Tampilkan postingan dengan label renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label renungan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Mei 2020

RENUNGAN: HAKIKAT JATI DIRI ASALI YANG TIDAK BERBENTUK

RENUNGAN: HAKIKAT JATI DIRI ASALI YANG TIDAK BERBENTUK.
.
Ivan Taniputera.
31 Mei 2020.
.


.
Topik renungan kita kali ini barangkali agak berat. Mungkin hanya beberapa pembaca saja yang sanggup memahaminya. Kita akan sedikit membicarakan mengenai hakikat jati diri asali. Apa yang dinamakan hakikat jati diri asali tersebut, tidak berbentuk dan juga tidak bernama. Namun karena keterpaksaan dan agar mudah dipahami kita akan menyebutnya sebagai “hakikat jati diri asali.” Tetapi yang patut diketahui “hakikat jati diri asali” itu pun sebenarnya juga bukan namanya. Nama itu terpaksa diberikan agar mudah dikomunikasikan.
.
Hakikat jati diri asali itu tidak berbentuk atau tidak mempunyai rupa. Kendati demikian, pikiran konseptual kita yang membeda-bedakan telah memberinya suatu wujud. Itulah sebabnya, “wujud” itu karena “diberikan” bukan merupakan sesuatu yang sejati atau asali. Alasannya sangat sederhana, yakni karena awalnya memang tidak ada “wujud-wujud” semacam itu. Sayangnya, orang lalu menganggap “wujud-wujud” itu sebagai sesuatu yang asali dan sejati. Mereka lalu kehilangan esensi yang sebenarnya.
.
Itulah sebabnya, kita perlu kembali pada esensi hakikat jati diri asali yang tidak berwujud itu. Salah satu caranya adalah melalui keberanian mendekonstruksi pikiran-pikiran konseptual kita yang membeda-bedakan. Ini mungkin sangat berat dan memerlukan keberanian luar biasa. Kita perlu mendekonstruksinya lapis demi lapis, yakni seperti membuka lapisan demi lapisan bawang. Proses dekonstruksi itu harus dilakukan lapis demi lapis. Setelah seluruh lapisan dibuka, apakah yang tersisa? Tidak ada apa-apa. Kekosongan. Kesunyataan.
.
Agar jelas, kita akan memberikan suatu ilustrasi berupa pasir di pantai. Pasir itu asalnya tidak berbentuk, tetapi dengan menggunakan media cetakan, kita membentuknya menjadi beraneka ragam wujud. Wujud-wujud itu ada karena cetakan, yang mewakili pikiran konseptual membeda-bedakan kita. Namun sewaktu kita menghancurkan wujud-wujud dari pasir itu dan menggabungkannya kembali menuju keutuhan, kita dapatkan kembali pasir yang tidak berbentuk; yakni kembali seperti asalnya. Kita patut mengingat pula bahwa meski wujud-wujud itu kelihatannya berbeda, tetapi hakikatnya adalah pasir juga.
.
Artikel ini bukan hendak menyatakan bahwa pikiran konseptual tidak perlu. Hanya saja kita perlu menyadari bahwa itu hanya sebuah sarana atau metodologi saja dan tidak melekat padanya. Itu hanya sebuah perkakas, tetapi bukan tujuan atau hasil akhirnya. Seluruh perkakas hendaknya digunakan secara bijaksana dengan tujuan mewujudkan kebajikan.
.
Apakah Anda dapat memahami filosofi ini? Marilah renungkan bersama.

Selasa, 07 November 2017

KEBIJAKSANAAN PARA ULAT

KEBIJAKSANAAN PARA ULAT.
.
Ivan Taniputera.
25 Oktober 2017.
.
.


Terdapatlah sebuah negeri yang disebut Negeri Ulat. Para ulat di sana mengetahui bahwa suatu ketika, mereka dapat menjadi kupu-kupu yang indah. Meskipun demikian, tidak mustahil ada ulat yang mati sebelum sempat menjadi kupu-kupu. Itulah sebabnya, kendati tidak pernah melihat kupu-kupu mereka hanya diberitahu agar menjaga kesehatan, berlatih olah raga sebaik-baiknya, serta menjaga diri dari hewan pemangsa (predator), sehingga saat waktunya tiba mereka dapat menjadi kupu-kupu indah.
.
Suatu ketika, beberapa ulat muda yang cerdas mendiskusikan mengenai kupu-kupu. Berikut ini adalah pembicaraan mereka.
.
“Kupu-kupu konon merupakan makhluk yang sangat indah. Selain itu, ia juga dapat terbang ke mana saja. Tidak seperti kita yang hanya dapat merayap.”
.
“Betul, begitulah yang pernah kubaca dan kudengar. Kupu-kupu katanya mempunyai sesuatu yang disebut sayap. Benda tersebut sangat indah dengan corak yang konon membahagiakan pemandangan. Katanya dengan sayap itulah kupu-kupu dapat terbang ke mana saja. Rasanya enak menjadi kupu-kupu.”
.
“Kalau boleh kutambahkan. Kita semua kelak katanya juga bisa menjadi kupu-kupu lho.”
.
Nah, saya ada pertanyaan mengenai kupu-kupu? Apakah boleh kita diskusikan bersama?”
.
“Tentu saja boleh. Dengan berdiskusi kita akan menjadi makin luas wawasannya. Apakah pertanyaanmu itu?”
.
“Aku timbul pertanyaan sebagai berikut. Apakah setelah menjadi kupu-kupu kita masih ada atau tidak? Apakah dengan menjadi kupu-kupu kita akan menghilang? Apakah kupu-kupu itu ada atau tidak sehubungan dengan hal tersebut?”
.
“Hmmm....! Pertanyaan ini cukup sulit. Tetapi aku akan coba menjawabnya. Apa yang disebut ada dan tidak atau kita sebut saja konsep keberadaan itu bisa berbeda-beda dalam benak masing-masing ulat. Jika ada 1.000 ulat maka bisa saja ada 1.000 konsep tentang keberadaan pula. Bila ada 10.000 ulat maka mungkin sekali ada 10.000 konsep tentang keberadaan pula. Jadi, agak sulit menjawab mengenai ada dan tidak, karena konsep keberadaan kita masing-masing bisa saja berbeda. Apa yang menurutmu ada bisa saja menurutku tidak ada dan begitu pula sebaliknya”
.
“Menarik sekali. Bisakah engkau menguraikannya lebih jauh?”
.
“Pertama-tama, mari kita sepakati dahulu, bahwa kupu-kupu merupakan suatu ranah yang sama-sama belum kita ketahui. Kita belum pernah menjadi dan melihat kupu-kupu. Apakah engkau setuju?”
.
“Setuju sekali. Memang demikian halnya.” Seekor ulat yang dari tadi diam mendengarkan turut menyatakan kesetujuannya.
.
“Baik, mari kita lanjutkan pembahasan kita mengenai konsep keberadaan. Ada dan tidak itu bisa berbeda-beda tergantung cakupan pengetahuan kita. Ambil contoh, kita belum pernah ke kebun sebelah. Di sana terdapat kubis segar yang rimbun. Karena kita belum pernah ke kebun tersebut, maka kita tidak mengetahui keberadaannya. Dengan demikian, bagi kita kubis itu tidak ada. Namun, para ulat penghuni kebun sebelah akan mengetahuinya dan dengan demikian bagi mereka kubis itu ada. Kita perlu menyadari bahwa wawasan pengetahuan kita sebagai ulat masih terbatas. Apakah kita mengetahui seluruh kebun yang ada di dunia ini beserta tumbuhan apa saja yang ada di dalamnya? Tentu tidak, bukan? Itu adalah alasan pertama mengapa konsep keberadaan antar ulat bisa berbeda-beda. Apakah kalian setuju?”
.
“Sampai sejauh ini aku dapat memahaminya.”
.
“Begitu pula aku,” sahut ulat lainnya, “Kalau boleh kutambahkan sebagai berikut. Keberadaan itu juga bisa berbeda-beda dari waktu ke waktu. Misalnya, saat tumbuhan kubis di kebun ini belum tumbuh, maka kita akan menganggap kubis itu tidak ada. Setelah tumbuh baru kita mengetahui bahwa kubis lezat ini ada. Jadi, ini adalah masalah waktu. Kita mempunyai keterbatasan ruang dan waktu. Demikianlah konsep keberadaan kita. Pemahaman kita mengenai ada dan tidak bisa berubah-ubah atau berkembang seiring meluasnya jangkauan wawasan kita terhadap ruang beserta waktu.”
.
“Benar, engkau telah menjelaskannya dengan sangat baik.”
.
“Banyak pula ulat yang mendasari konsepnya mengenai ada dan tidak berdasarkan apa yang dapat dicerapnya melalui indranya. Sebagai contoh, kita para ulat hanya dapat membedakan terang dan gelap saja. Kita tidak dapat melihat apa yang makhluk lain khususnya manusia sebut sebagai warna.”
.
“Maaf kupotong sebentar. Warna? Apakah itu? Aku baru mendengarnya sekarang.”
.
“Agak susah mendefinisikan warna, karena itu berada di luar cakupan pencerapan kita. Intinya adalah meski kita tidak dapat mengenal apa yang disebut warna bukan berarti itu tidak ada. Meski menurut kita warna itu tidak ada, secara realita bukan berarti warna itu benar-benar tidak ada.”
.
“Ya tepat sekali. Selain itu, kita juga memutuskan mengenai ada dan tidak berdasarkan logika kita semata. Padahal logika kita juga tidak sempurna.”
.
“Apakah maksudmu bahwa logika kita tidak sempurna? Bukanlah sesuatu yang menurut kita masuk akal atau sesuai logika kita pasti benar?”
.
“Belum tentu. Aku bertanya padamu. Jika kubis berat dan kubis ringan dijatuhkan dari ketinggian yang sama, manakah yang akan tiba lebih dahulu di tanah?”
.
“Kalau menurut logikaku adalah kubis yang lebih berat.”
.
“Tetapi logikamu keliru. Kedua kubis akan tiba di tanah pada saat bersamaan. Kalau tidak percaya cobalah.”
.
“Baiklah. Meski rasanya tidak masuk akal, aku percaya saja padamu. Engkau khan ulat pakar fisika. Lagipula, sayang sekali membanting-banting atau menjatuhkan kubis. Lebih baik kubis lezat itu kita makan saja.”
.
“Ya, intinya adalah logika atau konsep pemikiran kita bisa saja salah. Begitu pula logika terhadap sesuatu yang kita anggap ada atau tidak juga mungkin sekali keliru.”
.
“Baik, inti dari pembicaraan kita sampai sejauh ini jika kupahami adalah sebagai berikut. Konsep kita tentang keberadaan belum tentu mewakili realita sebenarnya akibat segenap keterbatasan kita. Benarkah begitu?”
.
“Benar. Konsep kita mengenai ada dan tidak memang belum tentu mewakili realita sesungguhnya. Tadi kita sudah sepakat bahwa kupu-kupu adalah suatu ranah yang masih asing bagi kita atau sangat asing malah. Jadi adalah berisiko jika kita menerapkan konsep keberadaan yang kita miliki saat ini untuk menilainya-yakni menilainya berdasarkan dikotomi ada dan tidak.”
.
“Wah sangat menarik. Aku baru sadar kalau konsep ada dan tidak itu sangat relatif.”
.
“Kita kembali pada pertanyaan awal tadi. Apakah kita masih ada setelah menjadi kupu-kupu? Jika kita mengatakan tidak ada, maka pada kenyataannya kupu-kupu itu merupakan kesinambungan dari kita. Saat kupu-kupu muncul, maka kita lenyap. Namun tidak tepat kalau mengatakan bahwa kupu-kupu itu muncul dari ketiadaan sama sekali. Tidak tepat pula mengatakan bahwa kita selaku ulat lenyap menjadi ketiadaan saat menjadi kupu-kupu. Tetapi tidak tepat pula mengatakan bahwa kupu-kupu sama dengan ulat. Kita selaku ulat tidak pernah menyebut diri kita kupu-kupu, bukan? Namun yang pasti adalah dalam diri kita terdapat suatu potensi laten untuk menjadi kupu-kupu.”
.
“Pembicaraanya mulai berat, nih.”
.
“Tidak apa-apa. Kita nikmati saja diskusi ini sambil menyantap kubis segar.”
.
“Kalau boleh kutambahkan lagi. Adalah salah juga mengatakan bahwa ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu. Tadi telah dikatakan bahwa ulat bukan kupu-kupu dan kupu-kupu bukan ulat. Jadi kita juga tidak dapat mengatakan ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu. Kita tidak pernah menyebut kupu-kupu sebagai ulat, bukan?”
.
“Ya, setuju. Kita dan kupu-kupu punya perbedaan mendasar. Kupu-kupu punya sayap dan bebas terbang, sementara kita tidak.”
.
“Tepat. Aku pernah membaca sebuah buku di perpustakaan Negeri Ulat yang menyatakan ada dua konsep ekstrim keliru mengenai ada dan tidak ada ini. Ada yang mengatakan bahwa setelah menjadi kupu-kupu, ulat lenyap sama sekali. Ini adalah konsep ekstrim yang disebut NIHILISME. Konsep ini keliru, karena bagaimana pun juga kupu-kupu tidak muncul dari ketiadaan, melainkan ada musabab pendahulunya yang disebut ulat. Kupu-kupu ada karena ada tahapan kehidupan sebelumnya berupa ulat, yakni kita-kita ini. Kita tidak lenyap sama sekali setelah menjadi kupu-kupu karena ada semacam kesinambungan atau apa pun namanya setelah itu.”
.
“Aku pernah menguping pembicaraan di sekolah manusia. Mereka menyebut tahapan-tahapan kehidupan kita ini sebagai metamorfosa. Tetapi aku lebih suka menyebutnya sebagai transformasi. Kita tadi sudah membahas mengenai salah satu konsep ekstrim, bagaimana dengan konsep satunya?”
.
“Konsep satunya disebut ETERNALISME. Konsep ini menyatakan bahwa ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu. Konsep ini juga kurang tepat, karena seperti yang sudah kupaparkan tadi, kupu-kupu bukan ulat. Jadi kita juga tidak boleh mengatakan bahwa ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu. Jikalau seandainya ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu, maka kupu-kupu itu boleh juga kita sebut ulat, bukan?”
.
“Baik. Aku paham. Jadi dikotomi ada dan tidak belumlah sanggup memaparkan keberadaan beserta ketidak-beradaan bersesuaian dengan realita sebenarnya?”
.
“Benar. Jika hanya berpedoman pada pandangan dualisme seperti itu, realita mungkin sekali tidak dapat digambarkan dengan benar dan utuh. Kita hanya akan mendapatkan gambaran sebagian-sebagian saja yang tidak sempurna. Oleh karenanya, agar mendapatkan pemahaman terhadap segenap fenomena secara utuh, kita perlu melampaui dualisme ada dan tidak, yakni dengan memandang segala sesuatu sebagaimana adanya. Contohnya adalah ulat dan kupu-kupu tadi. Jika, ulat tidak ada setelah menjadi kupu-kupu, maka tidak adanya bagaimana. Apabila ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu, maka adanya bagaimana. Itulah sebabnya, sekedar mengatakan ada dan tidak sangatlah tidak memadai dan terlalu menyederhanakan permasalahannya. Namun untuk pembicaraan atau komunikasi sehari-hari antar para ulat tentunya tidaklah masalah”
.
“Mungkin kini tibalah saatnya membahas apakah setelah kita menjadi kupu-kupu, kupu-kupu tersebut dapat disebut ada atau tidak?”
.
“Ini adalah pertanyaan sangat sulit dan telah menimbulkan perdebatan selama berabad-abad. Lalu bagaimana cara kita menjawabnya? Kembali pada apa yang sudah kita bicarakan tadi. Konsep kita mengenai ada dan tidak sangatlah terbatas dan bersifat relatif antara satu ulat dengan ulat lainnya. Sebenarnya adalah berisiko menerapkan konsep-konsep bentukan pikiran kita selaku ulat ini yang masih bersifat relatif dan terbatas terhadap ranah yang sama sekali belum kita kenal.”
.
“Wah seru. Mari lanjutkan pembahasannya.”
.
“Kalau kita sebut kupu-kupu itu ada, maka kita akan menggunakan konsep kita sendiri mengenai keberadaan untuk menganggapnya ada. Sebaliknya, jika kita menyebutnya tidak ada, maka kita akan menggunakan konsep kita sendiri mengenai ketidak-beradaan untuk menganggapnya tidak ada. Akhirnya semua itu akan berpulang kembali pada permainan konsep dalam benak kita sendiri, dimana sekali lagi sangat mungkin bahwa seluruh konsep tersebut tidak mencerminkan realita sebenarnya. Pada akhirnya, kita hanya terjerumus pada jurang konsep-konsep saja. Kita memang cenderung menilai atau memahami sesuatu berdasarkan konsep-konsep yang ada dalam benak kita sendiri, terlepas dari konsep itu sungguh bersesuaian dengan realita atau tidak.”
.
“Betul. Aku paham. Misalnya aku menyebut kubis di kebun ini enak, itu artinya aku sedang menerapkan konsepku tentang kelezatan terhadap kubis tersebut. Kalau aku menyebut kubis di kebun sebelah tidak enak, maka aku sedang menerapkan konsepku sendiri mengenai ketidak-lezatan terhadap kubis kebun sebelah. Ulat lain mungkin mempunyai konsep yang berbeda.”
.
“Jika kita hendak menjawab pertanyaan apakah kupu-kupu itu ada, maka kita harus melampaui segenap konsep kita yang terbatas. Bila tidak, maka salah-salah apa yang kita pahami tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep NIHILISME atau ETERNALISME sebagaimana telah kuuraikan sebelumnya. Berhati-hatilah, konsep-konsep itu sangat halus dan bisa menjebak.”
.
“Jadi bagaimana seharusnya.”
.
“Kalau menurut pendapatku sebagai berikut. Kalau kita terpaksa hendak menyebut kupu-kupu sebagai ada, maka gunakanlah ada dalam tanda petik (“ada”). Artinya meski “ada,” tetapi “keberadaan” itu bukanlah dalam artian konsep konvensional mengenai keberadaan yang sudah bercokol dalam benak kita masing-masing. Sebaliknya, jika kita terpaksa hendak menyebutnya tidak ada, maka gunakanlah tidak ada dalam tanda petik (“tidak ada”). Artinya meski “tidak ada,” tetapi “ketidak-beradaan” itu bukanlah seperti konsep konvesional mengenai ketidak-beradaan yang sudah bercokol dalam benak kita masing-masing. Jadi ada dalam tanda petik (“ada”) dan tidak ada dalam tanda petik (“tidak ada) seluruhnya adalah pemahaman yang melampaui seluruh konsep konvensional kita mengenai ada dan tidak ada. Itulah sebabnya, tidak bertentangan satu sama lain. ”
.
“Aku jadi agak bingung. Seperti apakah pemahaman yang melampaui seluruh konsep konvensional mengenai ada dan tidak ada itu?”
.
“Kita sendiri masih bergerak dalam konsep-konsep konvesional tersebut dan belum melampauinya. Jadi, kita hanya mengetahui sampai sebatas itu saja. Inilah batas dari apa yang dapat kita ulas. Ibaratnya, jika kita belum pernah ke kebun sebelah, maka kita tidak akan mengetahui dengan utuh kebun itu seperti apa. Kita harus memasuki kebun sebelah terlebih dahulu barulah dapat mengetahui kebun tersebut sebagaimana adanya. Begitu pula, kita harus sanggup mencapai suatu wawasan pemahaman yang melampaui segenap konsep konvensional terlebih dahulu barulah mengetahui seperti apakah wawasan tersebut seutuhnya. Aku sendiri belum sanggup. Jadi aku hanya dapat menguraikan sampai sebatas ini saja.”
.
“Kesimpulannya, kita boleh menyebut kupu-kupu itu ada dalam tanda petik (“ada”) dan tidak ada dalam tanda petik (“tidak ada”), dimana kedua hal itu sama sahihnya?”
.
“Benar. Karena “ada” dan “tidak ada” jika dipahami melampaui konsep konvensional kita tidaklah bertentangan. Pada tataran yang melampaui segenap konsep, maka ada dan tidak ada akan kehilangan relevansinya. “Ada” adalah “tidak ada” dan “tidak ada” adalah “ada.” Ingat jangan lupa gunakan selalu tanda petik. Hanya sampai sejauh ini yang dapat aku bahas.”
.
“Terima kasih banyak untuk diskusinya. Saya harap pada kesempatan lain kita dapat melanjutkan diskusi ini atau membahas topik lain yang juga menarik. Aku pamit pulang dulu.”
“Baik. Hati-hati di jalan. Aku juga mau pulang.”

Jumat, 20 Januari 2017

MEMINJAM MIMPI

MEMINJAM MIMPI
.
Ivan Taniputera
20 Januari 2017


Sekedar renungan malam. Apakah yang tidak bisa kita pinjam dari orang lain? Ikutilah dialog berikut ini yang tentu saja fiktif. 
.
A: Selamat siang sobat. Apakah engkau bermimpi semalam? Jika bermimpi apakah mimpimu?
B: Mengapa engkau menanyakan hal itu, kawan?
A: Karena mimpimu selalu indah. Aku biasanya tidak bermimpi atau kalau bermimpi biasanya mimpiku buruk atau tanpa makna sama sekali.
B: Lalu apakah yang engkau inginkan?
A: Kalau boleh aku ingin pinjam mimpimu barang semalam saja. Aku juga sekali-sekali ingin bermimpi indah. Kuberjanji besok akan kukembalikan.
.
Demikianlah sepotong percakapan antara dua orang sahabat. Mungkinkah seseorang meminjam mimpi orang lain? Ternyata mimpi merupakan sesuatu yang tidak dapat kita pinjam dari orang lain; bagaimana pun caranya. Oleh karenanya, kita harus memimpikan mimpi kita sendiri. Demikianlah sedikit renungan malam kita.

Sabtu, 31 Desember 2016

RENUNGAN TAHUN BARU 2017

RENUNGAN TAHUN BARU 2017
.
Ivan Taniputera.
1 Januari 2017
.




Rasanya baru kemarin kita memasuki tahun 2016, kini tak terasa tahun tersebut telah berlalu dan tidak akan kembali lagi. Begitu detik pergantian tahun tiba, maka kita mengucapkan selamat berpisah pada sahabat yang telah menyertai kita selama setahun baik pada saat suka maupun duka, yakni tak lain dan tak bukan adalah Tahun 2016. Tahun demi tahun yang terus berlalu ini menyadarkan kita bahwa segala sesuatu tidak ada yang kekal. Jika sudah saatnya berlalu pasti akan berlalu. Namun dengan berlalunya yang lama, pasti akan hadir sesuatu yang baru. Apabila yang lama tidak berlalu, maka yang baru tidak akan muncul. Jadi pergantian ini adalah sesuatu yang alami. Tidak dapat kita cegah dan pasti akan terjadi.
.
Kesadaran terhadap waktu yang terus berlalu ini hendaknya menyadarkan kita agar senantiasa melalukan hal-hal bermanfaat. Mengingat bahwa waktu yang telah berlalu tidak dapat dihadirkan kembali, adalah sangat disayangkan jika kita menyia-nyiakannya. Lalu apakah hal bermanfaat itu? Tentu saja masing-masing orang mempunyai pandangan berbeda mengenai apa yang dianggapnya bermanfaat. Namun ada suatu pengertian universal mengenai apa yang dianggap bermanfaat itu; yakni menaburkan sesuatu yang sekiranya dapat memberikan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Bukan hanya sekelompok atau segolongan orang saja, melainkan seluruh umat manusia secara luas. Sebelum melakukan sesuatu, kita hendaknya berpikir apakah itu akan bermanfaat bagi semua orang tanpa terkecuali? Apakah hal itu akan menciptakan dunia yang lebih baik? Demikianlah, kita hendaknya berupaya memandang dunia ini agar terbebas dari sekat-sekat. Terkadang kita hanya melakukan sesuatu demi menguntungkan diri sendiri. Ini bukanlah tindakan bermanfaat yang universal. Jadi, pada tahun 2017 marilah kita memperluas wawasan kita. Marilah kita memanfaatkan waktu yang sangat berharga ini demi menaburkan sebanyak mungkin manfaat universal bagi seluruh umat manusia.
.
Tahun 2016 yang baru saja berlalu banyak dikotori oleh berbagai peperangan dan permusuhan. Oleh karenanya, pada tahun yang baru ini kita perlu memanjatkan doa agar dunia menjadi lebih damai dan bertambah baik. Jika setiap orang tidak lagi mementingkan diri atau golongannya sendiri, sudah tentu dunia ini akan menjadi damai. Kita harus dapat memikirkan kepentingan yang lebih luas. Jangan sampai ada yang dikorbankan kepentingannya.
.
Kita akan merenungkan pula bahwa hakikat ketidak-kekalan itu sebenarnya telah berada pada tataran atomik. Elektron pada kulit terluar yang mudah berpindah-pindah mengakibatkan suatu zat berubah mengalami zat lainnya. Bahkan atom Gas Mulia (golongan VIIIA pada sistim periodik unsur) sekalipun juga dapat membentuk suatu senyawa; misalnya XeF6. Reaksi kimia yang melibatkan pergerakan atau perpindahan elektron inilah yang mengakibatkan perubahan kimia terus menerus terjadi, sehingga segala sesuatu tidak ada yang kekal. Buah segar mengalami perubahan kimia, sehingga menjadi busuk. Bunga juga mengalami perubahan kimia, sehingga menjadi layu. Besi mengalami perkaratan karena terjadi perubahan kimia, yakni akibat reaksi dengan Oksigen. Semua ini adalah sesuatu yang alami.
.
Di tahun yang akan datang kita perlu belajar lebih rajin meningkatkan kemampuan dan pengetahuan kita, karena arus globalisasi akan terus menerus mengejar kita. Jikalau kita tidak dapat menyesuaikan diri dengannya, maka kita akan tertinggal dan kalah. Oleh karenanya, seiring dengan tahun-tahun yang terus berlalu, maka kita harus terus belajar. Pengetahuan itu tidak ada habisnya. Kita hendaknya menimba ilmu tanpa henti. Pengetahuan kita dari tahun ke tahun hendaknya terus bertambah. Janganlah pernah berhenti belajar jika masih ada kesempatan untuk itu.
.
Tahun-tahun yang akan datang, tantangan akan semakin berat. Dengan demikian, diperlukan kreatifitas kita. Tanpa kreatifitas kita akan dipecundangi oleh berbagai tantangan tersebut. Oleh karenanya, tantangan bagi dunia pendidikan adalah perlunya kesanggupan menciptakan generasi-generasi muda yang kreatif. Dunia pendidikan perlu memberikan penghargaan pada sosok-sosok siswa yang kreatif dan bukannya malah membelenggu kreatifitas tersebut. Sudah saatnya kreatifitas menjadi tujuan utama pendidikan, dan bukan hanya sekedar mengerjakan sesuatu dengan benar berdasarkan cara-cara yang sudah ada. Pendidikan bukanlah sarana mencetak robot-robot, melainkan sosok cerdas dan kreatif yang bermanfaat bagi sesama. Pendidikan bukanlah bertujuan mendapatkan nilai semata, melainkan mendapatkan bekal demi mendaki kehidupan yang semakin curam.
.
Karena segala sesuatu pasti akan berlalu, maka kita juga harus berani mengucapkan selamat tinggal pada segenap trauma, kemarahan, kebencian, kesedihan, dan bayang-bayang hantu masa lalu kita. Intinya adalah kita harus berani “move on.” Orang yang pemberani adalah orang sanggup “move on.” Segenap beban masa lalu harus ditinggalkan agar kita dapat meraih masa depan baru yang gemilang. Jika kita masih dijerat oleh masa lalu, bagaimana mungkin kita dapat bergerak memasuki gerbang masa mendatang yang gemilang?
.
Selamat Tahun Baru 2017 bagi yang merayakannya. Selamat tinggal sahabat lama Tahun 2016! Selamat datang sahabat baru Tahun 2017!

Jumat, 10 Juni 2016

RENUNGAN TUJUH BELAS TAHUN REFORMASI

RENUNGAN TUJUH BELAS TAHUN REFORMASI
.
Ivan Taniputera.
11 Juni 2016
.
Seharusnya artikel ini saya tulis sebulan yang lalu, yakni bertepatan dengan peringatan diawalinya reformasi di negara kita. Tetapi karena ada banyak keperluan lain, maka artikel ini baru dapat saya tulis sekarang. Pada kesempatan kali ini saya ingin melakukan kilas balik mengenai apa yang telah terjadi selama 17 tahun reformasi ini. Tentu saja sudah banyak peristiwa terjadi selama kurun waktu tersebut.
.
Tahun 1997 krisis moneter melanda negara kita. Pada tahun 1997 saya baru saja menyelesaikan studi saya di Jerman dan bekerja di salah satu perusahaan manufaktur mesin di Tangerang. Baru beberapa bulan pulang ke tanah air, atau tepatnya sekitar bulan Agustus 1997, nilai tukar Rupiah mulai jatuh terhadap Dollar. Dari kurang lebih Rp. 2.000 per USD merosot menjadi sekitar Rp 15.000. per USD. Krisis ini berlangsung semakin parah dan menimbulkan kepanikan dalam masyarakat. Harga-harga melambung tinggi. Saya teringat waktu itu saya hendak membeli tahu goreng di penjual langganan saya dan telah menyiapkan uang dengan jumlah tertentu, namun ternyata uangnya kurang karena harga tahu telah naik beberapa kali lipat.
.
Saat itu mudah terjadi suasana kepanikan di tengah masyarakat. Saya ingat suatu ketika sepulang kerja saya harus membayar uang perbaikan mobil di sebuah bengkel, namun saya mendapati bahwa terjadi antrian sangat panjang di ATM. Ternyata tersebar isu bahwa pemilik bank tersebut meninggal dunia padahal sebenarnya tidak. Nasabah menjadi panik dan khawatir bank itu tumbang. Mereka lalu berbondong-bondong berupaya menarik dananya. Selanjutnya, terjadi pula kepanikan saat beberapa bank terpaksa dilikuidasi.
.
Di tengah-tengah krisis moneter ini, Presiden Soeharto menaikkan harga BBM pada tanggal 5 Mei 1998 dari Rp. 700,- per liter menjadi Rp. 1.200,-. Ini menimbulkan pula kepanikan di tengah masyarakat. Pada hari sebelum harga resmi naik, terjadi antrian panjang masyarakat membeli BBM di seluruh SPBU yang tersebar di berbagai kawasan Jakarta. Antrian ini menimbulkan kemacetan yang demikian parah. Saya berusaha menghindari kemacetan ini dengan melalui berbagai jalan alternatif (disebut jalan tikus) di pinggiran kota Jakarta. Hasilnya saat melalui salah satu jalan tersebut mobil saya terjebak lumpur dan tidak dapat maju atau mundur. Untunglah ada penduduk setempat yang membantu mendorong mobil saya sehingga dapat terbebas dari lumpur. Saya kembali ke jalan besar dan tetap terjebak kemacetan parah. Kendaran yang ada hampir tidak bergerak sama sekali. Akhirnya setelah menemukan jalan tikus lain, saya dapat kembali ke tempat kos saya di kawasan perumahan Citra Garden I, Jakarta Barat. Kenaikan harga BBM ini makin memicu ketidak-puasan di kalangan masyarakat. 
.
Memasuki tahun 1998 marak terjadi unjuk rasa oleh mahasiswa yang menuntut perbaikan ekonomi. Saya masih bekerja di Tangerang. Ketika itu, saya hanya dapat mengikuti perkembangan berita dari radio saja. Secara umum, suasana saat itu memang sudah diwarnai ketegangan. Terdengar berita bahwa ada mahasiswa tertembak, yang kemudian memicu kerusuhan di ibu kota Jakarta. Inilah yang kita kenal dengan Kerusuhan Mei 1998. Jakarta membara dan terjadi pembakaran rumah dan toko milik etnis tertentu. Begitu kerusuhan mereda, saya mendapat kesempatan pulang ke Semarang. Waktu itu, Semarang dalam kondisi tenang, tetapi suasana tegang tetap terasa karena berbagai isu terdengar santer di mana-mana. Terbetik isu bahwa di luar kota telah siap menanti serombongan orang yang hendak memicu kerusuhan di Semarang.
.
Serombongan besar mahasiswa berdemonstrasi di kawasan Simpang Lima, Semarang, menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Banyak orang menanti dengan harap-harap cemas, apakah presiden bersedia mengundurkan diri dari jabatannya. Akhirnya pertanyaan itu terjawab pada tanggal 21 Mei 1998, sekitar pukul 10.00 pagi, saya menyaksikan melalui layar terlevisi di Bandara A. Yani, Semarang, Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya. Wakil Presiden, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie tampil menggantikan Beliau. Rasanya masih tidak percaya bahwa kita akhirnya mempunyai presiden baru. Bertahun-tahun sebelumnya, terbentuk kesan bahwa Pak Harto adalah sosok kuat yang tidak akan jatuh. Dengan mundurnya Pak Harto, ketegangan berangsur mereda dan saya bisa kembali ke Jakarta untuk bekerja kembali.
.
Sewaktu kembali ke Jakarta saya masih menyaksikan sisa-sisa kerusuhan yang ketika itu belum dibereskan. Kaca-kaca pecah masih bertebaran di mana-mana. Bangunan dan mobil hangus tampak di mana-mana.
.
Setelah Pak Harto lengser berbagai isu yang dahulu dianggap tabu kini muncul ke permukaan. Sebagai contoh adalah hasil otopsi para pahlawan revolusi yang dahulu tidak pernah muncul ke publik kini dimuat di sebuah majalah. Partai-partai politik baru mulai bermunculan. Pada pemilihan umum (pemilu) sebelumnya, kontestan yang turut serta hanya tiga, yakni PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Golkar (Golongan Karya), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Kini muncul partai-partai baru yang namanya tidak dapat saya ingat semuanya.
.
Selanjutnya, muncul tiga orang tokoh utama pada gerakan reformasi masa itu, yakni KH. Abdurachman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Amien Rais. Keadaan ketika itu berbalik, jika pada kampanye sebelumnya PDI, yang kemudian diubah namanya oleh Ibu Megawati menjadi PDIP, dimana tambahan huruf P merupakan singkatan “Perjuangan,” benderanya jarang tampak di mana-mana karena sedang mengalami permasalahan; namun kini bendera dan posko PDIP bertebaran di mana-mana. Ketika itu, PDIP nampak sedang naik daun. Bendera merah dengan lambang partai PDIP (banteng dalam lingkaran putih) berkibar di sepanjang jalan yang saya lalui sehari-hari.
.
Kebebasan mendirikan partai politik ini memang merupakan suatu kemajuan dalam demokrasi. Kebebasan berserikat dan berkumpul yang sebelumnya dikekang kini nampak terbuka lebar. Namun menurut pendapat saya, apakah banyaknya partai politik ini akan berdampak baik bagi kemajuan masyarakat secara keseluruhan, maka jawabnya adalah “belum tentu.” Jika kita amati dewasa ini, partai politik justru sarat oleh berbagai kepentingan yang justru sama sekali tidak bermanfaat bagi rakyat. Para elit partai banyak yang terlibat kasus korupsi, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun. Berbagai skandal di masa reformasi juga masih marak, dimana banyak di antaranya melibatkan jajaran partai politik yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
.
Jadi, jika direnungkan dengan seksama, maka salah satu kemajuan dalam reformasi adalah kebebassan dalam mengeluarkan pendapat. Sebelumnya, kebebasan berpendapat ini dikekang. Namun, apakah kebebasan berpendapat ini sepenuhnya mendatangkan dampak menguntungkan bagi masyarakat? Akan kita bahas nanti.
.
Pada tahun 1999, peristiwa lain yang saya ingat adalah lepasnya Timor Timur (Timtim) yang kemudian berdiri menjadi negara Timor Leste. Ketika itu, Presiden Habibie memutuskan menyelenggarakn jajak pendapat di sana, guna mengetahui apakah kawasan tersebut ingin tetap bergabung dengan RI ataukah ingin merdeka. Berbeda dengan dugaan sebagian besar, Timor Timur memilih merdeka, dengan kemenangan kubu pro kemerdekaan sebesar 90 persen. Ada berbagai pandangan yang menyatakan bahwa jajak pendapat itu direkayasa pihak-pihak tertentu, tetapi kebenarannya bagaimana saya tidak tahu.
.
PDIP berhasil memenangkan Pemilu tanggal 7 Juni 1999. Ini merupakan kali pertama PDIP meraih kemenangan. Di luar dugaan Golkar memperoleh urutan kedua. Ternyata partai yang selalu menjadi pemenang pemilihan umum masa Orde Baru masih kuat. Euforia atau rasa kemenangan itu sangat kuat, banyak orang menduga bahwa Megawati akan menjadi presiden. Tetapi ternyata sejarah mencatat bahwa yang terpilih menjadi presiden adalah Gus Dur, sementara Megawati menjadi wakilnya. Kendati demikian hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR memburuk. Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR memberhentikan Gus Dur sebagai presiden yang kemudian digantikan oleh Megawati.
.
Pemberhentian Gus Dur ini sempat memicu kerusuhan di kawasan Waru, Sidoarjo. Ketika itu, saya sudah pindah bekerja di Surabaya. Terjadi pembakaran markas partai Golkar di Waru, Sidoarjo. Kebetulan sepulang kerja saya lewat di sana dan menyaksikan kobaran api masih menyala di bangunan tersebut. Kendati demikian, kerusuhan tidak membesar. Dengan berhentinya Gus Dur, maka era pemerintahan Megawati dimulai.
.
Presiden Gus Dur telah membuka lebih jauh pintu gerbang demokrasi dan kesetaraan etnis. Tahun Baru Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional.
.
Pada pemilihan presiden selanjutnya, Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudoyono (SBY). SBY sempat menjabat sebagai presiden selama dua periode, sebelum Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai presiden.
.
Kini setelah melakukan berbagai kilas balik peristiwa penting semasa 17 tahun reformasi, kita akan membahas berbagai hal. Memang benar bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat telah dibuka lebih lebar semasa era reformasi. Orang kini bebas berdemonstrasi atau berunjuk rasa. Tentu saja ini bukan sesuatu yang buruk. Namun yang patut diingat segenap unjuk rasa atau demonstrasi rentan ditunggangi oleh pihak-pihak dengan kepentingan tertentu. Jadi unjuk rasa ini sudah bukan lagi murni menyampaikan aspirasi rakyat, melainkan aspirasi pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, kebebasan berunjuk rasa bukan lagi produktif melainkan kontra produktif. Perlu dipikirkan cara bagaimana mengatasi masalah ini.
.
Selama masa reformasi, kelompok-kelompok fundamentalis berbasis agama berkembang marak. Timbul berbagai aksi teror, seperti peristiwa bom Bali, Kuningan, dan lain sebagainya. Hubungan toleransi antar umat beragama juga mengalami kemerosotan terbukti dengan meledaknya kerusuhan berlandaskan agama di berbagai kawasan Nusantara. Meski baru-baru ini pemerintah menegaskan tidak boleh ada razia terhadap rumah makan atau warung yang buka selama puasa, namun bertentangan dengan seruan pemerintah tersebut masih ada pihak-pihak yang tetap melakukan razia. Oleh karenanya, pemerintah yang sekarang perlu menegakkan kembali kewibawaannya. Pihak-pihak yang bertindak di luar hukum perlu ditindak tegas. Tidak boleh ada peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan perundangan di atasnya, terutama Pancasila dan UUD 45.
.
Selanjutnya, dewasa ini kita menyaksikan pula adanya kebijakan yang terbalik-balik. Bagaimana mungkin seorang penghina Pancasila dapat diangkat menjadi duta Pancasila. Ini sebenarnya adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Demi menegakkan kewibawaan dasar negara dan lembang negara, maka barangsiapa yang dengan sengaja menghina Pancasila dan Garuda Pancasila perlu ditindak secara hukum. Apabila dasar negara saja sudah tidak lagi dihormati, bagaimana mungkin menciptakan masyarakat yang tertib dan sehat?
.
Peningkatan mutu tayangan umum juga perlu diperhatikan. Masyarakat berhak mendapatkan tayangan yang baik dan bermutu. Masing-masing stasiun televisi hendaknya mengemban tanggung jawab moral dalam menyebarkan berbagai tayangan yang mendidik serta membangun moral dan intelektual bangsa. Dengan kata lain, tidak hanya mengejar rating dan pemasukan melalui iklan. Tanggung jawab moral ini yang perlu lebih dikedepankan.
.
Jika diamati banyak tokoh yang serius memikirkan kemajuan masyarakat dan negara, seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Presiden Jokowi terasa berbeda dengan para pemimpin sebelumnya. Biasanya para pejabat tinggi negara akan membunyikan sirine saat mengadakan perjalanan. Namun tidak demikian dengan Presiden Jokowi. Beliau tetap rela terjebak kemacetan tanpa membunyikan sirine. Ini membuktikan salah satu sisi kepemimpinan yang baik Presiden Jokowi. Gubernur Ahok juga telah memberikan berbagai kemajuan bagi DKI. Sungai-sungai menjadi bersih.
.
Apabila kita melakukan kilas balik bagi 17 tahun reformasi, maka sudah banyak hal baik dicapai. Namun memusatkan diri pada hal-hal baik yang sudah dicapai sesungguhnya tidak produktif. Kita akan terjebak pada nostalgia masa lalu semata. Oleh karenanya, lebih baik memusatkan diri pada hal-hal yang masih perlu dibenahi. Prestasi yang baik itu sudah menjadi sejarah masa lalu. Namun hal-hal yang masih perlu dibenahi merupakan tantangan masa mendatang. Nilai tukar Rupiah masih belum stabil, yang saat tulisan ini dibuat masih bertengger pada kisaran Rp. 13.000,- lebih. Jadi, sama dengan saat krisis moneter dahulu. Karenanya, boleh disimpulkan bahwa kita masih belum sembuh dari krisis moneter.
.
Wibawa dan ketegasan hukum masih perlu ditingkatkan. Jangan biarkan golongan fundamentalis merajalela dan melecehkan Pancasila beserta UUD 45. Pancasila harus tetap jaya dan sakti! Iklim toleransi antar umat beragama dan elemen bangsa perlu makin ditingkatkan. Berbagai kasus lama juga masih belum terungkap, seperti Kerusuhan Mei 1998 dan lain sebagainya.
.
Sebagai penutup, jika ditanya apakah keadaan di masa sekarang sudah jauh lebih memuaskan dibandingkan tahun 1998 dahulu? Masa saya jawab, “Belum!” Kita masih jauh ketinggalan dibandingkan negara-negara maju. Lalu untuk apa berpuas diri? Jawaban “Belum” itulah yang menurut saya paling tepat.

Senin, 28 September 2015

SANGGUP BERAMAL ADALAH KEBERUNTUNGAN

SANGGUP BERAMAL ADALAH KEBERUNTUNGAN
.
Ivan Taniputera.
26 September 2015 . 
.


 

 .

Banyak orang merasa bersungut-sungut saat beramal. Namun kalau kita renungkan kemampuan beramal itu adalah suatu keberuntungan. Lalu jika kita mendapatkan keberuntungan apakah kita akan bersungut-sungut?
.
Bagaimana mungkin orang mendapatkan keberuntungan, tetapi malah bersungut-sungut?
.
Marilah kita renungkan bersama. Agar dapat beramal, kita memerlukan kondisi. Pertama-tama, kita perlu mempunyai sesuatu selaku obyek amal, baik itu materi (uang atau benda) dan tenaga. Namun masalahnya, tidak semua orang selalu mempunyai hal-hal tersebut.
.
Sebagai contoh, ada seorang teman yang sudah bertekad hendak beramal pada pengemis tua yang ada perempatan jalan. Kendati demikian, sewaktu merogoh sakunya, ternyata dompetnya ketinggalan. Karenanya, ia jadi gagal beramal. Jadi ini merupakan bukti bahwa tidak selalu seseorang punya kesempatan beramal. Jadi jika Anda ada kesempatan lakukanlah hal tersebut dengan suka cita.
.
Kedua, jika Anda mempunyai sesuatu yang dijadikan obyek amal, maka itu tandanya Anda beruntung. Anda setidaknya memiliki sesuatu. Banyak orang di muka bumi ini yang tidak memiliki apa-apa. Bila Anda mempunyai sesuatu yang berlebihan, maka itu tandanya termasuk golongan orang beruntung. 
.
Ketiga, ada kalanya kita tidak menjumpai sasaran amal kita. Ada seorang teman yang bertekad akan beramal hari ini pada setiap pengemis yang dijumpainya. Anehnya, pada hari itu, dia justru tidak menjumpai seorang pengemis pun. Padahal, di hari-hari sebelumnya, saat dia enggan beramal, justru ia menjumpai banyak pengemis di sepanjang perjalanannya dari rumah ke kantor. Apabila kita yakin bahwa beramal merupakan salah satu wahana mengumpulkan jasa pahala, maka nampak bahwa orang itu tidak beruntung. Ia tidak mempunyai kesempatan mendapatkan jasa pahala. Meskipun demikian, dalam beramal, kita hendaknya menyingkirkan sikap pamrih kita demi mendapatkan jasa pahala. Beramal hendaknya jangan seperti hitung dagang. Kita beramal apa, akan dapat apa. Itu bukanlah sikap beramal yang baik. Kita beramal dengan kesadaran bahwa tindakan itu dapat meringankan penderitaan orang lain. 
.
Kendati demikian, bagi orang yang sudah terbiasa beramal, maka konsep jasa pahala sudah tidak mereka pikirkan. Semuanya akan berjalan secara alami tanpa ada pikiran pamrih lagi. Karena itu, beramal perlu menjadi bagian pola kebiasaan kita.
Beramal hendaknya menjadi latihan spiritual dalam mengikis keserakahan serta membangkitkan sikap altruistik atau mempedulikan kepentingan insan lain. Jika Anda beramal, Anda mempunyai kesempatan melatih batin Anda. Tidakkah Anda beruntung?
Kembali pada pokok bahasan kita, maka jelas sekali berdasarkan contoh-contoh di atas, tidak selalu kita mempunyai kesempatan beramal. Jadi, jika Anda mempunyai kesempatan beramal, tidakkah Anda beruntung?
.
Demikian agar bermanfaat adanya.
Artikel menarik lainnya silakan kunjungi:
https://www.facebook.com/groups/339499392807581/


Sabtu, 06 Juni 2015

MENJADI PEJABAT: SEBUAH RENUNGAN

MENJADI PEJABAT: SEBUAH RENUNGAN

Ivan Taniputera
6 Juni 2015



Ada banyak orang yang bercita-cita menjadi pejabat. Apabila kita renungkan menjadi pejabat memang merupakan sesuatu yang sangat mulia. Pejabat adalah orang-orang yang bekerja demi kesejahteraan orang lain. Pejabat adalah abdi bagi orang lain. Tidakkah berkarya demi kesejahteraan orang lain dan mengabdi sesama adalah sesuatu yang mulia? Tentunya tidak akan ada orang yang menganggap bahwa hal tersebut bukan tindakan mulia. Apakah yang lebih mulia dibandingkan berkarya demi orang lain?

Kini pandangan kita layangkan pada seorang pejabat  di negeri antah berantah yang sebelumnya terkenal jujur dan tulus. Banyak orang mengelu-elukan Beliau sebagai pejabat yang bekerja dengan sungguh-sungguh demi rakyat. Bahkan Beliau pernah digadang-gadang hendak diangkat sebagai raja baru di negeri antah berantah. Tetapi tiba-tiba rakyat negeri antah-berantah dikejutkan bahwa pejabat tersebut dinyatakan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Berita itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong nan cerah. Tentu sang pejabat belum tentu bersalah. Kelak pengadilan yang akan membuktikan apakah Beliau bersalah atau tidak. Apakah ada konspirasi? Entahlah. Pun bukan tujuan artikel ini memperlihatkan bahwa ia bersalah atau tidak. Tujuan artikel ini adalah membangkitkan renungan kita.

Jikalau kira renungkan lebih jauh, meski menjadi pejabat itu sangat mulia, tetapi kedua kaki mereka masing-masing menginjak pintu gerbang surga dan satu lagi pintu gerbang neraka. Bagaimana bisa? Seorang pejabat akan menghadapi ribuan godaan, yang tak lain dan tak bukan adalah harta, kekuasaan, dan wanita. Seorang mungkin mengawali dengan setumpuk idealisme dan cita-cita mulia, namun siapakah yang tahan menyaksikan segepok uang? Sanggupkah seseorang menahan godaan dan tidak menggadaikan idealisme dan cita-cita mulianya tersebut. Mungkin hanya sedikit saja yang bertahan sampai akhir dan sanggup melangkah memasuki gerbang surga. Tetapi berapa banyak yang kehilangan cita-cita mulianya dan terjerumus ke dalam gerbang neraka? Marilah kita renungkan.

Seorang pejabat ibaratnya adalah sebatang pohon yang berada di puncak gunung. Terpaan angin godaan sungguh dashyat. Dapatkah pohon itu tetap bertahan kokoh dengan akar-akarnya. 

Kita tidak perlu menghujat, menghina, atau memaki orang lain. Jikalau berada di kedudukan atau keadaan yang sama, belum tentu juga kita dapat bertahan. Kita hendaknya justru merasa kasihan. Mereka ibaratnya adalah orang yang tersandung dan jatuh. Orang yang tersandung dan jatuh apakah harus kita hina dan maki-maki? 

Jangan sampai cita-cita mulia itu justru menyeret seseorang ke dalam neraka. Apabila kita ingin mengabdi pada sesama, maka tidak harus sebagai pejabat. Masih banyak lahan pengabdian lain, termasuk menulis dan berbagi pengalaman serta pengetahuan kita pada sesama. 

Setelah membaca artikel renungan ini, masihkah Anda ingin menjadi pejabat? 

Rabu, 18 Februari 2015

FILSAFAT MAKANAN: PARE REBUS

FILSAFAT MAKANAN: PARE REBUS

Ivan Taniputera
18 Februari 2015
.


Pada kesempatan kali ini marilah kita merenungkan mengenai pare. Tentu banyak orang yang tidak asing lagi dengan pare (momordica charantina) yang rasanya pahit ini. Meski banyak orang mengenalnya, mungkin yang menyukainya tidak banyak. Kendati demikian, pare konon memiliki beberapa khasiat, antara lain adalah:

1) Dapat mengendalikan gula darah, sehingga mengurangi risiko terkena diabetes.
2) Membantu meningkatkan kekebalan tubuh.
3) Baik bagi ginjal. 
4) Bersifat antioksidan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan sel kanker di dalam tubuh.

Lalu apakah makna filosofis pare? Dalam hidup ini kita tidak hanya memerlukan yang manis-manis saja. Kita tidak hanya memerlukan pujian-pujian indah yang enak didengar, melainkan juga saran-saran atau kritikan membangun yang pahit rasanya. Semua itu, perlu dalam keseimbangan. Seorang pemimpin tentu saja sangat memerlukan kritikan-kritikan yang pahit namun membangun. Banyak orang hanya sanggup mengkritik, tetapi tidak bisa memberikan saran yang baik. Tentu saja kritikan semacam itu bukan kritikan yang sehat atau membangun. Orang-orang yang melontarkannya dapat dikatakan sebagai "asbun" atau "asal bunyi." Pare menyehatkan bukan karena rasanya yang pahit, namun memang dalam dirinya sudah terkandung zat-zat yang menyehatkan tubuh. Pare rasanya pahit tapi sehat, bukan pahit tapi beracun. Kita perlu yang pahit tetapi sehat. 

Kalau terlalu banyak makan yang manis-manis, maka kita justru berisiko terserang penyakit. Namun bukan berarti makanan manis tidak diperlukan. Kita membutuhkan kalori dan energi darinya. Jadi kembali lagi, semua itu harus seimbang. Kita juga memerlukan pujian atau kata-kata indah agar hidup kita juga menjadi indah dan tetap bersemangat. Orang yang hanya mengonsumsi makanan pahit juga tidaklah sehat.

Dalam mengkritik seseorang juga harus tulus dan jangan dilandasi rasa benci. Banyak orang bersifat munafik, di mulut mengatakan tulus, namun hatinya mengumbar kebencian. Tentu saja ini juga merupakan kritikan beracun. Pare melimpahkan zat-zat yang menyehatkan pada kita dengan tulus. Pare tidak membenci kita. Bahkan mungkin kitalah yang justru membenci pare karena rasanya. Padahal ia bermanfaat bagi kita.

Hidup terkadang ada manis dan juga ada pahitnya. Barulah dengan demikian menjadi indah.

Semoga bermanfaat.

Artikel-artikel menarik lainnya mengenai ramalan, astrologi, Fengshui, Bazi, Ziweidoushu, metafisika, dan motivasi hidup, silakan kunjungi: