MENGUBUR RAMBUT, KUKU, DAN TETESAN DARAH DALAM TRADISI JAWA
BURYING HAIR, NAILS, AND BLOOD DROPLETS IN JAVANESE TRADITION
Ivan Taniputera
15 Juli 2014
Saya
baru saja menemukan literatur bahwa menanam potongan rambut, kuku, dan
tetesan darah juga ada dalam tradisi Jawa. Di dukuh Gagatan, Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah, terdapat gundukan tanah yang oleh penduduk
setempat diyakini sebagai makam tokoh bernama Kyai Dinrah atau Kyai
Benrah. Kendati demikian Sejarah Pagedongan yang berasal dari Kraton
Surakarta menyatakan bahwa lubang tersebut merupakan bekas tempat
bertapanya Kanjeng Susuhunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung
Prawirodigdoyo, bupati Pemajengan Gagatan.
I just found a literature which mentioned that burying hair, nails, and blood droplets are also present in Javanese tradition. In Gagatan hamlet, Boyolali, Central Java, there is a mound which is believed by the locals to be the tomb of Kyai Dinrah or Kyai Benrah. Nevertheless Pagedongan History from Kraton Surakarta stated that the hole is a former site for practicing spiritual ascetism by Kanjeng Susuhunan Pakubuwana VI and Raden Tumenggung Prawirodigdoyo, regent of Pemajengan Gagatan.
Ketika itu, mereka berdua melakukan tapa ngluweng atau duduk bersama dalam sebuah lubang dengan beradu punggung selama kurang lebih 40 hari. RT. Tumenggung Prawirodigdoyo mewariskan ilmu bernama Aji Dipa pada Kanjeng Susuhunan dan bersumpah setia melawan Belanda. Sebagai tanda sumpah setia itulah mereka lalu memotong rambut, kuku, dan mengambil setetes darah dari jari tangan masing-masing, lalu ditanam pada lubang tempat pertapaan tersebut.
At that time, they both do spiritual practice of "ngluweng" or sit together in a hole with back to back for about 40 days. RT. Prawirodigdoyo transmited a magical spiritual knowledge named Aji Dipa to Kanjeng Susuhunan and pledged allegiance against the Netherlands. As a sign of allegiance they then cut hair, nails, and a drop of blood from their finger respectively, and then buried them in that hole.
Hingga kini gundukan tanah tempat bekas pertapaan dan penanaman rambut, kuku, beserta darah tersebut masih dikeramatkan oleh penduduk setempat dan tidak ada yang berani memugar. Dengan demikian, tradisi tersebut juga ada dalam masyarakat Jawa, yang dalam hal ini adalah kaum bangsawan:
I just found a literature which mentioned that burying hair, nails, and blood droplets are also present in Javanese tradition. In Gagatan hamlet, Boyolali, Central Java, there is a mound which is believed by the locals to be the tomb of Kyai Dinrah or Kyai Benrah. Nevertheless Pagedongan History from Kraton Surakarta stated that the hole is a former site for practicing spiritual ascetism by Kanjeng Susuhunan Pakubuwana VI and Raden Tumenggung Prawirodigdoyo, regent of Pemajengan Gagatan.
Ketika itu, mereka berdua melakukan tapa ngluweng atau duduk bersama dalam sebuah lubang dengan beradu punggung selama kurang lebih 40 hari. RT. Tumenggung Prawirodigdoyo mewariskan ilmu bernama Aji Dipa pada Kanjeng Susuhunan dan bersumpah setia melawan Belanda. Sebagai tanda sumpah setia itulah mereka lalu memotong rambut, kuku, dan mengambil setetes darah dari jari tangan masing-masing, lalu ditanam pada lubang tempat pertapaan tersebut.
At that time, they both do spiritual practice of "ngluweng" or sit together in a hole with back to back for about 40 days. RT. Prawirodigdoyo transmited a magical spiritual knowledge named Aji Dipa to Kanjeng Susuhunan and pledged allegiance against the Netherlands. As a sign of allegiance they then cut hair, nails, and a drop of blood from their finger respectively, and then buried them in that hole.
Hingga kini gundukan tanah tempat bekas pertapaan dan penanaman rambut, kuku, beserta darah tersebut masih dikeramatkan oleh penduduk setempat dan tidak ada yang berani memugar. Dengan demikian, tradisi tersebut juga ada dalam masyarakat Jawa, yang dalam hal ini adalah kaum bangsawan:
Until
this time the site of the mound and planting hair, nails, and their
blood is still considered sacred by the locals and no one dared to
restore it. Thus, the tradition also exists in the Javanese tradition,
which in this case is of the nobility.
Sumber (Source): S. Poerbosoehardjo. Kisah Perang R.T. Prawirodigdoyo dalam Perang Diponegoro 1825-1830, halaman 8-9.
Artikel menarik lainnya mengenai ramalan, metafisika, Fengshui, Astrologi, Bazi, dan Ziweidoushu, silakan kunjungi: https://www.facebook.com/groups/339499392807581/