LEGENDA WU DAOZI-PELUKIS YANG MASUK KE LUKISANNYA SENDIRI
Ivan Taniputera
6 Juli 2014
Ivan Taniputera
6 Juli 2014
Wu
Daozi (吳道子, Hokkian: Gouw Too Tjoe) adalah salah seorang pelukis
terkenal yang hidup semasa Dinasti Tang, yakni kurang lebih abad ketujuh
Masehi. Menurut legenda sebelum melukis, Wu Daozi akan membersihkan
dirinya terlebih dahulu dan membakar dupa cendana, sehingga ruangan
tempatnya melukis akan terasa nuansa kesucian.
Suatu kali, Wu Daozi sedang menyelesaikannya lukisannya yang menggambarkan Gunung Hengshan, salah satu gunung suci dalam tradisi China. Suatu kali, salah seorang pejabat tinggi setempat datang mengunjunginya. Sebenarnya, Wu Daozi sudah berpesan pada muridnya agar menghalangi siapa pun tamu yang hendak mengunjunginya. Rupanya jika sedang bekerja, Wu tidak ingin diganggu, namun karena takut menghadapi pejabat tinggi tersebut, muridnya tidak berani menghalanginya masuk.
Pejabat tinggi itu menyatakan maksudnya hendak memesan lukisan dan menyerahkan gulungan kertas. Meskipun demikian Wu menyatakan bahwa ia tidak mempunyai waktu menyelesaikan pesanan sang pejabat tinggi tersebut, karena sedang menyelesaikan lukisan Gunung Hengshan. Tetapi sang pejabat tinggi tetap memaksa dan menyatakan bahwa waktu itu harus diadakan oleh Wu. Kembali Wu menegaskan bahwa ia tidak dapat menjanjikannya, karena ia hanya berkarya seturut kehendak hatinya. Sang pejabat tetap memaksanya dan mengatakan bahwa Wu pasti sanggup mengerjakan lukisan indah sebagaimana didambakannya. Setelah itu, sang pejabat pun berlalu.
Wu merasa kesal terhadap gangguan tersebut. Ia membuka segenap pintu dan jendela lebar-lebar serta membakar banyak dupa cendana, guna mengusir "hawa buruk" yang dibawa sang pejabat. Seharian ia tidak mau melukis, karena merasa bahwa batinnya sangat terganggu sehingga tidak dapat melanjutkan karyanya.
Beberapa hari kemudian, pejabat itu datang lagi dan menyaksikan bahwa gulungan kertas yang dibawanya masih kosong. Pejabat itu marah dan Wu menjawab bahwa dirinya belum sempat mengerjakan lukisan pesanan sang pejabat, karena lukisan Gunung Hengshannya belum selesai. Sang pejabat naik pitam dan berkata, "Aku adalah penguasa di daerah ini. Jika engkau tidak menuruti kehendakku, maka aku dapat berbuat apa saja."
Wu Daozi menjawab sambil mengucapkan sindiran halus, "Ya, tentu saja Tuan adalah pejabat berkuasa yang sanggup melakukan apa saja."
Wu tetap tidak bersedia mengerjakan pesanan sang pejabat.
Pejabat itu akhirnya meminta lukisan Gunung Hengshan karya Wu Daozi yang saat itu hampir selesai. Namun Wu tidak bersedia memberikannya dan mengatakan bahwa lukisah itu akan dihadiahkannya pada kaisar. Karena segenap upayanya membujuk Wu gagal, sang pejabat mengancamnya, "Jika engkau terus menerus menentang perintahku, maka aku akan membakar tempat kediamanmu."
Tanpa banyak berkata, Wu menepukkan tangannya dan pintu gua pada lukisan karyanya itu tiba-tiba terbuka. Wu segera masuk ke sana dan pintu tersebut menutup. Menyaksikan bahwa gurunya telah masuk ke lukisan karyanya sendiri, sang murid berteriak, "Guru! Tunggu aku." Pintu itu tebuka kembali dan muridnya segera berlari masuk. Sang pejabat yang sombong itu hanya dapat terpana menyaksikannya.
Pada versi lain, disebutkan bahwa ketika itu Wu sedang bersama dengan kaisar. Ia lantas menepukkan tangannya dan pintu gua pada lukisannya terbuka. Ia segera masuk, sedangkan kaisar terlambat masuk. Seketika itu juga lukisannya lenyap.
Moral dari kisah ini adalah kita hendaknya tidak menyalah-gunakan kekuasaan kita demi memenuhi segenap keinginan kita. Meskipun kita memiliki kekuasaan yang tinggi, namun kita hendaknya tetap menjadi sosok yang rendah hati dan sanggup menghargai orang lain.
Artikel menarik lainnya silakan kunjungi: https://www.facebook.com/groups/339499392807581/
Suatu kali, Wu Daozi sedang menyelesaikannya lukisannya yang menggambarkan Gunung Hengshan, salah satu gunung suci dalam tradisi China. Suatu kali, salah seorang pejabat tinggi setempat datang mengunjunginya. Sebenarnya, Wu Daozi sudah berpesan pada muridnya agar menghalangi siapa pun tamu yang hendak mengunjunginya. Rupanya jika sedang bekerja, Wu tidak ingin diganggu, namun karena takut menghadapi pejabat tinggi tersebut, muridnya tidak berani menghalanginya masuk.
Pejabat tinggi itu menyatakan maksudnya hendak memesan lukisan dan menyerahkan gulungan kertas. Meskipun demikian Wu menyatakan bahwa ia tidak mempunyai waktu menyelesaikan pesanan sang pejabat tinggi tersebut, karena sedang menyelesaikan lukisan Gunung Hengshan. Tetapi sang pejabat tinggi tetap memaksa dan menyatakan bahwa waktu itu harus diadakan oleh Wu. Kembali Wu menegaskan bahwa ia tidak dapat menjanjikannya, karena ia hanya berkarya seturut kehendak hatinya. Sang pejabat tetap memaksanya dan mengatakan bahwa Wu pasti sanggup mengerjakan lukisan indah sebagaimana didambakannya. Setelah itu, sang pejabat pun berlalu.
Wu merasa kesal terhadap gangguan tersebut. Ia membuka segenap pintu dan jendela lebar-lebar serta membakar banyak dupa cendana, guna mengusir "hawa buruk" yang dibawa sang pejabat. Seharian ia tidak mau melukis, karena merasa bahwa batinnya sangat terganggu sehingga tidak dapat melanjutkan karyanya.
Beberapa hari kemudian, pejabat itu datang lagi dan menyaksikan bahwa gulungan kertas yang dibawanya masih kosong. Pejabat itu marah dan Wu menjawab bahwa dirinya belum sempat mengerjakan lukisan pesanan sang pejabat, karena lukisan Gunung Hengshannya belum selesai. Sang pejabat naik pitam dan berkata, "Aku adalah penguasa di daerah ini. Jika engkau tidak menuruti kehendakku, maka aku dapat berbuat apa saja."
Wu Daozi menjawab sambil mengucapkan sindiran halus, "Ya, tentu saja Tuan adalah pejabat berkuasa yang sanggup melakukan apa saja."
Wu tetap tidak bersedia mengerjakan pesanan sang pejabat.
Pejabat itu akhirnya meminta lukisan Gunung Hengshan karya Wu Daozi yang saat itu hampir selesai. Namun Wu tidak bersedia memberikannya dan mengatakan bahwa lukisah itu akan dihadiahkannya pada kaisar. Karena segenap upayanya membujuk Wu gagal, sang pejabat mengancamnya, "Jika engkau terus menerus menentang perintahku, maka aku akan membakar tempat kediamanmu."
Tanpa banyak berkata, Wu menepukkan tangannya dan pintu gua pada lukisan karyanya itu tiba-tiba terbuka. Wu segera masuk ke sana dan pintu tersebut menutup. Menyaksikan bahwa gurunya telah masuk ke lukisan karyanya sendiri, sang murid berteriak, "Guru! Tunggu aku." Pintu itu tebuka kembali dan muridnya segera berlari masuk. Sang pejabat yang sombong itu hanya dapat terpana menyaksikannya.
Pada versi lain, disebutkan bahwa ketika itu Wu sedang bersama dengan kaisar. Ia lantas menepukkan tangannya dan pintu gua pada lukisannya terbuka. Ia segera masuk, sedangkan kaisar terlambat masuk. Seketika itu juga lukisannya lenyap.
Moral dari kisah ini adalah kita hendaknya tidak menyalah-gunakan kekuasaan kita demi memenuhi segenap keinginan kita. Meskipun kita memiliki kekuasaan yang tinggi, namun kita hendaknya tetap menjadi sosok yang rendah hati dan sanggup menghargai orang lain.
Artikel menarik lainnya silakan kunjungi: https://www.facebook.com/groups/339499392807581/