RENUNGAN TUJUH BELAS TAHUN REFORMASI
.
Ivan Taniputera.
11 Juni 2016
.
Seharusnya artikel ini saya tulis sebulan yang lalu, yakni bertepatan dengan peringatan diawalinya reformasi di negara kita. Tetapi karena ada banyak keperluan lain, maka artikel ini baru dapat saya tulis sekarang. Pada kesempatan kali ini saya ingin melakukan kilas balik mengenai apa yang telah terjadi selama 17 tahun reformasi ini. Tentu saja sudah banyak peristiwa terjadi selama kurun waktu tersebut.
.
Tahun 1997 krisis moneter melanda negara kita. Pada tahun 1997 saya baru saja menyelesaikan studi saya di Jerman dan bekerja di salah satu perusahaan manufaktur mesin di Tangerang. Baru beberapa bulan pulang ke tanah air, atau tepatnya sekitar bulan Agustus 1997, nilai tukar Rupiah mulai jatuh terhadap Dollar. Dari kurang lebih Rp. 2.000 per USD merosot menjadi sekitar Rp 15.000. per USD. Krisis ini berlangsung semakin parah dan menimbulkan kepanikan dalam masyarakat. Harga-harga melambung tinggi. Saya teringat waktu itu saya hendak membeli tahu goreng di penjual langganan saya dan telah menyiapkan uang dengan jumlah tertentu, namun ternyata uangnya kurang karena harga tahu telah naik beberapa kali lipat.
.
Saat itu mudah terjadi suasana kepanikan di tengah masyarakat. Saya ingat suatu ketika sepulang kerja saya harus membayar uang perbaikan mobil di sebuah bengkel, namun saya mendapati bahwa terjadi antrian sangat panjang di ATM. Ternyata tersebar isu bahwa pemilik bank tersebut meninggal dunia padahal sebenarnya tidak. Nasabah menjadi panik dan khawatir bank itu tumbang. Mereka lalu berbondong-bondong berupaya menarik dananya. Selanjutnya, terjadi pula kepanikan saat beberapa bank terpaksa dilikuidasi.
.
Di tengah-tengah krisis moneter ini, Presiden Soeharto menaikkan harga BBM pada tanggal 5 Mei 1998 dari Rp. 700,- per liter menjadi Rp. 1.200,-. Ini menimbulkan pula kepanikan di tengah masyarakat. Pada hari sebelum harga resmi naik, terjadi antrian panjang masyarakat membeli BBM di seluruh SPBU yang tersebar di berbagai kawasan Jakarta. Antrian ini menimbulkan kemacetan yang demikian parah. Saya berusaha menghindari kemacetan ini dengan melalui berbagai jalan alternatif (disebut jalan tikus) di pinggiran kota Jakarta. Hasilnya saat melalui salah satu jalan tersebut mobil saya terjebak lumpur dan tidak dapat maju atau mundur. Untunglah ada penduduk setempat yang membantu mendorong mobil saya sehingga dapat terbebas dari lumpur. Saya kembali ke jalan besar dan tetap terjebak kemacetan parah. Kendaran yang ada hampir tidak bergerak sama sekali. Akhirnya setelah menemukan jalan tikus lain, saya dapat kembali ke tempat kos saya di kawasan perumahan Citra Garden I, Jakarta Barat. Kenaikan harga BBM ini makin memicu ketidak-puasan di kalangan masyarakat.
.
Di tengah-tengah krisis moneter ini, Presiden Soeharto menaikkan harga BBM pada tanggal 5 Mei 1998 dari Rp. 700,- per liter menjadi Rp. 1.200,-. Ini menimbulkan pula kepanikan di tengah masyarakat. Pada hari sebelum harga resmi naik, terjadi antrian panjang masyarakat membeli BBM di seluruh SPBU yang tersebar di berbagai kawasan Jakarta. Antrian ini menimbulkan kemacetan yang demikian parah. Saya berusaha menghindari kemacetan ini dengan melalui berbagai jalan alternatif (disebut jalan tikus) di pinggiran kota Jakarta. Hasilnya saat melalui salah satu jalan tersebut mobil saya terjebak lumpur dan tidak dapat maju atau mundur. Untunglah ada penduduk setempat yang membantu mendorong mobil saya sehingga dapat terbebas dari lumpur. Saya kembali ke jalan besar dan tetap terjebak kemacetan parah. Kendaran yang ada hampir tidak bergerak sama sekali. Akhirnya setelah menemukan jalan tikus lain, saya dapat kembali ke tempat kos saya di kawasan perumahan Citra Garden I, Jakarta Barat. Kenaikan harga BBM ini makin memicu ketidak-puasan di kalangan masyarakat.
.
Memasuki tahun 1998 marak terjadi unjuk rasa oleh mahasiswa yang menuntut perbaikan ekonomi. Saya masih bekerja di Tangerang. Ketika itu, saya hanya dapat mengikuti perkembangan berita dari radio saja. Secara umum, suasana saat itu memang sudah diwarnai ketegangan. Terdengar berita bahwa ada mahasiswa tertembak, yang kemudian memicu kerusuhan di ibu kota Jakarta. Inilah yang kita kenal dengan Kerusuhan Mei 1998. Jakarta membara dan terjadi pembakaran rumah dan toko milik etnis tertentu. Begitu kerusuhan mereda, saya mendapat kesempatan pulang ke Semarang. Waktu itu, Semarang dalam kondisi tenang, tetapi suasana tegang tetap terasa karena berbagai isu terdengar santer di mana-mana. Terbetik isu bahwa di luar kota telah siap menanti serombongan orang yang hendak memicu kerusuhan di Semarang.
.
Serombongan besar mahasiswa berdemonstrasi di kawasan Simpang Lima, Semarang, menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Banyak orang menanti dengan harap-harap cemas, apakah presiden bersedia mengundurkan diri dari jabatannya. Akhirnya pertanyaan itu terjawab pada tanggal 21 Mei 1998, sekitar pukul 10.00 pagi, saya menyaksikan melalui layar terlevisi di Bandara A. Yani, Semarang, Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya. Wakil Presiden, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie tampil menggantikan Beliau. Rasanya masih tidak percaya bahwa kita akhirnya mempunyai presiden baru. Bertahun-tahun sebelumnya, terbentuk kesan bahwa Pak Harto adalah sosok kuat yang tidak akan jatuh. Dengan mundurnya Pak Harto, ketegangan berangsur mereda dan saya bisa kembali ke Jakarta untuk bekerja kembali.
.
Sewaktu kembali ke Jakarta saya masih menyaksikan sisa-sisa kerusuhan yang ketika itu belum dibereskan. Kaca-kaca pecah masih bertebaran di mana-mana. Bangunan dan mobil hangus tampak di mana-mana.
.
Setelah Pak Harto lengser berbagai isu yang dahulu dianggap tabu kini muncul ke permukaan. Sebagai contoh adalah hasil otopsi para pahlawan revolusi yang dahulu tidak pernah muncul ke publik kini dimuat di sebuah majalah. Partai-partai politik baru mulai bermunculan. Pada pemilihan umum (pemilu) sebelumnya, kontestan yang turut serta hanya tiga, yakni PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Golkar (Golongan Karya), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Kini muncul partai-partai baru yang namanya tidak dapat saya ingat semuanya.
.
Selanjutnya, muncul tiga orang tokoh utama pada gerakan reformasi masa itu, yakni KH. Abdurachman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Amien Rais. Keadaan ketika itu berbalik, jika pada kampanye sebelumnya PDI, yang kemudian diubah namanya oleh Ibu Megawati menjadi PDIP, dimana tambahan huruf P merupakan singkatan “Perjuangan,” benderanya jarang tampak di mana-mana karena sedang mengalami permasalahan; namun kini bendera dan posko PDIP bertebaran di mana-mana. Ketika itu, PDIP nampak sedang naik daun. Bendera merah dengan lambang partai PDIP (banteng dalam lingkaran putih) berkibar di sepanjang jalan yang saya lalui sehari-hari.
.
Kebebasan mendirikan partai politik ini memang merupakan suatu kemajuan dalam demokrasi. Kebebasan berserikat dan berkumpul yang sebelumnya dikekang kini nampak terbuka lebar. Namun menurut pendapat saya, apakah banyaknya partai politik ini akan berdampak baik bagi kemajuan masyarakat secara keseluruhan, maka jawabnya adalah “belum tentu.” Jika kita amati dewasa ini, partai politik justru sarat oleh berbagai kepentingan yang justru sama sekali tidak bermanfaat bagi rakyat. Para elit partai banyak yang terlibat kasus korupsi, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun. Berbagai skandal di masa reformasi juga masih marak, dimana banyak di antaranya melibatkan jajaran partai politik yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
.
Jadi, jika direnungkan dengan seksama, maka salah satu kemajuan dalam reformasi adalah kebebassan dalam mengeluarkan pendapat. Sebelumnya, kebebasan berpendapat ini dikekang. Namun, apakah kebebasan berpendapat ini sepenuhnya mendatangkan dampak menguntungkan bagi masyarakat? Akan kita bahas nanti.
.
Pada tahun 1999, peristiwa lain yang saya ingat adalah lepasnya Timor Timur (Timtim) yang kemudian berdiri menjadi negara Timor Leste. Ketika itu, Presiden Habibie memutuskan menyelenggarakn jajak pendapat di sana, guna mengetahui apakah kawasan tersebut ingin tetap bergabung dengan RI ataukah ingin merdeka. Berbeda dengan dugaan sebagian besar, Timor Timur memilih merdeka, dengan kemenangan kubu pro kemerdekaan sebesar 90 persen. Ada berbagai pandangan yang menyatakan bahwa jajak pendapat itu direkayasa pihak-pihak tertentu, tetapi kebenarannya bagaimana saya tidak tahu.
.
PDIP berhasil memenangkan Pemilu tanggal 7 Juni 1999. Ini merupakan kali pertama PDIP meraih kemenangan. Di luar dugaan Golkar memperoleh urutan kedua. Ternyata partai yang selalu menjadi pemenang pemilihan umum masa Orde Baru masih kuat. Euforia atau rasa kemenangan itu sangat kuat, banyak orang menduga bahwa Megawati akan menjadi presiden. Tetapi ternyata sejarah mencatat bahwa yang terpilih menjadi presiden adalah Gus Dur, sementara Megawati menjadi wakilnya. Kendati demikian hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR memburuk. Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR memberhentikan Gus Dur sebagai presiden yang kemudian digantikan oleh Megawati.
.
Pemberhentian Gus Dur ini sempat memicu kerusuhan di kawasan Waru, Sidoarjo. Ketika itu, saya sudah pindah bekerja di Surabaya. Terjadi pembakaran markas partai Golkar di Waru, Sidoarjo. Kebetulan sepulang kerja saya lewat di sana dan menyaksikan kobaran api masih menyala di bangunan tersebut. Kendati demikian, kerusuhan tidak membesar. Dengan berhentinya Gus Dur, maka era pemerintahan Megawati dimulai.
.
Presiden Gus Dur telah membuka lebih jauh pintu gerbang demokrasi dan kesetaraan etnis. Tahun Baru Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional.
.
Pada pemilihan presiden selanjutnya, Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudoyono (SBY). SBY sempat menjabat sebagai presiden selama dua periode, sebelum Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai presiden.
.
Kini setelah melakukan berbagai kilas balik peristiwa penting semasa 17 tahun reformasi, kita akan membahas berbagai hal. Memang benar bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat telah dibuka lebih lebar semasa era reformasi. Orang kini bebas berdemonstrasi atau berunjuk rasa. Tentu saja ini bukan sesuatu yang buruk. Namun yang patut diingat segenap unjuk rasa atau demonstrasi rentan ditunggangi oleh pihak-pihak dengan kepentingan tertentu. Jadi unjuk rasa ini sudah bukan lagi murni menyampaikan aspirasi rakyat, melainkan aspirasi pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, kebebasan berunjuk rasa bukan lagi produktif melainkan kontra produktif. Perlu dipikirkan cara bagaimana mengatasi masalah ini.
.
Selama masa reformasi, kelompok-kelompok fundamentalis berbasis agama berkembang marak. Timbul berbagai aksi teror, seperti peristiwa bom Bali, Kuningan, dan lain sebagainya. Hubungan toleransi antar umat beragama juga mengalami kemerosotan terbukti dengan meledaknya kerusuhan berlandaskan agama di berbagai kawasan Nusantara. Meski baru-baru ini pemerintah menegaskan tidak boleh ada razia terhadap rumah makan atau warung yang buka selama puasa, namun bertentangan dengan seruan pemerintah tersebut masih ada pihak-pihak yang tetap melakukan razia. Oleh karenanya, pemerintah yang sekarang perlu menegakkan kembali kewibawaannya. Pihak-pihak yang bertindak di luar hukum perlu ditindak tegas. Tidak boleh ada peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan perundangan di atasnya, terutama Pancasila dan UUD 45.
.
Selanjutnya, dewasa ini kita menyaksikan pula adanya kebijakan yang terbalik-balik. Bagaimana mungkin seorang penghina Pancasila dapat diangkat menjadi duta Pancasila. Ini sebenarnya adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Demi menegakkan kewibawaan dasar negara dan lembang negara, maka barangsiapa yang dengan sengaja menghina Pancasila dan Garuda Pancasila perlu ditindak secara hukum. Apabila dasar negara saja sudah tidak lagi dihormati, bagaimana mungkin menciptakan masyarakat yang tertib dan sehat?
.
Peningkatan mutu tayangan umum juga perlu diperhatikan. Masyarakat berhak mendapatkan tayangan yang baik dan bermutu. Masing-masing stasiun televisi hendaknya mengemban tanggung jawab moral dalam menyebarkan berbagai tayangan yang mendidik serta membangun moral dan intelektual bangsa. Dengan kata lain, tidak hanya mengejar rating dan pemasukan melalui iklan. Tanggung jawab moral ini yang perlu lebih dikedepankan.
.
Jika diamati banyak tokoh yang serius memikirkan kemajuan masyarakat dan negara, seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Presiden Jokowi terasa berbeda dengan para pemimpin sebelumnya. Biasanya para pejabat tinggi negara akan membunyikan sirine saat mengadakan perjalanan. Namun tidak demikian dengan Presiden Jokowi. Beliau tetap rela terjebak kemacetan tanpa membunyikan sirine. Ini membuktikan salah satu sisi kepemimpinan yang baik Presiden Jokowi. Gubernur Ahok juga telah memberikan berbagai kemajuan bagi DKI. Sungai-sungai menjadi bersih.
.
Apabila kita melakukan kilas balik bagi 17 tahun reformasi, maka sudah banyak hal baik dicapai. Namun memusatkan diri pada hal-hal baik yang sudah dicapai sesungguhnya tidak produktif. Kita akan terjebak pada nostalgia masa lalu semata. Oleh karenanya, lebih baik memusatkan diri pada hal-hal yang masih perlu dibenahi. Prestasi yang baik itu sudah menjadi sejarah masa lalu. Namun hal-hal yang masih perlu dibenahi merupakan tantangan masa mendatang. Nilai tukar Rupiah masih belum stabil, yang saat tulisan ini dibuat masih bertengger pada kisaran Rp. 13.000,- lebih. Jadi, sama dengan saat krisis moneter dahulu. Karenanya, boleh disimpulkan bahwa kita masih belum sembuh dari krisis moneter.
.
Wibawa dan ketegasan hukum masih perlu ditingkatkan. Jangan biarkan golongan fundamentalis merajalela dan melecehkan Pancasila beserta UUD 45. Pancasila harus tetap jaya dan sakti! Iklim toleransi antar umat beragama dan elemen bangsa perlu makin ditingkatkan. Berbagai kasus lama juga masih belum terungkap, seperti Kerusuhan Mei 1998 dan lain sebagainya.
.
Sebagai penutup, jika ditanya apakah keadaan di masa sekarang sudah jauh lebih memuaskan dibandingkan tahun 1998 dahulu? Masa saya jawab, “Belum!” Kita masih jauh ketinggalan dibandingkan negara-negara maju. Lalu untuk apa berpuas diri? Jawaban “Belum” itulah yang menurut saya paling tepat.