Tampilkan postingan dengan label Bahasa Jawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahasa Jawa. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Maret 2015

BUKU TENTANG WANGSALAN DALAM KESUSASTERAAN JAWA

BUKU TENTANG WANGSALAN DALAM KESUSASTERAAN JAWA
.

Ivan Taniputera
30 Maret 2015
,



Judul: Wangsallan
Penulis: Raden Atma Soepana
Jumlah halaman: 142
Penerbit: Albert Rusche & Co, Soerakarta, 1922
Bahasa: Jawa dengan aksara Jawa

Buku ini membahas makna kata-kata wangsalan dalam sastra Jawa. Sebagai contoh pada halaman pertama dapat kita baca (alih aksara ke Latin):

"Anak

Anak Kutuk. Kutuk domba munggeng rawa, bebekane: dedelan budirah jarwa
beyongan deleh.

Anak kadhal. Kadhal gung munggeng bangawan...."

Berikut ini adalah contoh-contoh halamannya.





Berminat kopi hubungi ivan_taniputera@yahoo.com.

Senin, 09 Maret 2015

BUKU HAMPIR BERUSIA 100 TAHUN MENGENAI PERIBAHASA JAWA DIJELASKAN DALAM BENTUK DONGENG

BUKU HAMPIR BERUSIA 100 TAHUN MENGENAI PERIBAHASA JAWA DIJELASKAN DALAM BENTUK DONGENG
.

Ivan Taniputera
9 Maret 2015
.


Judul: Paribasan Katrangake Sarana Dongeng
Penulis: Raden Mas Arya Sutirta di Bojonagoro
Penerbit: Batavia, Landrukkerij, 1916
Jumlah halaman: 46
Bahasa: Jawa dengan Aksara Jawa

Buku ini memuat mengenai peribahasa beserta penjelasannya dalam bentuk dongeng. Sebagai contoh peribahasa pertama adalah "Bocah Wingi Sore" atau "Anak Kemarin Sore."

Berikut ini adalah daftar isinya: 






Berikut ini adalah contoh-contoh  halamannya.







Berminat kopi hubungi ivan_taniputera@yahoo.com.

Rabu, 30 April 2014

PERBEDAAN BAHASA JAWA DI SEMARANG DAN SURABAYA

PERBEDAAN BAHASA JAWA DI SEMARANG DAN SURABAYA

Ivan Taniputera
30 April 2014




Selama kurang lebih 13 tahun saya pernah tinggal di Surabaya. Saya memperhatikan beberapa perbedaan antara bahasa Jawa di Semarang dan Surabaya, sehingga bagi mereka yang belum memahaminya bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Salah satu contohnya adalah "korah-korah," yang di Surabaya berarti "mencuci piring." Waktu pertama kali mendengarnya, saya mengira artinya adalah "kura-kura." Sempat terjadi kebingungan karena saya tidak melihat seekor kura-kura pun di sana. Di Semarang sebutan bagi mencuci piring adalah "asah-asah," sehingga sangat berbeda jauh dengan Surabaya.

Istilah kedua adalah "embong." Di Semarang istilah ini tidak dikenal. Artinya adalah "jalan." Berikutnya adalah "arek" yang tidak dikenal di Semarang. Artinya adalah "anak," sehingga terdapat sebutan tersohor "Arek-arek Suroboyo."

Kemudian masih terdapat lagi istilah "mari." Di Surabaya artinya adalah "selesai." Sedangkan di Semarang artinya adalah "sembuh." Oleh karenanya jika orang Surabaya berkata,"Si A wes Mari," maka jika yang diajak bicara adalah orang Semarang, bisa saja jawabannya adalah sebuah pertanyaan, "Lho memang si A tau lara?" (Lho, memangnya si A pernah sakit?). Padahal yang dimaksud adalah Si A sudah menyelesaikan pekerjaannya.

Sementara itu, istilah "bangjo" (abang-ijo=merah-hijau) yang berarti "lampu lalu lintas" tidak umum dipergunakan di Surabaya. Berikut ini terdapat pengalaman lucu. Suatu kali saya mengantar teman pergi ke sebuah tempat untuk menyelesaikan urusannya. Saya mengatakan bahwa nanti jika ada "bangjo" maka belok ke kanan. Ternyata setelah sampai di lampu lalu lintas dimaksud, kawan saya tetap terus dan tidak berbelok seperti yang saya instruksikan. Saya lalu bertanya, "Lho barusan kita melewati bangjo tapi kok kamu tidak belok?" Dia menjawab, "Mana ada bangjo? Tadi yang ada khan cuma lampu setopan (lampu lalu lintas). Saya sudah menengok kiri kanan belum menemukan warung Bang Jo." Rupanya "bangjo" itu dikiranya warung bernama "Bang Jo."

"Kamu" di Surabaya disebut "kon" sedangkan di Semarang disebut "kowe."

Demikian semoga artikel ini bermanfaat bagi calon mahasiswa asal Semarang yang ingin melanjutkan kuliah di Surabaya.

Jumat, 21 Maret 2014

SONTOLOYO

SONTOLOYO

Ivan Taniputera
21 Maret 2014

Banyak orang tentu pernah mendengar makian atau umpatan yang berbunyi "Sontoloyo." Biasanya diucapkan saat seseorang sedang kesal atau marah. Namun dari manakah sesungguhnya asal usul kata "Sontoloyo" ini?

Sesungguhnya, sontoloyo dahulu berarti orang yang menggembalakan bebek.


Lalu bagaimanakah nama suatu profesi itu dapat berubah menjadi suatu kata bermakna umpatan? Kemungkinan di zaman dahulu banyak sontoloyo atau penggembala bebek yang ceroboh, sehingga bebeknya banyak yang hilang. Pemilik bebek karena kesal lalu berkata, "Sontoloyo, angon bebek ilang loro." Artinya dalam bahasa Indonesia adalah, "Penggembala bebek! Mengembalakan bebek kok hilang dua."

Namun mungkin juga dalam  masyarakat feodal terdapat sikap merendahkan terhadap profesi-profesi tertentu. Dengan kata lain, sontoloyo dianggap suatu profesi yang rendah. Oleh karenanya, menyebut seseorang sebagai sontoloyo mengandung makna menghina atau merendahkan, hingga akhirnya kata "sontoloyo" menjadi semacam umpatan. Barangkali demikianlah asal muasal pergeseran makna tersebut.

Selasa, 18 Februari 2014

ANAK HEWAN YANG PALING RINGAN DI DUNIA: KEUNIKAN BAHASA JAWA

ANAK HEWAN YANG PALING RINGAN DI DUNIA: KEUNIKAN BAHASA JAWA

Ivan Taniputera
19 Februari 2014


Ternyata anak hewan yang paling ringan di dunia adalah anak gajah. Bagaimana mungkin? Dalam bahasa Jawa anak gajah disebut "bledug," yang juga berarti "debu." Jadi menurut bahasa Jawa "anak gajah" ini bisa ditiup angin dengan mudah, bahkan dapat membuat mata kelilipan.





Bagaimana yang belum memahaminya, salah satu keunikan bahasa Jawa adalah anak-anak hewan diberi istilah sendiri-sendiri, contohnya:
  • Anak gajah disebut bledug
  • Anak cecak disebut sawiyah
  • Anah bandeng disebut nener
  • Anak kambing disebut cempe
  • Anak kucing disebut cemeng
  • Anak anjing disebut kirik
  • Anak tikus disebut cindil
  • Anak kadal disebut tobil
  • Anak kera disebut kowe (kowe ini dalam bahasa Jawa juga berarti "kamu")-sehingga ada pertanyaan jebakan yang berbunyi "kowe anak apa?" Dengan demikian artinya bisa berarti "kamu anak siapa?" Bagi yang terjebak akan menjawab "anak kethek (kera)." Sang penanya akan tertawa terbahak-bahak.
  • Anak kerbau disebut gudel
  • Anak kuda disebut belo
  • Anak macan disebut gogor

Yang lucu adalah anak salah seorang teman waktu ulangan bahasa daerah, ketika menjawab pertanyaan anak asu diarani..... (anak anjing disebut.....), maka dijawabnya "asu cilik" (anjing kecil). Anak tikus diarani..... (anak tikus disebut......), maka dijawabnya "tikus cilik" (tikus kecil). Anak wedhus diarani..... (anak kambing disebut......), maka dijawabnya "wedhus cilik" (kambing kecil). Anak kucing diarani..... (anak kucing disebut......), maka dijawabnya "kucing cilik." Akibatnya ulangannya mendapat nilai nol.

Demikianlah salah satu keunikan bahasa Jawa.

Kamis, 21 November 2013

BUKU TENTANG TATACARA PENULISAN BAHASA JAWA DALAM HURUF LATIN

BUKU TENTANG TATACARA PENULISAN BAHASA JAWA DALAM HURUF LATIN

Ivan Taniputera
22 November 2013



Judul: Jogja Sastra Jaikoe Patokan Panoelise Basa Djawa ing Aksara Walanda
Pengarang: L.G. Bertsch, M. Dwidja Sewaja, M. Nirman, P. Penninga, dan R. Tirtadanoedja
Penerbit: G. Kolff & Co., Betawi, 1913
Jumlah halaman: 32
Bahasa: Jawa

Pada bagian sampul buku ini tertera "Patokan Panoelise Basa Djawa ing aksara Welanda," yang artinya adalah "Pedoman Penulisan Bahasa Jawa dalam Aksara Belanda." Tentu saja yang dimaksud dengan Aksara Belanda di sini adalah Aksara Latin. Pada bagian pembukaan tertera sebagai berikut:

"BEBOEKANE"

BASA DJAWA DITOELIS NGANGGO AKSARA WELANDA

Wong ikoe sidji lan sidjine pada preloe mratelakake (nglahirake) apa kang dadi tjiptaning atine. Kang di-enggo serana, kedjaba solah-tingkah, ia ikoe basane. Basa maoe toemrape sidji-sidjining bangsa pada beda-beda."

Terjemahannya adalah sebagai berikut:

"PEMBUKAAN

BAHASA JAWA YANG DITULIS MENGGUNAKAN AKSARA BELANDA

Umat manusia itu masing-masing perlu mengungkapkan isi hatinya. Yang dipergunakan sebagai sarana, selain tindakan atau perbuatan, adalah bahasa. Bahasa itu berbeda-beda pada masing-masing bangsa."

Pada halaman 6 terdapat penjelasan bahwa bahasa Jawa kini dapat ditulis dalam tiga aksara:

"Basa Djawa ikoe ing sa-iki loemrah katoelis nganggo:

a.aksara Djawa,
b.aksara Arab,
sarta wiwit katoelis nganggo
c.aksara Welanda..."

Terjemahannya adalah sebagai berikut:

"Bahasa Jawa itu sekarang umum ditulis dengan:

a.aksara Djawa,
b.aksara Arab,
serta mulai ditulis dengan
c.aksara Welanda..."

Kemudian diulas penjelasan singkat bagi masing-masing aksara tersebut. Sebagai contoh mengenai aksara Jawa disebutkan:

"a.Aksara Djawa ikoe kaleboe toelis-wandan, petjikan saka ing toelis Sanskrit, kang dek bijen diwoelangake dening bangsa Indoe marang wong Djawa, bebarengan karo piwoelang lia-liane ('ndelenga tjaritane ing lajang Adji Saka). Ana ing tanah Djawa kanggone aksara maoe sangsaja lawas toemprap marang basane wong boemi...."

Terjemahannya adalah sebagai berikut:

"Aksara Jawa termasuk aksara berdasarkan bunyi suku kata, berasal dari tulisan Sansekerta, yang pada zaman dahulu diajarkan oleh orang India pada orang Jawa, bersamaan dengan ajaran lain-lainnya (silakan lihat ceritanya dalam kisah Aji Saka). Di tanah Jawa aksara tersebut lama kelamaan diterapkan pada bahasa setempat...."

Pada halaman 9 disebutkan mengenai penyerapan kata-kata dari bahasa asing:

"Toer wong Djawa ikoe, jen arep madjoe, ora kena ora, koedoe ngangggo temboeng mantja. Kang mengkono wis toemindak, wong Djawa sa-iki wis akeh panganggone temboeng Welanda serta temboeng Arab, jaikoe saben-saben woewoeh pangerti anjar, ia woewoeh temboenge mantja.

Nganggo temboeng mantja maoe doedoe kanistan; saben bangsa ia sok nganggo temboeng mantja, nanging jen ing basane dewe ana temboenge, njilih temboeng ikoe koerang prajoga."

Terjemahannya adalah sebagai berikut:

"Maka orang Jawa jika ingin maju, tidak dapat tidak, harus menggunakan kata dari bahasa asing. Hal yang seperti itu telah berlaku, orang Jawa sekarang banyak menggunakan kata-kata dari bahasa Belanda dan Arab, yaitu setiap menjumpai pengertian baru, menggunakan kata-kata bahasa asing.

Menggunakan kata-kata dari bahasa asing itu bukanlah sesuatu yang hina; setiap bangsa pernah menggunakan kalimat dari bahasa asing, namun jika dalam bahasanya sendiri sudah ada kata yang mewakilinya, meminjam kata bahasa asing adalah sesuatu kurang tepat."

Lebih jauh lagi, pada halaman 14 disebutkan bahwa penggunaan huruf o dalam penulisan bahasa Jawa adalah kurang tepat:

"o oega ora prajoga, sabab wong-wong bandjoer pada kelantoer panoelise, oepama:

Gondokoesoemo, benere Gandakoesoema;
Diponegoro, benere Dipanegara;
Soerowidjojo, benere Soerawidjaja.

Jadi yang benar adalah dengan menggunakan huruf a, seperti contoh-contoh di atas.

Buku ini sangat bermanfaat bagi para guru dan peminat bahasa Jawa.

Berminat foto kopi hubungi ivan_taniputera@yahoo.com.