Seminar Sukses
Ivan Taniputera
8 Agustus 2012
Dewasa
ini kita menyaksikan banyaknya seminar tentang kesuksesan yang
ditawarkan.Umpamanya sukses menjadi penjual yang berhasil, sukses
pensiun dini, sukses menjadi kaya, dan lain sebagainya. Di sini kita
masih menyaksikan bahwa kesuksesan itu hanya dinilai dari sisi materi
semata. Benarkah ini kesuksesan sejati? Kalau kita renungkan lebih
mendalam, dalam kebanyakan kasus, kesuksesan Anda adalah kegagalan bagi
orang lain. Karena hanya ada juara satu, maka jika Anda "berhasil"
menjadi juara pertama, itu berarti bahwa orang lain "gagal" menjadi
juara pertama. Jadi jelas sekali secara logis, keberhasilan Anda adalah
kegagalan bagi orang lain.
Mari kita analisa lebih jauh
hal berikut ini, misalkan ada sebuah pabrik yang memproduksi 100 buah
barang. Terdapat 10 orang sales dan salah satunya adalah Anda sendiri.
Masing-masing sales berupaya menjual sebanyak mungkin dan ingin menjadi
sales terbaik. Jikalau Anda berhasil menjual 11 buah barang, maka sudah
pasti sales yang lain akan menjual lebih sedikit dibanding Anda. Jadi
arti kesuksesan di sini masih dibangun atas dasar kompetisi.
Seminar-seminar yang mengajarkan penggapaian kesuksesan masih dibangun
atas dasar kompetisi. Sepintas memang kompetisi itu baik, namun mari
kita renungkan kembali hal berikut ini.
Bagaimanakah jika kita
mengubah paradigma persaingan dalam contoh di atas menjadi demikian:
Setiap sales hanya diperkenankan menjual 10 barang saja (100 dibagi 10,
yakni jumlah salesnya). Jika ada yang sudah laku semuanya, maka ia
terjun membantu sales lain, yang penjualannya paling seret. Di sini
terdapat konsep tolong menolong. Semua orang akan mendapatkan hasil yang
sama. Manakah yang lebih indah, sistim berdasarkan persaingan ataukah
tolong menolong seperti yang baru saja di ungkapkan?
Dunia
kita patut diakui sedang sakit dan menerapkan sistim yang keliru.
Kesenjangan sosial meraja lela di mana-mana. Kemiskinan, ketidak-adilan,
beserta ketimpangan merajalela di mana. Ada orang yang memiliki tanah
berhektar-hektar, sementara yang lain ada yang tidur berjejalan di
pondok-pondok kumuh. Ada orang yang makan berlebihan dan tidak jarang
membuang-buang makanan, sementara ada orang yang tidak makan selama
berhari-hari. Ada orang yang mengatakan bahwa salah orang-orang yang
tidur di pondok kumuh itu sendiri, sehingga mereka mengalami nasib
demikian. Bahkan seorang pembangkit motivasi mengatakan bahwa tiap orang
bisa berhasil. Tetapi benarkah demikian? Anak seorang kaya, semenjak
lahir sudah dibekali dengan nilai +1, yakni modal dari orang tuanya.
Jika ia mendapatkan mendapatkan pendidikan yang memadai, maka bertambah
lagi nilai +1-nya. Ia tentu memiliki rekan-rekan bisnis sesama orang
kaya, jadi modal kehidupannya bertambah lagi +1. Kini paling tidak, ia
sudah mengantungi nilai +3. Bandingkan dengan orang yang tinggal di
pondok kumuh. Ia tidak punya modal apa-apa, nilainya adalah -1. Ia tidak
punya kesempatan mendapatkan pendidikan yang memadai, nilainya -1.
Koneksinya adalah sesama gelandangan dan pengemis, yang juga sama-sama
kekurangan, maka nilainya bertambah lagi dengan -1. Jadi ia mengantungi
-3.
Perhatikan betapa kontras perbedaannya. Jika semua
orang punya hak untuk berhasil, maka ini adalah pertarungan yang tidak
adil. Untuk mencapai kondisi cukup untuk hidup saja, ia harus melampaui 3
poin agar tiba pada nilai 0. Oleh karenanya, seruan pembangkit semangat
semacam itu adalah ibarat mengajarkan seseorang bermimpi. Kembali di
sini kesuksesan yang dimaksud adalah hanya ditinjau dari sisi materi.
Apakah
sukses pensiun dini itu bermoral? Nilai seorang manusia itu adalah
manfaat atau kontribusinya bagi sesama. Jika ada orang yang hanya duduk
diam menikmati kekayaannya atau hanya ongkang-ongkang kaki saja serta
hidup hedonisme, apakah nilainya bagi kehidupan? Orang itu tidak punya
nilai sama sekali dan menjadi benalu atau parasit bagi peradaban, karena
dia tidak menciptakan nilai tambah sama sekali bagi sesamanya. Lalu
bagaimana mungkin seruan pensiun dini dapat dianggap bermoral?
Sebenarnya
bagaimanakah kesuksesan yang "sejati"? Kesuksesan "sejati" adalah
kesanggupan menciptakan semakin banyak kebahagiaan baik bagi diri
sendiri maupun orang lain. Pada saat kita mampu "sukses" namun kita
justru membantu orang lain agar "sukses" maka itulah kesuksesan sejati.
Kesuksesan sejati bukanlah terletak pada pertanyaan "berapa banyak
barang yang Anda telah jual," melainkan pada "berapa banyak orang yang
Anda bantu menjualkan barangnya"? Dalam buku "Geography of Bliss" nampak
jelas bahwa sikap altruistik adalah salah satu musabab bagi
kebahagiaan. Suatu pencapaian egois yang bercirikan "aku hidup-kamu
mati" atau "aku menang-kamu kalah" bukanlah kesuksesan sejati. Ubahlah
konsep "kebahagiaanku adalah penderitaan bagi orang lain" menjadi
"kebahagiaanku adalah kebahagiaan bagi orang lain, kebahagiaan orang
lain adalah kebahagianku juga." Barulah dunia ini akan menjadi lebih
baik. Semoga bermanfaat.