di sini kita menempatkan kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam membangun Pax Nederlandica di atas kerangka sejarah daerah. Kontrak-kontrak tersebut juga mencakup pembayaran pajak dan penyediaan tenaga kerja rodi bagi kepentingan kolonial.
Pada awal abad ke-20, demi memperkecil kemungkinan perlawanan dan pemberontakan, pemerintah kolonial menghapuskan beberapa kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Kapuas Hulu juga turut terkena imbas kebijaksanaan tersebut, sehingga praktis pada awal abad ke-20, Kapuas Hulu diperintah langsung oleh Belanda. Zaman berganti zaman dan tibalah zaman penjajahan Jepang, Kapuas Hulu tak terkecuali turut menderita di bawah kelaliman penjajah Jepang.
Setelah Jepang bertekuk lutut karena Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom, Belanda berupaya menanamkan kembali kekuasaannya. Pada tanggal 2 Maret 1948 dibentuklah apa yang dinamakan Dewan Kalimantan Barat, yang terdiri dari 12 Swapraja dan 3 Neo Swapraja:
1.Swapraja Sambas
2.Swapraja Pontianak
3.Swapraja Mempawah
4.Swapraja Landak
5.Swapraja Kubu
6.Swapraja Matan
7.Swapraja Sukadana
8.Swapraja Simpang
9.Swapraja Sanggau
10.Swapraja Sekadau
11.Swapraja Tayan
12.Swapraja Sintang
Sedangkan ketiga Neo Swapraja adalah:
1.Neo Swapraja Meliau
2.Neo Swapraja Nanga Pinoh
3.Neo Swapraja Kapuas Hulu
Bersamaan dengan itu, dalam rangka memecah belah dan memperkecil wilayah RI Belanda membentuk berbagai daerah bagian serta negara bagian. Karena dipandang sebagai peninggalan pemerintah kolonial Belanda, Daerah Istimewa Kalimantan Barat dibubarkan pada tahun 1950. Kapuas Hulu yang sebelumnya berstatus sebagai neo swapraja kemudian berubah menjadi kabupaten/ DATI II Kapuas Hulu. Adapun kepala daerah yang pernah memerintah Kapuas Hulu semenjak itu adalah:
1.J.C. Oevang Oeray (wk wedana) 1951
2.J.C. Oevang Oeray (pejabat bupati) 1951
3.Anang Adrak (bupati) 1951-1955
4.J.C. Rangkap (patih/ pejabat bupati) 1956
5.R.M. Soetomo K. Kusumo (bupati) 1956-1957
6.Ade M. Djohan (bupati) 1957-1959
7.G.M. Saleh (patih/ pd. Bupati) 1957-1959
8.J.R. Giling (PD. Bupati KDH) 1959-1960
9.Anastasius Syahdan (Bupati KDH) 1965-1967
10.Abanag Syahdansyah (Bupati KDH) 1967-1975
11.H.M. Ali AS, SH (Bupati KDH) 1975-1980
12.A. Satif (Bupati KDH) 1980-1985
13.Drs. H.A.M. Djapari (Bupati KDH) 1985-1990
14.Drs. H.A.M. Djapari (Bupati KDH) 1990-1995
15.Jacobus F. Layang BA., SH. (Bupati KDH) 1995-2000
16.Drs. H. Tambul Husin (Bupati KDH) 2000-2005
17.Drs. H. Tambul Husin (Bupati KDH) 2005-
Berdasarkan uraian di atas, nampak nyata bahwa sejarah daerah merupakan bagian integral sejarah nasional, sehingga perlu dikaji lebih mendalam. Semoga di masa mendatang semakin banyak terbitan mengenai sejarah daerah yang kita jumpai.