Bedah Buku "Peranakan Tionghua di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur" karya Iwan Santosa
Ivan Taniputera
10 Agustus 2012
Pada
hari ini saya berkesempatan mengikuti acara bedah buku karya Iwan
Santosa yang diselenggarakan di perpustakaan UK Petra Surabaya. Sebagai
narasumber hadir:
1.Bapak Iwan Santosa selaku penulis dan juga wartawan kompas
2.Bapak Dr. Harto Juwono (sejarawan dan dosen di Universitas Indonesia)
3.Ibu Sally Azaria (peneliti dan dosen UK Petra)
Pada
kesempatan tersebut, Bapak Iwan Santosa mengemukakan mengenai harmoni
dan proses akulturasi yang telah berlangsung antara etnis Tionghua dan
penduduk setempat. Sebagai contoh di Bali terdapat barong pria berkulit
gelap dan barong wanita berkulit putih yang menyerupai seorang beretnis
Tionghua. Ternyata pasangan barong ini menggambarkan Raja Jayapangus dan
isterinya asal Tiongkok bernama Kang Tjin We. Hal ini dbahas dalam buku
yang dibedah ini halaman 11-15. Selain itu masih terdapat lagi Wayang
Titi atau wayang kulit China-Jawa. Kendati demikian, segenap produk
budaya akulturasi ini lenyap semasa Orde Baru yang memang bersikap anti
Tionghua.
Pengaruh Tionghua lainnya nampak pula pada arsitektur
mesjid di berbagai penjuru Kepulauan Nusantara, contohnya di Tiku,
Sumatera Barat. Sultan Ternate yang sempat dijumpai Iwan Santosa juga
mengatakan bahwa salah satu penyiar Islam di Maluku adalah orang
Tionghua. Berbagai tokoh-tokoh lokal juga dipuja dalam
kelenteng-kelenteng.
Hubungan harmonis antara Tionghua dan
Melayu nampak di Bangka Belitung, dimana etnis Tionghua dan Melayu
saling mengadopsi anak. Di Serui bahkan dikenal istilah "Perancis" yakni
"Peranakan China Serui." Selain itu masih ada peranakan Tionghua Rote.
Tolak bala Gunung Kelud dilangsungkan dengan pagelaran wayang kulit di
kelenteng Blitar.
Segregasi rasial lebih kuat di Malaysia,
di mana tidak sebagai contoh tidak ada tokoh-tokoh keramat setempat di
kelenteng-kelenteng Tionghua. Masalah Paraku/ PGRS sendiri belum
terselesaikan. PGRS sebenarnya beranggotakan pemuda-pemuda Tionghua
Sabah-Serawak, Jawa, dan Melayu. Mereka dilatih oleh militer Indonesia
dan salah satu pusat pelatihannya adalah di Surabaya. Pembentukannya
adalah dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Kendati demikian, pada
perkembangan selanjutnya PGRS ini diidentikan dengan China-komunis,
padahal anggotanya juga ada orang Melayu.
Setelah
pemerintah Orde Lama tumbang, maka pemerintah Orde Baru lantas
membenturkan antara masyarakat Dayak dengan PGRS, yang merembet pada
orang-orang Tionghua. Upaya mengadu domba antara Dayak dengan Tionghua
gagal dan lantas pemerintah mengambill strategi dengan memalsukan suara
Oevang Uray yang menyerukan pembantaian orang-orang Tionghua. Akibatnya
terjadi serangan dan pembantaian terhadap orang-orang Tionghua yang
dikenal sebagai peristiwa Mangkuk Merah. Banyak orang-orang Tionghua
yang melarikan diri.
Di Malinau ada orang Tionghua ada
orang Dayak yang tinggal di keluarga Tionghua semenjak kecil. Dengan
demikian terjadi pertukaran value atau nilai. Hubungan China
Benteng-Betawi juga harmonis dan jika ada perusuh, maka itu adalah
orang-orang yang berasal dari luar.
Dalam operasi militer
semasa perang kemerdekaan dahulu, di antara 200 orang terdapat satu
orang Tionghua. Penghubung dengan para pejuang di Bali juga adalah
orang-orang Tionghua, karena mereka tidak dicurigai oleh Belanda.
Sebagai
penutup uraian Bapak Iwan Santosa saya akan menuturkan ulang riwayat
yang menyentuh hati dari buku Beliau, yakni sebagaimana yang terdapat
pada halaman 129-130. Diriwayatkan mengenai Encim Lau Ie Yong (69), yang
merupakan warga Gang Taniwan, RT 10 RW 05. Encim Lau Ie Yong hidup
dalam kemiskinan. Meskipun menderita sakit persendian, ia tetap menjadi
buruh cuci, setrika, dan mengepel, dengan upah Rp. 150.000 per bulan.
Demi mendapatkan penghasilan tambahan, ia menerima pekerjaan membungkus
cotton bud dengan upah satu lusin isi 100 batang hanya Rp. 200. Meskipun
didera kemiskinan, Encim Lau Ie Yong masih sempat menyisihkan
penghasilannya yang serba sedikit itu guna beramal di sebuah vihara.
Sungguh teladan yang menyentuh hati. Ini semua menepis streotip bahwa
orang Tionghua pasti kaya.
Pembicara selanjutnya adalah
Bapak Harto Juwono. Beliau mengungkapkan mengenai sejarah visiuner.
yakni sejarah dengan kaitan antara masa lalu dan masa kini. Tidak benar
bahwa sejarah dapat memprediksikan masa depan. Yang lebih tepat adalah
sejarah dapat memberikan visi bagi masa depan.
Bapak Harto
Juwono pada bulan Oktober 2011 pernah diundang ke Putra Jaya, Malaysia,
dan diundang makan dengan perdana menteri Malaysia, wakil perdana
menteri Malaysia, menteri pertahananan, kepala dinas intelijen dan lain
sebagainya. Sebelumnya anggota rombongan dari Indonesia telah
menyepakati pertanyaan-pertanyaan yang hendak diajukan pada pihak
Malaysia, antara lain masalah perbatasan, TKW, dan lain sebagainya. Pada
intinya pertanyaan tersebut berisikan protes terhadap kebijakan negeri
jiran tersebut. Saat jamuan makan, perdana menteri Malaysia menyatakan
bahwa dirinya merupakan keturunan Indonesia. Wakil atau timbalan perdana
menteri juga menyatakan bahwa dirinya adalah keturunan Banjar.
Sementara itu, ada pejabat lainnya yang menyatakan bahwa ia adalah
keturunan Banyumas, Jawa Tengah. Di sini, para pejabat Malaysia dengan
berani menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Indonesia. Sebaliknya,
di Indonesia belum banyak pejabat yang berani mengaku bahwa mereka
adalah keturunan etnis tertentu. Hanya Gus Dur yang berani mengakui
bahwa dirinya adalah keturunan Tionghua.
Dewasa ini ada
upaya penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia baru yang akan menjadi
sumber kurikulum pengajaran sejarah di sekolah-sekolah. Di dalamnya akan
memasukkan perjuangan etnis Tionghua. Sementara itu, yang kerap dibahas
terkait sejarah etnis Tionghua di Indonesia adalah pembantaian etnis
Tionghua pada tahun 1740 di Batavia. Timbul pertanyaan, apakah tidak ada
peristiwa pembantaian lain terhadap etnis Tionghua yang serupa dengan
itu. Sejarah pembantaian di Tangerang dan Bagansiapi-api belum banyak
diungkap. Justru penulis Belanda yang mengungkapkannya dan dituangkan
dalam buku berjudul "The Other Side of Indonesian Revolution." Buku
tersebut menuturkan pembantaian terhadap etnis Tionghua 1946-1950.
Mulanya buku tersebut diberi judul yang agak provokatif, tetapi kemudian
judulnya diubah. Ditulisnya sejarah oleh orang luar ini dikarenakan
topik semacam ini masih dianggap tabu. Penulisan sejarah oleh orang luar
terhadap hal-hal yang dianggap tabu bisa menimbulkan citra negatif
terhadap negara kita. Perlu ada sejarawan nasional yang mengkajinya.
Meskipun data sama, namun interpretasi bisa beda.
Permasalahan
selama ini adalah etnis Tionghua tidak pernah disandingkan dengan etnis
Batak, Jawa, Padang, dan lain-lain. etnis Tionghua dianggap sebagai
satu kelompok utuh yang disebut non-pribumi dan disandingkan dengan
pribumi. Akibatnya terbentuk dikotomi antara keduanya. Ini merupakan
warisan dari zaman kolonial yang menggolongkan etnis Tionghua sebagai
kelompok Timur Asing. Pengalaman Bapak Harto Juwono di kawasan tempat
kediamannya di Depok, jika ada yang mencari rumah Beliau, maka orang
akan menanyakan, "Pak Harto Juwono yang China ya?" Meskipun demikian,
karena isteri Pak Harto Juwono adalah orang Batak, maka ia lantas
menggunakan nama marga Panggabean, sehingga di rumahnya ditulis nama
Harto Juwono (H.J. Panggabean). Tetapi tidak ada yang menanyakan, "Pak
Harto Juwono yang Batak ya?"
Bapak Harto Juwono menuturkan
pula bahwa di Tapanuli Utara, justru banyak orang Tionghua yang lebih
Batak ketimbang orang Batak sendiri. Sebagai contoh ada orang Tionghua
yang berdagang kerbau untuk upacara adat. Waktu ada orang Batak yang
hendak membelinya dan ditanya, "Kerbaunya hendak dipotong dengan bentuk
potongan seperti apa? Apakah tradisi Simanjuntak, Balige, atau Gurgur?
Orang yang hendak membeli kerbau itu tidak dapat menjawabnya.
Pembicara
selanjutnya adalah Ibu Sally Azaria. Beliau memaparkan mengenai kondisi
etnis Tionghua sebelum dan sesudah reformasi. Menurut Beliau, di masa
reformasi ini sudah banyak perubahan tetapi masih tertatih-tatih. Beliau
memuji bahwa buku karya Bapak Iwan Santosa ini merupakan suatu
gebrakan.
Beberapa peraturan tertulis telah dikeluarkan seperti:
1.Instruksi Presiden no 26/ 1998 tentang penghapusan stigma pribumi dan non pribumi.
2.Instruksi Presiden no 4/ 1999 tentang penghapusan SBKRI.
3.Instruksi
Presiden no 14/ 1967 yang diperbaharui menjadi Kepres no.6/ 2000,
mengenai diperbolehkannya pembangunan kembali tiga pilar kebudayaan.
4.UU Kewarnegaraan no. 12 yang baru, mengenai perubahan pembuatan akta lahir dan KTP.
Kendati demikian, di lapangan masih terdapat kendala sebagai berikut:
1.Warga Tionghua miskin sulit membuat KTP (29 Januari 2008).
a.Jakarta Barat, Kecamatan Kalideres, Kelurahan Tegal Alur.
b.Akta Nikah, KTP, Akta Lahir.
c.Warga mengakui ada perbaikan perlakuan.
2.Birokrat yang berlaku diskiriminatif akan diancam pidana (8 Oktober 2007).
Media sebelum dan sesudah reformasi:
1.Pada masa sebelum reformasi
a.Komunikasi dengan bahasa Mandarin: siaran radio (RRI), koran, majalah, dilarang semenjak 1967.
b.Penggunaan
bahasa Mandarin nyaris tak terlihat. Satu-satunya koran berbahasa
Mandarin terbitan Jakarta hanyalah Harian Indonesia.
2.Sesudah reformasi menjadi banyak jumlahnya, seperti Guo Ji Ri Bao, Radio Suzana (Ni Hao Ma), dan Global Mandarin.
Pendidikan sebelum dan sesudah reformasi:
1.Pada masa sebelum reformasi:
Tidak boleh ada sekolah formal yang bernuansa Tionghua.
2.Sesudah reformasi:
a.Bahasa Mandarin semakin eksis.
b.Sekolah umum ==> Ada pelajaran bahasa Mandarin.
c.Sekolah-sekolah dengan native speaker Mandarin, contoh: Surabaya Taipei Internasional School, Merlion International School, dan Surabaya International School.
Agama sebelum dan sesudah reformasi:
Pada tahun 1965: pemerintah mengakui 6 agama.
Tanggal 27 Januari 1979: Sidang kabinet memutuskan Kong Hu Cu bukan agama tetapi kepercayaan.
Kini tetap eksis, namun tidak mengalami peningkatan jumlah signifikan:
a.Kelenteng Hok An Kiong (Jl. Slompretan dan Jl. Coklat) ==> 1830
b.Kelenteng Pak Kok Bio (Jl. Jagalan) ==> 1951.
c.Kelenteng Sanggar Agung (Kompleks Pantai Ria Kenjeran) ==> 1999 (Tridharma).
Kelenteng Tanjung Kait (Qing Shui Zhu Shi)
a.Kelenteng Tjoe Soe Kong (dalam bahasa Hokkian).
b.Ada sosok dewa dewi lokal, yakni Dewi Neng.
c.Kelenteng Tridharma.
Ratu Atut (Gubernur Banten) menyatakan bahwa Kelenteng Tjoe Soe Kong hendaknya dilestarikan sebagai cagar budaya.
Masa Orba masa paling kelam dalam sejarah perjalanan etnis Tionghua di Indonesia, tetapi kini:
a.Kesenian Tionghua bebas ditampilkan.
b.Buku berbahasa Mandarin bebas diperjual-belikan.
c.Perayaan berbau Tionghua: Ceng Beng, Imlek, Cap Gomeh, termasuk pernikahan bebas dilakukan.
Pernikahan ==> budaya Tionghua (April 2007):
a.Menggunakan busana pengantin tradisional Tionghua.
b.Melakukan ritual yang berakulturasi antara Tionghua dan Betawi.
Lenong==>Gambang seni Betawi sering tampil bersama barongsai dan wayang China.
c.Sembahyangan ==> Ceng Beng (5 April 2007), dirayakan selama sepekan di banyak pemakaman Tionghua di Jabodetabek.
Foto bersama Bapak Iwan Santosa.
Foto bersama Bapak Harto Juwono