SEJARAH KERUSUHAN RASIAL DI SURAKARTA DAN SEMARANG TAHUN 1980
Ivan Taniputera
31 Oktober 2012
Saya mendapatkan buku menarik berjudul "Huru Hara Solo Semarang:
Suatu Reportase" yang disusun oleh Bambang Siswoyo, diterbitkan oleh PT
Bhakti Pertiwi, cetakan pertama, Maret 1981.
Waktu peristiwa ini terjadi, saya masih duduk di bangku TK dan belum
mengetahui duduk perkaranya. Saya ketika itu, dijemput pulang lebih awal
oleh ayah saya dan hanya diberi tahu bahwa ada "rame-rame" (keributan
atau kerusuhan). Tetapi kerusuhan apa pastinya, saya waktu itu tidak bertanya
lebih lanjut. Kemudian seingat saya, sekolah libur selama beberapa hari
dan dari televisi saya pertama kali mendengar mengenai apa yang disebut "jam
malam." Lalu orang tua saya dan para tetangga menulisi pintu dan pagar
dengan tulisan "Pribumi" atau "ABRI." Saat itu, saya juga belum tahu apa
maksudnya.
Dari kejauhan saya melihat asap membumbung tinggi, yang
katanya kawasan Perbalan sudah dibakar. Kendati demikian, saya juga
belum tahu mengapa alasan pembakaran itu. Lalu peristiwa lain yang saya
masih ingat adalah mobil pemadam kebakaran milik kompleks perumahan
dijadikan penghalang di ujung gang agar perusuh tidak masuk. Setelah
beberapa hari kemudian, saya masuk sekolah lagi dan melihat kaca jendela
pecah-pecah.
Kini 31 tahun kemudian, setelah membaca buku ini saya baru mulai
mendapat kejelasan mengenai duduk perkaranya. Baiklah mari kita simak
bersama buku ini. Pada halaman 9 terdapat sub-judul "Barang
Kriwikan Dadi Grojogan."
Kriwikan adalah tetesan air, sedangkan
grojogan
adalah air terjun. Jadi secara harafiah, artinya adalah "tetesan air
menjadi air terjun." Makna peribahasa Jawa ini adalah sesuatu yang
sepele akhirnya menjadi perkara besar.
Kerusuhan diawali ketika pada tanggal 19 November 1980 seorang pemuda
Tionghoa bernama Ompong alias Kicak terserempet para pengendara sepeda
yang merupakan siswa SGO (Sekolah Guru Olah Raga). Ribut mulut terjadi
dan Kicak memukul salah seorang siswa SGO itu dengan batu hingga
berdarah. Sesudah itu Kicak melarikan diri ke dalam toko Orlane yang
juga dimiliki oleh orang Tionghoa dan melarikan diri lewat pintu
belakang. Ia lantas menghilang di kompleks SMPN XIII, jalan Urip
Sumoharjo, Surakarta.
Siswa SGO yang terluka itu bernama Pipit Supriyadi lalu kembali ke
sekolah mereka. Kebetulan jaraknya hanya 200 meter dari tempat kejadian.
Pipit yang kebetulan ketua OSIS SGO menghimpun teman-temannya guna
mendatangi toko Orlane dan meminta agar mereka menyerahkan Kicak, namun
gagal. Lima puluh orang siswa yang berasal dari kelas I dan II itu juga
gagal menemui Kicak di rumahnya di Stabelan.
Hingga Kamis pagi, tuntutan para pelajar itu belum dipenuhi, sehingga
100 pelajar SGO yang berasal dari kelas I, II, dan III kembali
mendatangi toko Orlane. Karena gagal mendapatkan yang mereka harapkan,
mulailah mereka melempari sejumlah toko dan rumah di jalan Urip
Sumoharjo. Tujuh toko mengalami kerusakan ringan dan sebuah mobil yang
diparkir depan Konimex dipecah kacanya.
Pasukan keamanan segera bertindak. Pipit dibawa ke KODIM 0735 Sala
guna menanda-tangani perjanjian tertulis disaksikan ibunya serta kepala
SGO Negeri Solo, bahwa ia tak akan mengulangi merusak toko (halaman 10).
Tetapi ia juga meminta agar pihak keamanan menangkap orang yang melukai
kepalanya. Kamis malam tanggal 20 November 1980 memang tidak terjadi
pengrusakan, namun masa mulai berkumpul untuk menyaksikan sisa-sisa
kerusuhan.
Hari Jumat tanggal 21 November 1980, kondisinya tenang. Dikabarkan bahwa
petugas keamanan malam itu berhasil mencegah serombongan orang dari luar
kota yang ingin masuk ke Surakarta. Hal itu terjadi karena adanya isu
bahwa Pipit tewas karena luka-lukanya. Konon, sepulangnya Pipit dari
kantor Kodim pada hari sebelumnya, ia diikuti tiga orang tak dikenal
yang ternyata merupakan mahasiwa Universitas negeri Surakarta Sebelas
Maret. Mereka mengajak Pipit agar meneruskan masalah itu, sehingga pada
tanggal 21 November diadakan rapat dengan mahasiswa da ketua OSIS di
Solo. Pertemuan ketika itu terjadi di Jembatan Jurug, Solo (halaman 11):
"Kemudian pertemuan dipimpin oleh Endu Marsono atas ide dari Hari
Mulyadi. Setelah pertemuan dimulai, pelaksanaan tehnik ditangani oleh
Eddy Wibowo, mahasiswa Fakultas Sastra Budaya UNS jurusan Sastra Jawa,
tingkat II. Pertemuan itu menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1.Para pelajar menuju ke Coyudan dengan berjalan kaki pada jam 10.00
hari Sabtu tanggal 22 Nopember untuk mengadakan perusakan toko-toko
Cina.
Tugas setelah itu, bubar.
2.Membuat pamplet-pamplet.
3.Semua pelajar tidak boleh mengejek, menghina semua petugas yang bisa menimbulkan kemarahan petugas." (halaman 11-12).
Akibatnya kerusuhan meledak pada hari Sabtu tanggal 22 November. Masa
yang terdiri dari para pelajar berbondong-bondong melempari toko dan
bangunan milik keturunan Tionghoa. Pada hari Minggu tanggal 23 November
1980 kerusuhan semakin meluas karena ditunggangi oleh para penjahat.
Para penjahat ini adalah apa yang di Jawa Tengah kerap disebut "gali"
(gang anak liar).
MENJALAR KE SEMARANG
Kerusuhan ini mulai merembet ke Semarang pada tanggal 25 November
1980 yang juga diawali oleh serombongan pelajar. Dengan cepat kerusuhan
menyebar ke seluruh penjuru kota. Pihak Laksusda Jateng/ DIY segera
memberlakukan jam malam. Dasar pemberlakuan jam malam adalah:
1.Peristiwa pengrusakan dan pembakaran bangunan beserta kendaraan
telah menjalar ke Semarang, sehingga menimbulkan kerugian harta benda
beserta ancaman terhadap ketenangan dan kesalamatan warga Semarang.
2.Oleh karenanya diberlakukan jam malam di Kodya Semarang dan sekitarnya termasuk Ungaran, mulai dari jam 20.00 hingga 05.00.
Pengumuman pemberlakuan jam malam ditanda-tangani atas nama Laksus
Pangkopkamtib Jateng/ DIY, Kepala Staf Harian Brigjend TNI Sawarno.
(halaman 16).
Sarana transportasi umum berupa bis kota dan bis antar kota sempat
lumpuh selama dua hari, dan setelah keadaan mereka maka pada tanggal 30
November, jam malam diperpendek antara pukul 22.00 hingga 04.00.
Sementara itu, sekolah-sekolah yang diliburkan semenjak 26 November,
dibuka kembali pada tanggal 1 Desember. Jam malam akhirnya dihapus sama
sekali pada tanggal 6 Desember 1980. Warga Semarang dapat bernafas lega
walaupun desas desus masih bertebaran di mana-mana.