Tampilkan postingan dengan label ajaran kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ajaran kehidupan. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Agustus 2025

SERIAL KELAHIRAN LAMPAU: SEORANG IBU MENDERITA PENYAKIT FATAL YANG AKAN SEGERA MENINGGALKAN ANAK BARU DILAHIRKANNYA

 SERIAL KELAHIRAN LAMPAU: SEORANG IBU MENDERITA PENYAKIT FATAL YANG AKAN SEGERA MENINGGALKAN ANAK BARU DILAHIRKANNYA

Ivan Taniputera

19 Agustus 2025

 



 

Saya baru saja membaca kisah nyata mengenai seorang ibu yang menderita penyakit fatal tidak tersembuhkan, dimana ia baru saja melahirkan seorang bayi. Tidak lama lagi ia pasti akan meninggalkan anaknya tersebut dan tidak pernah menyaksikan anaknya bertumbuh besar. Ibu itu diliputi kesedihan mendalam karena menyadari bahwa saatnya akan segera tiba. Memang ini merupakan sesuatu yang sungguh menyedihkan. Saya turut merasa kasihan dan bersedih atas hal tersebut. Timbul keinginan dalam hati saya untuk mengetahui mengapa hal itu terjadi. Ternyata saya mendapatkan wawasan (insight) sebagai berikut.

 

Pada kehidupan lampau, ibu itu merupakan seorang raja atau pemimpin suatu negeri yang gemar berperang dan mengerahkan pasukannya. Akibatnya, banyak orang tua kehilangan anaknya karena terbunuh dalam pertempuran yang diadakannya. Begitu pula banyak anak kehilangan orang tuanya akibat peperangannya itu. Itulah sebabnya, pada kehidupan-kehidupan berikutnya, ia akan diajarkan untuk merasakan serta menyadari bagaimana rasanya orang tua kehilangan anaknya atau anak kehilangan orang tuanya. Ini akan terjadi berulang-ulang dalam kehidupan demi kehidupannya. Ia menjadi sosok-sosok penyakitan dan berusia pendek. Terkadang, ia terlahir sebagai seorang ibu yang menderita penyakit tidak tersembuhkan dan harus berpisah dengan anaknya saat meninggal. Pada kesempatan lainnya, ia terlahir sebagai seorang anak yang ibu tercintanya mengalami sakit keras dan meninggal. Terkadang ia menjadi sosok orang tua yang harus kehilangan anak terkasihnya karena sakit. Demikian yang terjadi kehidupan demi kehidupan, hingga kekuatan karmanya habis. Ini bukan merupakan suatu hukuman, melainkan sarana pembelajaran; yakni agar ia belajar menghargai kehidupan dan mengetahui bagaimana rasa kehilangan. Apabila ia sedikit demi sedikit belajar memahami kedua hal tersebut, maka kekuatan karmanya pun akan turut melemah pula.

 

Bayi yang dilahirkannya juga sama. Ia merupakan sosok jendral yang pernah membantai rakyat di negeri yang dikuasainya. Dalam kelahiran demi kelahirannya, ia akan terus berganti peran seperti ibunya itu. Begitu pula dengan ayah bayi tersebut atau suami ibu itu. Pada kelahiran lampau, ia merupakan prajurit yang turut melakukan kejahatan perang. Dari kelahiran yang satu ke kelahiran berikutnya, ia akan terus menerus diharuskan merasakan satu hal besar dalam hidupnya, yakni kesedihan akibat kehilangan sosok dikasihi.

 

Berdasarkan insight ini saya belajar satu hal, yakni bahwa beberapa orang itu bisa terlahir dalam satu keluarga dikarenakan ada energi atau frekuensi karma yang sama. Mereka harus menunaikan suatu tugas pembelajaran yang senada. Begitu pula dengan orang-orang yang berinteraksi dengan kita di sepanjang kehidupan ini. Mereka semua adalah teman-teman sekelas kita, dimana kita sedang diharuskan sama-sama belajar dan juga belajar satu sama lain. Masih berdasarkan insight ini, saya juga belajar bahwa dampak atau buah karma itu sunggup mengerikan, bisa berlangsung sangat lama, yakni mencakup banyak kelahiran. Dalam Sūtra Orang Bijaksana dan Orang Bodoh (Tripiṭaka Taishō 202) disebutkan bahwa buah karma itu bisa berlangsung hingga berkalpa-kalpa (satu kalpa adalah rentang waktu yang sangat panjang, yakni mencakup jutaan tahun). Sekali suatu karma dilakukan, maka buahnya sudah berada di luar kendali pelaku. Oleh karenanya, benar sekali yang diajarkan Buddha agar kita senantiasa berada dalam kebahagiaan:

 

Sabbapāpassa akaraṇaṃ

Kusalassa upasampadā

Sacittapariyodapanaṃ

Etaṃ buddhāna sāsanaṃ.

 

Tidak melakukan segenap kejahatan.

Melakukan segenap kebajikan.

Sucikan hati dan pikiran.

Demikianlah ajaran semua Buddha.

 

Demikian, saya menulis artikel ini agar dapat memberikan banyak manfaat dan bahan perenungan bagi kita semua.

Senin, 16 Desember 2024

FILSAFAT KEHIDUPAN: ROH PENAGIH HUTANG YANG TERLAHIR SEBAGAI ANAK: ANAK-ANAK YANG MENIMBULKAN MASALAH SERIUS BAGI ORANG TUANYA

 FILSAFAT KEHIDUPAN: ROH PENAGIH HUTANG YANG TERLAHIR SEBAGAI ANAK: ANAK-ANAK YANG MENIMBULKAN MASALAH SERIUS BAGI ORANG TUANYA

 

Ivan Taniputera

15 Desember 2024

 


 

CATATAN: Tulisan ini tidak boleh diambil atau dikutip tanpa ijin penulis. Mengambil atau mengutip tanpa ijin adalah mencuri, yang dapat menjerumuskan pada alam-alam penderitaan; terlebih lagi mencuri Dharma. Kita juga hendaknya tidak merendahkan diri kita sendiri sebagai pencuri.

 

Belakangan ini, kita sering mendengar berita-berita mengenai seorang anak yang berulah sehingga orang tuanya juga ikut menanggung masalah atau kerugian besar. Sebagai contoh, ada anak seorang kaya dan berpengaruh yang menganiaya orang lain demikian parahnya. Kendati demikian, yang terkena masalah hukum bukan hanya anak itu saja. Orang tuanya pun turut terseret kasus hukum, karena ia juga memiliki kesalahan yang selama ini tersembunyi. Kesalahan orang tuanya itu pada akhirnya turut terbongkar, sehingga dijebloskan pula ke dalam penjara.  Ada pula anak seorang kaya yang menganiaya kekasihnya hingga tewas. Hal ini tentu saja merusak reputasi keluarganya. Masih ada lagi kasus, dimana seorang ayah yang berniat membela anaknya secara berlebihan terkena kasus hukum. Anak itu menurut berita sebelumnya telah dibully oleh anak lain. Sementara itu, kabar yang paling baru terdapat seorang anak yang menganiaya karyawannya sendiri. Bisnis orang tuanya menjadi terseret pula. Ada juga berita mengenai anak yang membunuh orang tuanya. Berita-berita tersebut semuanya mengisahkan mengenai seorang anak yang menimbulkan masalah bagi orang tuanya. Jadi alih-alih mengharumkan nama keluarga atau menambah keberuntungan keluarga, mereka malah merugikan serta mencelakai orang tuanya. Meski tidak semua orang tua dalam kasus di atas turut terseret kasus hukum, tetapi tentu saja kalau anak bermasalah mereka akan merasa malu atau sedih dengan perilaku anaknya. Selain itu, mereka tentunya juga akan kehilangan banyak hal.

 

Pertanyaannya, mengapa itu semua terjadi? Jawabannya sangat rumit. Bisa jadi orang tua kurang memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Dengan demikian, jiwa anak menjadi labih. Bisa juga karena orang tua terlalu memanjakan anaknya. Namun jawaban lebih lengkap dari sisi ini, lebih baik dijawab saja oleh para pakarnya. Saya lebih memilih untuk mengulasnya dari sisi Agama Buddha. Agama Buddha mengenal apa yang disebut sebagai roh penagih hutang atau 怨親債主 (Yuàn qīn zhàizhǔ). Itu merupakan sosok orang-orang yang kita pernah berhutang karma buruk pada kehidupan lampau. Sebagai contoh, orang yang tidak membayar hutangnya pada seseorang. Orang yang dihutangi itu lantas bertumimbal lahir sebagai anak orang berhutang tersebut. Saat karma itu sudah waktunya berbuah, maka anak itu lantas melakukan suatu tindakan yang entah bagaimana atau entah dalam bentuk apa, yang mengakibatkan harta orang tuanya ludes. Bisa juga orang tuanya dalam kehidupan sekarang tidak memupuk karma baik dan malah melakukan berbagai kesalahan. Akibatnya karma buruk masa lalu dan masa sekarang pada saat yang sesuai akhirnya berbuah bersama. Dampak yang ditimbulkannya juga besar.

 

Bisa juga anak yang lahir sakit-sakitan merupakan roh penagih hutang bagi orang tersebut. Anggota keluarga yang sering bertengkar satu sama lain mungkin juga merupakan roh penagih hutang satu sama lain. Intinya adalah energi karma entah baik entah buruk tidak dapat hilang begitu saja dan menunggu saat yang tepat guna memanifestasikan serta mematangkan dirinya. Tidak dapat menghilang begitu saja.

 

Lalu bagaimanakah cara mengatasi dampak negatif dibawa oleh roh penagih hutang, khususnya yang terlahir sebagai anak? Nampaknya sulit menemukan jawaban yang sederhana bagi hal ini. Awalnya mungkin kita juga tidak mengetahui apakah anak tersebut merupakan roh penagih hutang, yakni hingga ia menimbulkan masalah serius yang berdampak besar pada orang tuanya. Mulanya barangkali tidak terlihat ada masalah apa-apa. Jadi, tidak semuanya diketahui dari awal. Kalau begitu, apakah hal terbaik yang dapat dilakukan?

 

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa suatu karma entah baik atau buruk dapat dibuat agar tidak berbuah. Hal ini dapat diumpamakan dengan sebuah benih. Benih suatu tumbuhan akan bertunas atau tidak bertunas bergantung dari sebab beserta kondisi yang ada. Jadi, kalau ingin suatu benih tidak bertunas, maka harus dihadirkan sebab-sebab beserta kondisi yang menjadikannya tidak dapat bertunas; misalnya jangan diberi air, tanah, atau pun sinar matahari. Dengan demikian, benih menjadi busuk sehingga tidak dapat bertunas lagi menjadi tumbuhan besar. Hal yang sama berlaku pada karma. Karma buruk yang dibawa oleh roh penagih hutang dapat dibuat tidak berbuah. Bagaimana caranya? Dengan menghadirkan sebab atau kondisi yang tidak memungkinkannya berbuah. Kita akan memberikan contoh cara-caranya di bawah ini.

 

Cara paling utama adalah memberikan suatu ajaran moralitas yang baik pada anak-anak Anda. Kalau moralnya sudah terbentuk dengan baik, maka ia tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan tercela. Jikalau seseorang sudah mempunyai didikan moralitas yang baik semenjak dini, apakah mungkin ia dengan mudahnya mencelakai orang lain? Kuncinya adalah pendidikan untuk menjadi orang baik. Anda harus menjadikan anak Anda sebagai orang baik, bukan hanya “orang pandai, orang sukses, atau orang yang hebat.” Kalau Anda dapat menjadikan anak Anda sebagai sosok yang senantiasa berjalan lurus, maka peluang untuk menimbulkan masalah serius menjadi jauh lebih kecil. Kalau peluang masalah serius lebih kecil, maka dampak buruk yang akan ditimbulkan terhadap orang tua dan keluarga, juga akan lebih kecil. Orang tua sering menekankan agar anak-anaknya menjadi “orang pandai, orang sukses, orang kaya, orang hebat, dan lain sebagainya,” tetapi apakah mereka pernah menekankan agar anaknya menjadi orang baik? Ini adalah sebuah peringatan yang sangat penting.

 

Selain itu, yang juga tidak kalah penting adalah hidup Anda juga harus lurus dan benar. Kalau Anda ingin hidup anak Anda lurus dan benar, tetapi jalan Anda masih bengkok-bengkok, maka itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Jika Anda masih korupsi dan melakukan ketidakjujuran. Kalau Anda masih berupaya menjadi orang yang seolah-olah berkuasa dengan mengandalkan atau menyandarkan diri pada aparat atau orang-orang penting, maka bagaimana mungkin Anda berharap anak Anda menjadi anak yang memiliki jati diri baik? Itu adalah omong kosong. Intinya adalah, Anda sendiri juga harus hidup lurus dan bersih. Dengan demikian, energi negatif yang dibawa dari masa lampau akan makin lemah, sehingga akhirnya lenyap dan tidak sanggup memanifestasikan dirinya sendiri.

 

Apakah dengan semua yang dipaparkan di atas sudah pasti akan menghapuskan dampak buruk yang dibawa roh penagih hutang? Belum tentu juga. Anda tidak mengetahui seberapa besar hutang karma buruk yang dibawa dari masa lampau. Anda juga tidak tahu kapan energi karma buruk itu benar-benar sirna. Kendati demikian, kalau tidak melakukannya, maka peluang terjadinya hal buruk akan jauh lebih besar. Jadi, pilihannya ada di tangan Anda sendiri.

 

Demikian sedikit pembahasan kita mengenai roh penagih hutang yang terlahir sebagai anak seseorang. Sebenarnya, pembicaraan mengenai karma itu sangat rumit dan dalam. Hanya seorang Buddha yang memiliki pengetahuan paling sempurna mengenai hukum karma.

 

Saya sangat senang apabila tulisan ini dapat memberikan manfaat.

Selasa, 13 Juni 2017

ARTIKEL DHARMA KE-48: SIAPAKAH KAUM TERBUANG?-RENUNGAN ATAS VASALA SUTTA-SUTTA NIPATA

ARTIKEL DHARMA KE-48: SIAPAKAH KAUM TERBUANG?-RENUNGAN ATAS VASALA SUTTA-SUTTA NIPATA.
.
Ivan Taniputera.
14 Juni 2017.
.
Pada kesempatan kali ini, kita akan melakukan renungan terhadap Vasala Sutta yang menjadi bagian Sutta Nipata. Kita akan menarik berbagai intisari ajaran yang terdapat di dalamnya.
.
Pertama-tama, pada sutta ini Buddha mengajarkan bahwa mulia dan tidaknya seseorang bukan diperoleh atas dasar keturunan, melainkan atas perilaku luhur yang dimilikinya.
.
Agar dapat memahami sutta ini lebih baik, maka kita perlu sedikit mengenal latar belakang tradisi yang berlaku di India pada masa tersebut. Terdapat sekelompok orang yang disebut “kaum terbuang.” Mereka ini adalah orang-orang yang para leluhurnya dahulu pernah melakukan suatu kesalahan, sehingga akhirnya dikeluarkan dari masyarakat. Kaum ini menempati lapisan paling bawah atau rendah pada jenjang hirarki sosial di India. Mereka akan dijauhi dan dianggap hina, serta sering diperlakukan tidak baik.
.
Oleh karenanya, Hyang Buddha lalu mengajarkan apakah sesungguhnya yang dimaksud “kaum terbuang” itu. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
.
Pertama-tama, Hyang Buddha membabarkan ajaran dalam bentuk syair, bahwa orang penuh amarah, dendam, berjiwa munafik, dan berpandangan salah adalah “kaum terbuang” yang sesungguhnya.
.
Orang yang mencelakai makhluk lain tanpa berbelas kasihan adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang melakukan pembantaian (genosida), membawa kehancuran, dan penindasan adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang mencuri milik orang lain adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang mengingkari hutang-hutangnya (berhutang tetapi sewaktu ditagih ia menyatakan tidak berhutang atau menolak membayar) adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang tidak menyantuni mereka yang patut menerimanya padahal mempunyai harta kekayaan berlimpah adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
Orang yang tidak menghormati mereka yang patut dihormati dan bahkan mencelanya adalah “kaum terbuang” sesungguhnya.
.
Dengan demikian “terbuang” dan tidaknya seseseorang semata-mata ditentukan oleh perilakunya sendiri. Kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya seseoranglah yang telah membuang dirinya sendiri melalui perilaku buruk dan tidak layak. Agar dapat menuai keberuntungan dan keberhasilan dalam hidup, kita hendaknya senantiasa waspada serta mawas diri. Jangan sampai kita “membuang” diri kita sendiri.
.
Demikianlah sedikit renungan kita atas Vasala Sutta.