Jumat, 31 Mei 2013

FILSAFAT WANG CH'UNG (II)

FILSAFAT WANG CH'UNG (II)

Penerjemah: Ivan Taniputera
31 Mei 2013


Saya akan menlanjutkan penelaahan saya mengenai filsafat Wang Ch'ung, salah seorang filsuf Tiongkok kuno, yang kali ini akan diambil dari  buku berbahasa Jerman berjudul Die Gedankenwelt des Chinesischen Kulturkreises, halaman 140-141.

Terjemahan:

Wang Tsch'ung berpendapat bahwa Substansi Yang (Yang-Fluidum), yang membentuk jiwa (Seele), pada hakikatnya tidak memiliki kesadaran, tanpa kecerdasan (Intelligenz), dan memperoleh segenap kemampuan (Faehigkeiten) melalui persinggungannya dengan tubuh. Ia merupakan bagian yang penting laksana lilin untuk menghasilkan cahaya. Tanpa tubuh fisik (Koerper), jiwa (Geist) tak akan memiliki kesadaran. Setelah kematian, jiwa akan kembali pada ketidak-sadaran (Unbewusste). Substansi Yang sebelum kelahiran dan di luar tubuh bersifat tidak sadar dan begitu pula halnya setelah kematian.

[Berikut ini adalah kutipan dari Lun-heng:]

"Sewaktu seseorang meninggal dunia, lima organ bagian dalamnya mengalami proses pembusukan, sehingga lima kemampuan tubuh tidak akan memiliki bahan dasarnya lagi. Apa yang berfungsi memangku kecerdasan, telah mengalami kerusakan, dan kinerja semuanya itu lenyap. Tubuh fisik memerlukan Jiwa agar dapat menjalankan fungsinya, dan jiwa memerlukan tubuh fisik agar dapat menyadari sesuatu. Tiada api di muka bumi ini, yang dapat terbakar dengan sendirinya, dan bagaimanakah di muka bumi ini bisa terdapat intisari kehidupan, jika seandainya tiada tubuh fisik yang dapat menyadari dirinya sendiri?" (Lun-heng, jilid 1, halaman 195).

"Sebelum seseorang dilahirkan, ia tak memiliki kesadaran. Sebelum dilahirkan, ia adalah bagian substansi asali, dan setelah kematian ia akan kembali pada substansi asali ini. Substansi awal ini senantiasa bergerak dan bersifat tak tentu (unbestimmt), dan substansi manusia terkandung di dalamnya. Sebelum dilahirkan, ia tak mempunyai kesadaran, dan setelah kematian ia akan kembali pula dalam kondisi ketidak-sadaran; bagaimana pula ia dengan demikian memiliki kesadaran?" (Lun-heng, jilid 1, halaman 194).


Wang Tsch'ung melanjutkan dengan alasan sebagai berikut, yakni mengenai mustahilnya kehidupan abadi:

Jika seandainya ada roh orang meninggal, pastilah ia akan dapat disaksikan. Jumlahnya pastilah san gat banyak, sehingga orang di mana-mana dapat menjumpai mereka. Hal ini tidak terjadi, karena semua penampakan roh adalah penipuan. Jadi, tidak ada yang namanya roh orang meninggal.
Hewan sebagaimana halnya manusia juga terdiri dari  tubuh fisik dan roh. Mereka juga tidak hidup abadi, lalu mengapa manusia harus dianggap mampu hidup abadi? Kendati manusia merupakan makhluk yang lebih kompleks, namun tidaklah berbeda dengan makhluk lainnya.
Melalui pengaruh-pengaruh luar, seperti makanan, tidur, dan penyakit, roh itu akan mengalami pengaruh secara besar-besaran. Karena sebagian roh itu dapat musnah karena penyakit, maka pada saat kematian, tingkat tertinggi bagi penyakit, roh juga akan dimusnahkan sepenuhnya.

"Selama seseorang belum mati, kemampuan batiniah dan daya kehidupannya masih berfungsi atau ada. Sewaktu jatuh sakit, ia merasa pusing dan kesadarannya berkurang, sehingga daya kehidupannya terganggu. Kematian adalah puncak tertinggi bagi penyakit. Pada awal proses kematian, ia merasakan kesadaran berkurang dan pusing, lalu bagaimanakah jika tahapan penyakit tersebut telah mencapai puncaknya? Jikalau daya kehidupan terganggu, ia akan kehilangan kesadaran, bagaimanakah bila daya kehidupan itu telah musnah?" (Lun-heng, Jilid I, halaman 196.

Sumber: Forke, Alfred. Die Gedankenwelt des Chinesischen Kulturkreis, Druck und Verlag von R. Oldenburg, Muenchen und Berlin, 1927.