Berikut ini adalah diagram Bazi dan Ziweidoushu seseorang. Adakah yang dapat menebak karakter dan profil tokoh ini?
Tempatnya penggemar Sejarah, Sains, Astrologi, Teknologi, dan Metafisika
Minggu, 25 September 2011
Sabtu, 24 September 2011
Konversi Energi dan Teori Lima Elemen (Wuxing) Dalam Metafisika Tiongkok
Konversi Energi dan Teori Lima Elemen (Wuxing) dalam Metafisika Tiongkok
Ivan Taniputera
20 September 2011
Saya mendapatkan gagasan ini waktu mengulas mengenai energi di alam semesta. Secara umum terdapat lima energi dasar di alam semesta, yakni energi mekanik, listrik, kimia, cahaya, dan kalor. Kelima energi ini dapat saling berubah satu sama lain. Inilah yang disebut konversi energi. Sebagai contoh, seorang anak yang sedang berlari. Mengapa ia dapat berlari? Hal itu dikarenakan makanan yang dimakannya (energi kimia) dikonversi menjadi gerak (energi mekanik). Di sini kita mengatakan telah terjadi konversi energi dari energi kimia menjadi mekanik. Apabila kita memanaskan suatu zat, maka gerakan antar partikelnya menjadi semakin cepat, sehingga reaksi kimia lebih mudah terjadi saat panas. Di sini kita boleh mengatakan telah terjadi konversi energi kalor menjadi energi mekanik. Sebaliknya, saat menggosok-gosokkan kedua belah tangan kita, lama kelamaan akan terasa panas. Ini berarti bahwa energi mekanik dalam bentuk gerakan kedua belah tangan kita telah dikonversi menjadi energi kalor (panas). Konsep di atas ternyata memiliki kemiripan dengan lima unsur dalam metafisika Tiongkok.
Ivan Taniputera
20 September 2011
Saya mendapatkan gagasan ini waktu mengulas mengenai energi di alam semesta. Secara umum terdapat lima energi dasar di alam semesta, yakni energi mekanik, listrik, kimia, cahaya, dan kalor. Kelima energi ini dapat saling berubah satu sama lain. Inilah yang disebut konversi energi. Sebagai contoh, seorang anak yang sedang berlari. Mengapa ia dapat berlari? Hal itu dikarenakan makanan yang dimakannya (energi kimia) dikonversi menjadi gerak (energi mekanik). Di sini kita mengatakan telah terjadi konversi energi dari energi kimia menjadi mekanik. Apabila kita memanaskan suatu zat, maka gerakan antar partikelnya menjadi semakin cepat, sehingga reaksi kimia lebih mudah terjadi saat panas. Di sini kita boleh mengatakan telah terjadi konversi energi kalor menjadi energi mekanik. Sebaliknya, saat menggosok-gosokkan kedua belah tangan kita, lama kelamaan akan terasa panas. Ini berarti bahwa energi mekanik dalam bentuk gerakan kedua belah tangan kita telah dikonversi menjadi energi kalor (panas). Konsep di atas ternyata memiliki kemiripan dengan lima unsur dalam metafisika Tiongkok.
Minggu, 18 September 2011
Riwayat Kehidupan Tionghua Perantauan di Kawasan Selat Malaka
Riwayat Kehidupan Tionghua Perantauan di Kawasan Selat Malaka
Ivan Taniputera
16 September 2011
Judul buku : The Manners and Customs of the Chinese of the Straits Settlements: With and Introduction by Wilfred Bythe
Penulis : J. D. Vaughan
Jumlah halaman : 126
Penerbit : Oxford University Press, 1971.
Buku ini meriwayatkan mengenai kehidupan keturunan Tionghua di Singapura pada sekitar abad ke-19. Sebenarnya, buku ini sudah pernah diterbitkan pada tahun 1879, namun diterbitkan ulang oleh Oxford University Press. Sebagai pembukaan diriwayatkan kebiasaan dan tradisi keturunan Tionghua di zaman itu. Sebelumnya, dipaparkan komposisi penduduk Singapura pada kurang lebih akhir abad ke-19; yakni: 200.000 Melayu, 20.000 Keling, dan 150.000 Tionghua (halaman 1). Nampaknya ketiganya masih merupakan kelompok-kelompok etnis terpenting di Singapura pada zaman modern. Vaughan lebih jauh lagi menyebutkan bahwa kaum keturunan Tionghua di Singapura:
They are most active, industrious, and persevering of all. They equal or surpass the Europeans in developing the resources of the Colony in particular and the Indian Archipelago in general. Many have amassed large fortunes, and raised themselves high in the estimation of their fellow citizens... (halaman 2).
Vaughan menyebutkan bahwa orang Tionghua yang lahir di Straits (Singapura) disebut Baba guna membedakan mereka dengan orang Tionghua yang lahir di daratan Tiongkok. Hal unik yang patut disebutkan di sini, Vaughan menyitir mengenai hukum di Tiongkok yang kala itu dikuasai dinasti Qing, yakni bahwa rakyat Tiongkok harus menguncir rambut mereka. Meskipun demikian, anehnya orang Tionghua peranakan Singapura yang seharusnya bebas dari hukum Qing tetap mati-matian mempertahankan kuncirnya:
One would imagine that Babas that the Babas, and the natives of China themselves, when they got away from thraldom of their Tartar rulers, would glady avail themselves of their liberty and discard their queues, but such IS NOT THE CASE (huruf besar oleh peresensi); you can offer no greater insult to a Baba that to cut his tail off, or even to threaten to do so (halaman 3).
Kaum peranakan yang telah lahir di Singapura, tidak punya keinginan lagi mengunjungi negeri leluhurnya, dan tak menganggapnya sebagai kampung halaman mereka (halaman 3). Dalam buku ini diungkapkan pula mengenai tata cara berpakaian kaum keturunan Tionghua Singapura:
The clothing of a Chinaman whatever his rank in life may be, differs little from the description above given of the dress of a Sinkeh. Add to the trowsers along jacket of coat called a Baju, and a pair of thick soled shoes, and you have the toilet of a gentleman. The swell Baba rejoices sometimes in patient leather shoes and a felt or straw hat; but as a rule the dress of a Chinaman is exceedingly simple and economical and well adapted to the exigencies of the climate.... (halaman 11).
Pekerjaan keturunan Tionghua Singapura sangatlah beraneka ragam:
The Chinese are everything; they are actors, acrobats, artists, musicians, chemists, and druggist, clerks, cashiers, engineers, architects, surveyors, missionaries, priests, doctors, schoolmasters, lodging house keepers, butchers, porksellers, cultivators of pepper and gambier...... (halaman 15)
Selanjutnya disebutkan daftar pekerjaan lainnya yang hampir menghabiskan satu halaman!
Buku ini memaparkan pula tradisi yang dilakukan dalam berbagai peristiwa kehidupan, seperti kelahiran bayi (halaman 29-30):
On the birth of a child the date of birth is written on a slip of red paper which is carefully preserved. At the birth of the first male child the two candles first sent by the husband are lighted....
Lalu dibahas mengenai tradisi pemakaman (30-34), penghormatan bagi orang yang telah meninggal (35-36), kebiasaan di rumah tangga (36-43), dan lain sebagainya. Dipaparkan pula perayaan-perayaan serta festival yang kerap dirayakan oleh kaum keturunan Tionghua Singapura. Tidak ketinggalan pula digambarkan mengenai kuil Tionghua di Singapura, seperti The Hokkien Temple at Singapore (halaman 53-59) dan The Chinese Temple at Penang (halaman 59-61).
Pada zaman itu, masih banyak keturunan Tionghua yang menghisap candu (halaman 61-63), berjudi (halaman 63-65). Halaman-halaman selanjutnya membahas mengenai permainan yang umum di kalangan Tionghua Singapura, seperti Poh dan Mat. Berikutnya masih ada lagi permainan kartu, yang di Indonesia dikenal sebagai kartu ceki, serta satu permainan lagi yang membutuhkan 116 kartu. Sayangnya tidak dijelaskan bagaimana cara bermain kartu tersebut. Masih banyak hal yang diulas buku ini, seperti masalah pendidikan kaum Tionghua Singapura. Buku ini patut dibaca oleh mereka yang tertarik dengan sejarah kaum Tionghua perantauan (overseas Chinese).
CATATAN: Straits di sini berarti “Selat” dan sebenarnya tidak hanya mengacu pada Singapura saja, melainkan juga kawasan di Selat Malaka.
Ivan Taniputera
16 September 2011
Judul buku : The Manners and Customs of the Chinese of the Straits Settlements: With and Introduction by Wilfred Bythe
Penulis : J. D. Vaughan
Jumlah halaman : 126
Penerbit : Oxford University Press, 1971.
Buku ini meriwayatkan mengenai kehidupan keturunan Tionghua di Singapura pada sekitar abad ke-19. Sebenarnya, buku ini sudah pernah diterbitkan pada tahun 1879, namun diterbitkan ulang oleh Oxford University Press. Sebagai pembukaan diriwayatkan kebiasaan dan tradisi keturunan Tionghua di zaman itu. Sebelumnya, dipaparkan komposisi penduduk Singapura pada kurang lebih akhir abad ke-19; yakni: 200.000 Melayu, 20.000 Keling, dan 150.000 Tionghua (halaman 1). Nampaknya ketiganya masih merupakan kelompok-kelompok etnis terpenting di Singapura pada zaman modern. Vaughan lebih jauh lagi menyebutkan bahwa kaum keturunan Tionghua di Singapura:
They are most active, industrious, and persevering of all. They equal or surpass the Europeans in developing the resources of the Colony in particular and the Indian Archipelago in general. Many have amassed large fortunes, and raised themselves high in the estimation of their fellow citizens... (halaman 2).
Vaughan menyebutkan bahwa orang Tionghua yang lahir di Straits (Singapura) disebut Baba guna membedakan mereka dengan orang Tionghua yang lahir di daratan Tiongkok. Hal unik yang patut disebutkan di sini, Vaughan menyitir mengenai hukum di Tiongkok yang kala itu dikuasai dinasti Qing, yakni bahwa rakyat Tiongkok harus menguncir rambut mereka. Meskipun demikian, anehnya orang Tionghua peranakan Singapura yang seharusnya bebas dari hukum Qing tetap mati-matian mempertahankan kuncirnya:
One would imagine that Babas that the Babas, and the natives of China themselves, when they got away from thraldom of their Tartar rulers, would glady avail themselves of their liberty and discard their queues, but such IS NOT THE CASE (huruf besar oleh peresensi); you can offer no greater insult to a Baba that to cut his tail off, or even to threaten to do so (halaman 3).
Kaum peranakan yang telah lahir di Singapura, tidak punya keinginan lagi mengunjungi negeri leluhurnya, dan tak menganggapnya sebagai kampung halaman mereka (halaman 3). Dalam buku ini diungkapkan pula mengenai tata cara berpakaian kaum keturunan Tionghua Singapura:
The clothing of a Chinaman whatever his rank in life may be, differs little from the description above given of the dress of a Sinkeh. Add to the trowsers along jacket of coat called a Baju, and a pair of thick soled shoes, and you have the toilet of a gentleman. The swell Baba rejoices sometimes in patient leather shoes and a felt or straw hat; but as a rule the dress of a Chinaman is exceedingly simple and economical and well adapted to the exigencies of the climate.... (halaman 11).
Pekerjaan keturunan Tionghua Singapura sangatlah beraneka ragam:
The Chinese are everything; they are actors, acrobats, artists, musicians, chemists, and druggist, clerks, cashiers, engineers, architects, surveyors, missionaries, priests, doctors, schoolmasters, lodging house keepers, butchers, porksellers, cultivators of pepper and gambier...... (halaman 15)
Selanjutnya disebutkan daftar pekerjaan lainnya yang hampir menghabiskan satu halaman!
Buku ini memaparkan pula tradisi yang dilakukan dalam berbagai peristiwa kehidupan, seperti kelahiran bayi (halaman 29-30):
On the birth of a child the date of birth is written on a slip of red paper which is carefully preserved. At the birth of the first male child the two candles first sent by the husband are lighted....
Lalu dibahas mengenai tradisi pemakaman (30-34), penghormatan bagi orang yang telah meninggal (35-36), kebiasaan di rumah tangga (36-43), dan lain sebagainya. Dipaparkan pula perayaan-perayaan serta festival yang kerap dirayakan oleh kaum keturunan Tionghua Singapura. Tidak ketinggalan pula digambarkan mengenai kuil Tionghua di Singapura, seperti The Hokkien Temple at Singapore (halaman 53-59) dan The Chinese Temple at Penang (halaman 59-61).
Pada zaman itu, masih banyak keturunan Tionghua yang menghisap candu (halaman 61-63), berjudi (halaman 63-65). Halaman-halaman selanjutnya membahas mengenai permainan yang umum di kalangan Tionghua Singapura, seperti Poh dan Mat. Berikutnya masih ada lagi permainan kartu, yang di Indonesia dikenal sebagai kartu ceki, serta satu permainan lagi yang membutuhkan 116 kartu. Sayangnya tidak dijelaskan bagaimana cara bermain kartu tersebut. Masih banyak hal yang diulas buku ini, seperti masalah pendidikan kaum Tionghua Singapura. Buku ini patut dibaca oleh mereka yang tertarik dengan sejarah kaum Tionghua perantauan (overseas Chinese).
CATATAN: Straits di sini berarti “Selat” dan sebenarnya tidak hanya mengacu pada Singapura saja, melainkan juga kawasan di Selat Malaka.
Minggu, 11 September 2011
Taishangganyingpian
Taishangganyingpian (太 上 感 應 篇 ) - Suatu Panduan Moralitas Daois
(Ivan Taniputera, 29 Januari 2008)
Taishangganyinpian adalah kitab yang menjadi pedoman mengenai moralitas dalam Daoisme. Secara harafiah arti judul kitab itu adalah "Ajaran Mengenai Hukum Sebab Akibat yang Berasal dari Laozi" (secara etimologis: 太 上 = gelar Laozi; 感 應 = pembalasan, sebab akitab; 篇 = sepotong tulisan atau artikel). Kitab yang terdiri dari sepuluh bab ini dibuka dengan ajaran yang berbunyi sebagai berikut:
Taishang (Laozi) berkata: "Malapetaka dan keberuntungan tiada memiliki pintu. Hanya manusialah yang mencarinya sendiri. Pembalasan baik ataupun buruk adalah laksana bayangan yang mengikuti tubuh."
Dengan demikian, menurut Daoisme keberuntungan atau kemalangan yang dialami umat manusia sesungguhnya berasal dari umat manusia itu sendiri. Bila umat manusia berbuat jahat, maka kemalangan akan menimpanya; sebaliknya bila melakukan kebajikan, maka ia juga akan menuai keberuntungan. Selanjutnya disebutkan:
Karenanya, Langit dan Bumi menetapkan para dewa (神 Shen = dewa) untuk menangani kesalahan-kesalahan yang dilakukan umat manusia. Berdasarkan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan, barulah ditetapkan perhitungannya. Jika timbangan [kebajikannya] dikurangi, maka ia akan menjadi miskin, pemboros, banyak diliputi kesedihan, dibenci banyak orang, malapetaka akan mengikuti di belakangannya, dan keberuntungan menjauhinya. Bintang-bintang kemalangan (惡星 exing; secara harafiah berarti "bintang jahat") hingga habis takaran [usianya] dan orang itu menjumpai ajalnya.
Selanjutnya disebutkan apa saja yang seharusnya dan tidak seharusnya oleh umat manusia. Makna Shen di atas, menurut hemat saya hendaknya tidak ditafsirkan sebagai dewa dalam artian suatu sosok makhluk adikodrati, melainkan sebagai simbol kekuatan atau hukum alam. Jika umat manusia melakukan kejahatan, maka seolah-olah alam yang akan menjatuhkan "ganjarannya." Sebagai contoh adalah penebangan hutan yang berlebihan dan dilandasi keserakahan. Konsekuensinya adalah bencana banjir dan tanah longsor yang marak melanda tanah air kita belakangan ini. Pada bab IV diajarkan bahwa umat manusia hendaknya menjalani kebenaran dan menghindarkan diri dari kejahatan:
Jangan sekali-sekali menapaki jalan yang menyimpang
.....
Kasihanilah mereka yang dilanda kesusahan
Ikut bergembiralah bila orang lain berada dalam keadaan baik
Ulurkan bantuan pada mereka yang memerlukannya
....
Jangan menyiarkan keburukan orang lain
Jangan mengagungkan kebaikan yang telah dilakukan diri sendiri
....
Dalam memperoleh hinaan hendaknya tidak mengeluh
Dengan demikian, intisari bagian ini mengajarkan umat manusia untuk senantiasa mengembangkan cinta kasih pada semua makhluk, memiliki empati terhadap sesama, dan mengembangkan kesabaran. Selain itu diajarkan pula untuk menjaga hubungan yang baik dalam keluarga.
Bab V mengajarkan bahwa agar dapat menjadi dewa yang bertingkat tinggi, seseorang hendaknya melakukan 1.300 jenis pahala. Sedangkan bila ingin menjadi dewa tingkat rendah, maka cukup baginya untuk melakukan 300 jenis pahala.
Bab VI mengajarkan mengenai berbagai jenis kejahatan yang hendaknya tidak dilakukan umat manusia:
Tidak segan melakukan segala kekejaman
Dengan cara licik menyusahkan orang baik
....
Berkeras kepala dan dengan sewenang-wenang melakukan tindakan yang bertentangan dengan peri kemanusiaan
....
Memanahi burung-burung yang sedang berterbangan serta menghalau binatang yang sedang berlari.
....
Menyumbat lubang jalannya binatang-binatang dan meruntuhkan sarang mereka.
....
Membahayakan orang lain demi kepentingan sendiri.
Menukar yang buruk dengan yang baik.
.....
Menyebarkan rahasia orang lain.
....
Dengan sesuka hati membuang-buang hasil palawija
....
Demikianlah beberapa contoh kejahatan yang hendaknya tidak dilakukan umat manusia. Intisarinya adalah kejujuran dan perikemanusiaan. Bahkan cinta kasih itu tidak hanya berlaku bagi umat manusia saja melainkan semua makhluk. Oleh karena itu, Daoisme telah mengajarkan pelestarian lingkungan hidup, karena punahnya suatu spesies makhluk hidup akan mengganggu keseimbangan ekosistem secara makro. Mengingat pentingnya kitab ini, umat Daois hendaknya senantiasa membaca dan merenungkannya. Bahkan ajarannya yang universal tidak hanya bermanfaat bagi umat Daois saja, melainkan seluruh umat manusia.
(Ivan Taniputera, 29 Januari 2008)
Taishangganyinpian adalah kitab yang menjadi pedoman mengenai moralitas dalam Daoisme. Secara harafiah arti judul kitab itu adalah "Ajaran Mengenai Hukum Sebab Akibat yang Berasal dari Laozi" (secara etimologis: 太 上 = gelar Laozi; 感 應 = pembalasan, sebab akitab; 篇 = sepotong tulisan atau artikel). Kitab yang terdiri dari sepuluh bab ini dibuka dengan ajaran yang berbunyi sebagai berikut:
Taishang (Laozi) berkata: "Malapetaka dan keberuntungan tiada memiliki pintu. Hanya manusialah yang mencarinya sendiri. Pembalasan baik ataupun buruk adalah laksana bayangan yang mengikuti tubuh."
Dengan demikian, menurut Daoisme keberuntungan atau kemalangan yang dialami umat manusia sesungguhnya berasal dari umat manusia itu sendiri. Bila umat manusia berbuat jahat, maka kemalangan akan menimpanya; sebaliknya bila melakukan kebajikan, maka ia juga akan menuai keberuntungan. Selanjutnya disebutkan:
Karenanya, Langit dan Bumi menetapkan para dewa (神 Shen = dewa) untuk menangani kesalahan-kesalahan yang dilakukan umat manusia. Berdasarkan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan, barulah ditetapkan perhitungannya. Jika timbangan [kebajikannya] dikurangi, maka ia akan menjadi miskin, pemboros, banyak diliputi kesedihan, dibenci banyak orang, malapetaka akan mengikuti di belakangannya, dan keberuntungan menjauhinya. Bintang-bintang kemalangan (惡星 exing; secara harafiah berarti "bintang jahat") hingga habis takaran [usianya] dan orang itu menjumpai ajalnya.
Selanjutnya disebutkan apa saja yang seharusnya dan tidak seharusnya oleh umat manusia. Makna Shen di atas, menurut hemat saya hendaknya tidak ditafsirkan sebagai dewa dalam artian suatu sosok makhluk adikodrati, melainkan sebagai simbol kekuatan atau hukum alam. Jika umat manusia melakukan kejahatan, maka seolah-olah alam yang akan menjatuhkan "ganjarannya." Sebagai contoh adalah penebangan hutan yang berlebihan dan dilandasi keserakahan. Konsekuensinya adalah bencana banjir dan tanah longsor yang marak melanda tanah air kita belakangan ini. Pada bab IV diajarkan bahwa umat manusia hendaknya menjalani kebenaran dan menghindarkan diri dari kejahatan:
Jangan sekali-sekali menapaki jalan yang menyimpang
.....
Kasihanilah mereka yang dilanda kesusahan
Ikut bergembiralah bila orang lain berada dalam keadaan baik
Ulurkan bantuan pada mereka yang memerlukannya
....
Jangan menyiarkan keburukan orang lain
Jangan mengagungkan kebaikan yang telah dilakukan diri sendiri
....
Dalam memperoleh hinaan hendaknya tidak mengeluh
Dengan demikian, intisari bagian ini mengajarkan umat manusia untuk senantiasa mengembangkan cinta kasih pada semua makhluk, memiliki empati terhadap sesama, dan mengembangkan kesabaran. Selain itu diajarkan pula untuk menjaga hubungan yang baik dalam keluarga.
Bab V mengajarkan bahwa agar dapat menjadi dewa yang bertingkat tinggi, seseorang hendaknya melakukan 1.300 jenis pahala. Sedangkan bila ingin menjadi dewa tingkat rendah, maka cukup baginya untuk melakukan 300 jenis pahala.
Bab VI mengajarkan mengenai berbagai jenis kejahatan yang hendaknya tidak dilakukan umat manusia:
Tidak segan melakukan segala kekejaman
Dengan cara licik menyusahkan orang baik
....
Berkeras kepala dan dengan sewenang-wenang melakukan tindakan yang bertentangan dengan peri kemanusiaan
....
Memanahi burung-burung yang sedang berterbangan serta menghalau binatang yang sedang berlari.
....
Menyumbat lubang jalannya binatang-binatang dan meruntuhkan sarang mereka.
....
Membahayakan orang lain demi kepentingan sendiri.
Menukar yang buruk dengan yang baik.
.....
Menyebarkan rahasia orang lain.
....
Dengan sesuka hati membuang-buang hasil palawija
....
Demikianlah beberapa contoh kejahatan yang hendaknya tidak dilakukan umat manusia. Intisarinya adalah kejujuran dan perikemanusiaan. Bahkan cinta kasih itu tidak hanya berlaku bagi umat manusia saja melainkan semua makhluk. Oleh karena itu, Daoisme telah mengajarkan pelestarian lingkungan hidup, karena punahnya suatu spesies makhluk hidup akan mengganggu keseimbangan ekosistem secara makro. Mengingat pentingnya kitab ini, umat Daois hendaknya senantiasa membaca dan merenungkannya. Bahkan ajarannya yang universal tidak hanya bermanfaat bagi umat Daois saja, melainkan seluruh umat manusia.
Tokoh dari Surabaya: Wawancara Dengan Pak Oei Him Hwie, Pendiri Perpustakaan Medayu Agung
Tokoh dari Surabaya: Wawancara Dengan Pak Oei Him Hwie, Pendiri Perpustakaan Medayu Agung
Ivan Taniputera
10 September 2011
Jika ada yang bertanya siapakah salah seorang tokoh di Surabaya yang memiliki sumbangsih besar dalam dunia perpustakaan, maka jawabannya adalah Pak Oei Him Hwie. Penulis sudah lama mengenal Beliau, namun baru pada tanggal 10 September 2011 berkesempatan mewawancarai Beliau. Waktu itu penulis mengunjungi perpustakaan yang Beliau dirikan, namun Pak Oei sedang pulang ke rumahnya yang terletak tak jauh dari sana. Oleh karenanya, penulis menyusul Beliau ke tempat kediamannya dan setelah itu bersama-sama kembali ke perpustakaan.
Mungkin belum banyak yang mengenal Beliau. Pak Oei Him Hwie yang dilahirkan pada tahun 1935 merupakan pendiri Perpustakaan Medayu Agung, yakni perpustakaan yang mengkhususkan diri pada literatur-literatur sejarah. Sewaktu beberapa kali mengunjungi Perpustakaan Medayu Agung, penulis memang sempat menyaksikan beberapa mahasiswa sejarah sedang mencari data di sana. Dengan demikian, perpustakaan yang terletak di Jl. Medayu Selatan IV/ 42-44, Surabaya, ini sangat membantu pelestarian dan penyebaran sejarah beserta ilmu pengetahuan.
Wawancara dengan Pak Oei berlangsung santai dan sebelumnya penulis sempat diajak melihat-lihat koleksi-koleksi Beliau, yang antara lain terbagi menjadi koleksi langka dan khusus. Koleksi langka berisikan buku-buku kuno dan langka, seperti buku koleksi karya seni Ir. Soekarno yang hanya dicetak terbatas dan diperoleh dari Bung Karno sendiri. Buku kumpulan koleksi itu berisikan foto-foto karya seni yang asli dan bukannya cetakan. Semuanya ditampilkan berwarna. Tidak banyak yang berkesempatan memilikinya. Selanjutnya terdapat pula Ensiklopedia dari zaman kolonial. Bahkan Pak Oei juga mempunyai buku Mein Kampf berbahasa Jerman yang asli. Di ruangan koleksi khusus kita dapat menyaksikan buku-buku tentang Bung Karno, Pramoedya Ananta Toer (Pram), sejarah Tionghua di Indonesia, dan sejarah Indonesia. Masih ada lagi buku-buku mengenai Tiong Hoa Hwee Koan dan organisasi Tionghua Indonesia yang dipajang di etalase kaca khusus. Bahkan ada pula piringan hitam yang berisikan pidato Hitler. Karena kondisinya yang sudah tua, piringan hitam itu tidak dapat lagi diputar. Bila diputar timbul kekhawatiran piringan hitam tersebut akan mengalami kerusakan.
Kini kita akan sekilas menapak-tilasi kisah kehidupan Pak Oei. Beliau dilahirkan di Malang, Jawa Timur, dan menjalani profesi sebagai wartawan. Semasa mudanya, Beliau merupakan pecinta buku dan telah banyak mengumpulkan berbagai literatur berharga serta kliping-kliping koran khususnya terkait sejarah. Saat bertugas sebagai wartawan, Beliau sempat mewawancara Ir. Soekarno dan memperoleh berbagai barang kenang-kenangan, seperti jam dan album karya seni koleksi presiden pertama Republik Indonesia tersebut. Namun perjalanan hidup Beliau tidaklah selamanya mulus. Prahara melanda negeri kita dengan meletusnya pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Pak Oei ditahan oleh pemerintah Orde Baru dengan tuduhan sebagai anggota Baperki dan seorang Soekarnois. Tuduhan sebagai Soekarnois itu dikarenakan Beliau pernah meliput mengenai Bung Karno dan banyak memiliki foto-fotonya.
Berdasarkan informasi Pak Oei, Baperki yang merupakan singkatan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia waktu itu memperjuangkan persamaan hak dan tak menyetujui politik asimilasi. Organisasi itu memang memiliki kedekatan dengan Bung Karno, sehingga tokoh-tokohnya ditangkapi oleh pemerintah Orde Baru. Perjalanan nasib membawa Pak Oei ke Pulau Buru bersama para tahanan politik (tapol) lainnya. Selama 13 tahun Beliau menjalani penahanan di Pulau Buru. Namun penahanan tersebut membawa Beliau mengenal Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan Indonesia yang turut dibuang ke Buru. Menurut Pak Oei, Pram merupakan tahanan yang diisolasi sehingga tak boleh menerima tamu. Tetapi ladang Pak Oei ternyata terletak di belakang pondok Pram, sehingga bila tak ada penjaga Pak Oei secara diam-diam menyelinap ke sana.
Selama dalam tahanan itulah, Pram menulis tangan karangan-karangannya dan Pak Oei beserta kawan-kawan sesama tahanan membaca dan mengoreksinya. Hingga saat ini, Pak Oei masih memiliki naskah manuskrip tulisan tangan Pram yang merupakan salah satu koleksi Perpustakaan Medayu Agung. Belakangan, Pram dapat memperoleh mesin ketik yang sudah sudah rusak tetapi dapat diperbaikinya, sehingga selanjutnya karangan Pram dapat diketik. Demikianlah penuturan Pak Oei, yang melanjutkan dengan meriwayatkan mengenai permusuhan antara HAMKA dan Pram. Waktu itu, Pram menuduh HAMKA telah menulis karya jiplakan (plagiat) berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Meskipun demikian, penulis mengatakan bahwa HAMKA juga sastrawan besar dan karyanya berjudul Di Bawah Lindungan Kaabah telah dituangkan dalam bentuk film serta sedang diputar di berbagai gedung bioskop.
Yang menyedihkan selama dalam tahanan itulah banyak buku-buku koleksi Pak Oei yang dirampas oleh tentara dan dibakar. Untungnya sebagian di antaranya berhasil disembunyikan oleh saudara Pak Oei dan kini menjadi koleksi langka Perpustakaan Medayu Agung. Sayangnya beberapa di antaranya hancur karena terkena hujan dan ada pula yang dimakan ngengat. Semoga saja perusakan dan penghancuran buku seperti ini tidak terjadi lagi di masa mendatang, karena buku merupakan wahana berharga dalam melestarikan prestasi dan buah pemikiran umat manusia. Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali terjadi peristiwa pembakaran buku, sehingga tidak sedikit warisan buah pemikiran gemilang umat manusia yang hilang ditelan zaman.
Pak Oei baru dibebaskan pada tahun 1978. Waktu hendak meninggalkan Pulau Buru, Beliau dititipi manuskrip oleh Pram. Untungnya tidak digeledah, sehingga manuskrip itu terselamatkan. Sementara itu, Pram sendiri baru dibebaskan tahun 1979. Kendati telah dibebaskan, sulit bagi Pak Oei memperoleh pekerjaan karena KTP (Kartu Tanda Penduduk) Beliau dibubuhi tanda “ET” atau “Eks Tapol.” Untunglah Beliau dibantu oleh Haji Masagung (Tjio Wie Thay), salah seorang tokoh Tionghua Muslim dan sekaligus pendiri Toko Buku Gunung Agung. Pak Oei kemudian diangkat sebagai sekretaris pribadi Haji Masagung dan kerap diajak keliling berdakwah. Sebagai seorang Muslim yang taat, Haji Masagung merupakan sosok berjiwa toleran dan tidak pernah memaksakan agamanya. Pak Oei sendiri tetap beragama Buddha hingga saat ini.
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari Pak Oei, baik ilmu sejarah maupun pandangan hidup Beliau. Saat wawancara, Beliau sempat menunjukkan pada penulis buku berjudul “Kamus Himpunan Politik” terbitan tahun 1950-an, yang menyebutkan bahwa Bung Karno dilahirkan di Surabaya. Ketika itu, memang ada rekayasa yang menyebarkan informasi keliru bahwa Bung Karno dilahirkan di Blitar. Sewaktu mengetahui bahwa Pak Oei dilahirkan tahun 1935, yakni semasa berkuasanya pemerintah kolonial, penulis menanyakan mengapa Beliau tidak meminta kewarganegaraan Belanda saja-mengingat bahwa setiap orang yang lahir sebelum tahun 1942 boleh mendapatkan kewarganegaraan Belanda. Tetapi Beliau menjawab bahwa karena dilahirkan di Indonesia, kita harus menjadi warga negara Indonesia yang baik. Dengan demikian, hal ini mencerminkan jiwa nasionalisme Beliau. Selain itu, kecintaan Beliau terhadap buku selaku jendela ilmu pengetahuan patutlah kita teladani.
Dewasa ini Perpustakaan Medayu Agung dibuka setiap jam kerja dari hari Senin hingga Sabtu. Khusus hari Sabtu hanya buka setengah hari. Pak Oei sendiri sedang menulis memoir berisikan pengalaman hidup Beliau sebagai warisan bagi generasi selanjutnya. Beliau menerima berbagai penghargaan antara lain dari kedutaan Cekoslovakia, Jawa Pos, Unair, dan lain sebagainya. Bagi para penggemar sejarah Perpustakaan Medayu Agung merupakan tempat rujukan berharga yang sayang sekali dilewatkan. Karena hari telah menunjukkan pukul lima sore, penulis mohon diri pada Pak Oei. Semoga Pak Oei senantiasa dikaruniai kesehatan dan Perpustakaan Medayu Agung tetap berkibar.
Foto penulis bersama Pak Oei (kanan)
Pak Oei sedang memegang buku karya penulis
Pak Oei sedang berada di ruang koleksi khusus
Koleksi-koleksi yang dipajang di etalase
Langganan:
Postingan (Atom)