KISAH KENAIKAN HARGA BBM DI NEGERI ANTAH BERANTAH
Ivan Taniputera
22 November 2014
Alkisah
saya baru saja berwisata ke Negeri Antah Berantah. Pemimpin Baru di
Negeri Antah Berantah menaikkan harga BBM. Sewaktu sedang berada di
sana, saya sempat menguping obrolan para warga mengenai hal tersebut
saat sedang minum di sebuah warung kopi sederhana. Saya ingin saja
bergabung dengan obrolan mereka, namun saya urungkan, karena saya murni
ingin mendengarkan pandangan dan aspirasi mereka. Seorang pemuda
berpenampilan sederhana, sebut saja A berkata, "Bagi saya dampak yang
paling terasa adalah saya harus merogoh saku saya lebih dalam lagi. Kini
saat harus mengisi kendaraan saya dengan BBM, saya harus membayar lebih
mahal." Salah seorang pemuda lain dengan penampilan intelektual, sebut
saja bernama B, menimpali, "Ya tentu saja itu semua kita tahu. Sayangnya
gaji tidak langsung naik."
Seorang pria yang berusia setengah
baya, sebut saja Pak C, menukas, "Masalah kenaikan BBM ini
adalah masalah pelik semenjak dahulu. Saat aku masih muda, sudah
beberapa kali terjadi kenaikan dan selalu saja terjadi antrian panjang
beberapa saat sebelum BBM resmi dinaikkan. Ini adalah lagu lama yang
terus menerus diputar."
B berkata kembali,
"Mungkin topik menarik pertama yang dapat kita bahas adalah alasan
atau pembenaran kenaikan harga BBM tersebut sebagaimana dilontarkan Pemimpin Baru beserta para
pengikutnya. Cara pembenaran pertama adalah mengatakan subsidi itu salah
sasaran. Sementara ini selalu dikatakan bahwa "kelas mampu" yang
menikmatinya. Di sini, menurut saya, Pemimpin Baru dan juga
Pemimpin-pemimpin Lama yang dahulu juga memutar terus lagu lama
(meminjam istilah Bapak C), yakni memecah belah masyarakat menjadi dua
kategori "semu" yaitu "kelas mampu" dan "kelas tidak mampu."
Pemecah
belahan ini dilakukan demi mencari pembenaran semata. Saya sebut "semu"
karena tidak pernah jelas apa itu definisi kelas "mampu" dan "tidak
mampu." Tidak ada perbedaan se-rigid atau sekokoh itu dalam masyarakat.
Yang ada adalah suatu spektrum. Tidak ada pembagian dualitas yang nyata
seperti hitam dan putih dengan batasan jelas terkait hal itu. Ini adalah permasalahan
pertama dari pembenaran yang dilakukan oleh para Pemimpin."
Seorang
wanita berusia sekitar 30-an yang dari tadi membolak balik halaman
surat kabar, sebut saja Kakak D, tiba-tiba menukas, "Mungkin yang
dimaksud dengan kelas mampu adalah mereka yang sanggup membeli atau
mengendarai kendaraan bermotor?"
Bapak C menjawab,
"Terhadap pandangan demikian, saya akan menjawabnya sebagai berikut.
Kalaupun didefinisikan bahwa pemilik kendaraan bermotor sebagai mampu
dan bukan pemilik kendaraan bermotor sebagai tidak mampu, maka pandangan
itu pun juga mempunyai permasalahannya pula. Kita dapat dengan mudah
melontarkan kritik padanya. Jika direnungkan maka kaum pemilik kendaraan
bermotor (dalam hal ini didefinisikan sebagai kaum mampu) juga
merupakan aspek penting bagi pergerakan ekonomi Negeri Antah Berantah
ini. Mereka mungkin menyediakan lapangan pekerjaan dan lain sebagainya.
Tentu saja, kita tidak mengecilkan atau merendahkan arti mereka yang
tidak memiliki kendaraan bermotor. Namun menurut pengamatan saya, harga
kendaraan bermotor sudah sangat terjangkau. Hampir setiap orang sanggup
memiliki kendaraan bermotor. Jadi karena kaum pemilik kendaraan bermotor
juga berjasa terhadap Negeri Antah Berantah ini, maka mereka seharusnya
juga berhak atas subsidi tersebut. Tidak ada alasan menyebut subsidi
tersebut salah sasaran. Mengatakan subsidi itu salah sasaran tentunya
merupakan "penghinaan" bagi mereka yang memiliki kendaraan bermotor
tersebut. Karena dengan kendaraan bermotor tersebut mereka turut berperan serta menggerakkan roda perekonomian di Negara Antah Berantah. Saya tidak membela pihak mana pun. Namun kita letakkan masalah
ini secara adil."
Kini giliran A sudah
tidak sabar angkat bicara, "Tetapi, bukankah subsidi itu bisa dialihkan
pada masyarakat "tidak mampu," yang taruhlah didefinisikan sebagai
mereka dengan penghasilan sekian..sekian. Mungkin mereka yang
penghasilannya pas-pasan. Uang sekolah anaknya sering menunggak. Untuk
berobat tidak punya biaya. Mungkin bisa dipakai untuk membangun jalan,
jembatan, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain. Bahkan katanya masyarakat
"tidak mampu" (dengan definisi penghasilan dibawah sekian nominal
tertentu) akan diberi bantuan langsung berupa uang."
B
menjawab, "Benar. Itu adalah gagasan yang baik. Tidak ada yang salah
dengan ide seperti itu. Bahkan kita boleh menyebutnya sesuatu yang
mulia. Akan tetapi saya sudah pernah mendengar gagasan itu semenjak
zaman Pemimpin-pemimpin Lama dahulu. Lagi-lagi ini merupakan lagu lama.
Masalahnya BBM sudah dinaikkan berulang kali (artinya subsidi sudah
dicabut atau dikurangi secara bertahap dari dulu) dan pada kenyataannya
sampai sekarang pendidikan juga tetap mahal. Selain itu, saya tidak
merasakan ada peningkatan yang signifikan di Negeri Antah Berantah yang
kita cintai ini. Bahkan menurut saya pemberian bantuan langsung tidak
mendidik. Yang terbaik adalah menciptakan lapangan pekerjaan atau
menggerakkan roda perekonomian sebesar-besarnya (sesuatu yang sedikit
banyak sudah dilakukan oleh kaum "mampu" di negeri ini)."
Seorang
Ibu-ibu yang nampaknya pemilik warung kopi, sebut saja ibu D, tiba-tiba
berbicara, "Mungkin akarnya masalah korupsi ya, sehingga pengalihan
subsidi itu tidak menghasilkan sesuatu perubahan signifikan?"
Bapak
C menjawab, "Ya memang kita mengetahui bahwa korupsi juga menjadi
masalah utama yang tidak kunjung terselesaikan di Negeri Antah Berantah
ini. Kalau demikian, lebih baik Para Pemimpin menyalahkan korupsi dan
bukan mencari pembenaran dengan menciptakan "perpecahan semu" antara
kaum "mampu" dan "tidak mampu." Padahal telah kita uraikan bahwa
pembagian masyarakat yang rigid seperti itu tidak ada. Kalau pun mau
diada-adakan (dengan definisi seperti di atas), maka bukan berarti
mereka tidak berhak atas subsidi, karena mereka suka atau tidak suka
telah memberikan sumbangsih menggerakkan roda perekonomian di Negeri
Antah Berantah. Korupsi adalah masalah lain lagi. Kalau korupsi tidak
dapat atau gagal diberantas, maka jangan mencari kambing hitam lain di
Negeri Antah Berantah ini."
Seorang pemuda di pojok
ruangan, sebut saja bernama E, yang dari tadi diam saja mulai bicara,
"Bahkan di antara sesama pemilik kendaraan bermotor dihembuskan
pembedaan antara roda dua dan roda empat. Bagaimana pendapat kawan-kawan
di sini?"
A menjawab, "Hmmm jadi yang naik roda dua
(karena konon harganya lebih rendah dibanding roda empat) dianggap tidak
"mampu," sedangkan yang naik roda empat (karena konon harganya lebih
tinggi dibanding roda dua) dianggap "tidak mampu." Jadi roda dua berhak
dapat subsidi, sedangkan roda empat tidak. Apakah begitu?"
B
menukas, "Ya benar. Nampaknya demikian yang dimaksud sebagai salah satu
wacana yang pernah didengungkan di Negeri Antah Berantah ini. Namun
masalahnya adalah harga roda dua dan roda empat itu pun juga adalah
sebuah spektrum, yang bahkan tumpang tindih. Ada kalanya harga roda dua
yang paling mahal adalah kemungkinan sama dengan harga roda empat
keluaran lama. Roda dua dan roda empat itu tidak dapat menciptakan
batasan rigid antara "mampu" dan "tidak mampu." Pembedaan atau
pemecah-belahan berdasarkan "jumlah roda" ini pun adalah sesuatu yang
semu sifatnya."
Bapak C menambahkan, "Tetapi jangan
lupa, bahwa diujung spektrum itu terdapat roda empat yang harganya
memang sangat tinggi. Katakanlah roda-roda empat merk terkenal keluaran
negara-negara adi-teknologi. Harganya memang sangat mahal. Dalam hal ini
saya setuju bahwa roda empat semacam itu memang seharusnya "minum" BBM
tidak bersubsidi, karena memang spesifikasinya demikian. Demi menjaga
kualitas mesinnya. Pemilik roda empat mewah yang pintar dan tahu masalah
mesin, tentunya tidak akan memilih BBM bersubsidi. Ini terutama demi
kepentingannya sendiri bukan orang lain. Selain itu, ia juga telah
beramal, yakni memberikan kesempatan para pemiliki roda empat dan juga
roda dua yang tidak mewah agar dapat menikmati BBM tidak bersubsidi. Ini
adalah masalah kesadaran semata yang harus terus dihembuskan. Para
pemilik showroom di negara ini juga harus memberikan wawasan tersebut."
E
menambahkan, "Ya benar saya setuju, saya pernah bekerja sebagai tenaga
penjualan roda empat keluaran negara adi-teknologi, memang
spesifikasinya roda empat tersebut harus "minum" BBM dengan oktan
tinggi. Jika diberi "minum" oktan lebih rendah, akan berdampak pada
mesin. Tetapi saya ada satu kasus begini. Seorang pemilik roda empat
mewah sudah memberikan uang untuk membeli BBM tidak bersubsidi pada
pengemudi yang dipercaya membawa roda empat tersebut. Namun demi
mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri, ia justru membelanjakannya
untuk BBM bersubsidi. Keuntungan itu lantas diambil ke kantungnya
sendiri. Kecurangan itu akhirnya terbongkar, tetapi pemilik masih
berbaik hati dan tidak memecat pengemudinya itu. Hanya saja sekarang
harus meminta nota pembelian dari tempat pembelian BBM bersangkutan. Ini
adalah masalah kecurangan yang mungkin saja banyak terjadi di tengah
masyarakat."
A berkata, "Masih ada lagi yang mengatakan
bahwa kenaikan harga BBM ini untuk memukul para penyelundup BBM dari
Negeri Antah Berantah ke Negeri Atas Angin. Nampaknya langkah ini
efektif. Bagus sekali jika para penyelundup itu dibuat rugi sehingga
bangkrut."
Bapak C segera menjawab, "Saya mengakui
bahwa penyelundupan itu memang ada. Namun mengapa karena kesalahan
segelintir orang saja lalu ratusan juta orang lainnya yang harus
menanggungnya? Ini adalah sesuatu yang tidak adil. Segelintir orang
berbuat salah (yang seolah-olah tidak terjangkau hukum), namun tiba-tiba
ratusan juta orang lain harus turut memikul akibatnya. Menurut saya
seharusnya para penyelundup dan penimbun itu harus ditangkapi dan
diadili terlebih dahulu. Kalau perlu dihadapkan ke depan regu tembak.
Pemimpin pertama kita pernah menjanjikan hal itu bagi para penimbun dan
penyelundup. Jadi masalah penyelundupan ini harus diselesaikan terlebih
dahulu, bukannya dengan alasan menghantam para penyelundup lalu BBM
dinaikkan. Rakyat jua lah yang menderita. Sementara itu, setelah BBM
naik pun mereka masih dapat menikmati kekayaan yang diperolehnya dari
penyelundupan selama berpuluh-puluh tahun di Negeri Antah Berantah ini."
E
menambahkan kembali, "Ada juga yang mengemukakan bahwa cadangan minyak
bumi di Negeri Antah Berantah ini sudah menipis, sehingga Pemimpin
Negeri Antah Berantah harus bergantung murni pada impor BBM. Itulah
sebabnya dikatakan bahwa pembelian BBM dari luar ini membebani kas
Negeri Antah Berantah. Itulah satu lagi alasan Pemimpin Baru menaikkan
harga BBM."
Kini giliran B yang mencoba memberikan
pandangannya, "Jika ini benar, maka ini adalah satu-satunya alasan yang
masuk akal menaikkan harga BBM. Pemimpin Baru perlu memberikan
penjelasan bagi hal ini. Kalau memang demikian halnya maka mau apa lagi?
Namun sekali lagi, Pemimpin Baru dan pengikutnya perlu mengemukakan hal
ini dengan jelas bagi rakyat. Jika perlu dengan data-data yang
transparan. Ibaratnya seorang ayah yang usahanya sedang mengalami
kemerosotan. Ia memberitahu hal itu secara baik-baik pada anak-anaknya.
Marilah kita sekarang hidup lebih hemat. Makan yang secukupnya saja
jangan berlebihan. Bukannya memecah belah anak-anaknya dengan
mengatakan, "Ini gara-gara kakak tertua yang gendut makan lebih banyak"
dan lain sebagainya. Itu bukan hal yang membangun. Ingat bahwa seluruh
rakyat adalah ibaratnya anak bagi sang Pemimpin. Janganlah seorang ayah
membeda-bedakan masing-masing anaknya. Apalagi memecah belah mereka."
Bapak
C menjawab, "Memang menyedihkan bahwa Negara Antah Berantah ini sudah
dirampok sekian ratus tahun kekayaan alamnya pada masa kolonialisme.
Buku-buku tua warisan kakek saya yang masih berbahasa penjajah dengan
jelas memaparkan hal ini. Eksplorasi dan penjarahan kekayaan alam negeri
ini sudah berlangsung semenjak zaman penjajahan. Setelah Negeri Antah
Berantah merdeka, maka itu pun masih dilanjutkan oleh
perusahaan-perusahaan Negeri Atas Angin. Suatu bentuk kolonialisme
dengan wajah baru. Kini ia telah terbaring kering dan renta. Cadangan
minyaknya tinggal sedikit (jika itu benar). Kekayaan alamnya tinggal
sedikit. Sungguh menyedihkan. Semoga Pemimpin Baru sadar dan jangan
sampai mengundang para kolonialis berwajah baru ini masuk. Segenap
persyaratan harus dipertimbangkan sehingga akhirnya Negeri Antah
Berantah ini yang mendapatkan lebih banyak keberuntungan."
A
menjawab, "Saya setuju bahwa kita memang harus berhemat. Kemarin saya
melihat ada orang yang malas keluar dari mobil dan menyalakan mesin
mobil sambil menghidupkan AC-nya selama berjam-jam. Itu adalah suatu
pemborosan yang sia-sia. Kebiasaan seperti inilah yang harus kita ubah.
Mungkin manajemen tempat-tempat hiburan dan pusat perbelanjaan perlu
mengeluarkan peraturan agar hal seperti itu tidak boleh dilakukan di
lingkungan tempat hiburan dan pusat perbelanjaan mereka. Ini adalah
salah satu langkah penghematan menuju Negeri Antah Berantah yang lebih
baik. Penghematan itulah kunci yang terbaik dalam mengatasi berbagai
permasalahan."
Saya melihat ke jam tangan saya. Hari
rupanya sudah semakin siang. Saya tidak bisa lagi terus menerus
mengikuti obrolan mereka. Saya harus meneruskan perjalanan saya
menikmati keindahan Negeri Antah Berantah ini. Tentunya dengan biaya
transportasi yang lebih mahal, karena BBM di negeri ini baru saja naik.
Namun hal tersebut tidak mengurungkan niat saya menjelajahi Negeri Antah
Berantah ini.
TAMAT