ANAK-ANAK, MOBIL, MOBIL-MOBILAN, DAN DEMOKRASI
Ivan Taniputera.
5 Juli 2013
Barangkali pembaca akan bingung membaca judul di atas. Nampaknya seolah-olah tidak ada hubungannya. Namun silakan baca terus artikel ini. Seorang ayah memiliki anak berumur 4 tahun yang gemar bermain mobil-mobilan. Anak itu mengoleksi ribuan mainan mobil-mobilan. Suatu kali timbul pikiran dalam benak sang ayah membelikan anaknya mobil sungguhan yang bagus. Sang ayah beranggapan bahwa jika dibelikan mobil sungguhan tentu anaknya akan jauh lebih bahagia ketimbang memiliki sekedar mobil mainan. Kedua, sang ayah juga berangan-angan,anaknya kelak akan cepat pandai mengemudikan mobil, jika dihadiahi mobil sungguhan.
Demikianlah, sang ayah membelikan anaknya mobil sungguhan keluaran terbaru yang sangat mahal dan mewah. Pertama-tama sang anak terkagum-kagum dengan mobil sungguhan tersebut. Namun setelah beberapa lama, anak itu meninggalkan mobil sungguhannya dan kembali pada mobil mainannya. Mengapa demikian? Sang anak berkata bahwa mobil sungguhan itu membosankan karena tidak dapat dipakai bermain-main. Bagi sang anak mobil mainan lebih menyenangkan.
Ilustrasi di atas jika kita renungkan akan mengajarkan kita banyak hal mengenai demokrasi. Pertama-tama, sang anak belum dapat mengemudikan mobil, sehingga ia belum mengetahui manfaat mobil yang sebenarnya. Jikalau ia sudah dewasa dan dapat mengemudikan mobil serta mengetahui fasilitas-fasilitas atau kenyamanan mobil super mewah tersebut, pasti ia tidak mau kembali pada mobil mainannya. Begitu pula dengan demokrasi. Agar transisi menuju masyarakat demokratis dapat berjalan, diperlukan banyak prasyarat. Salah satunya adalah tingkat pendidikan dan wawasan masyarakat yang maju. Ini adalah salah satu saja di antara sekian banyak prasyarat dan bukanlah penentu.
Masyarakat Jerman memilih rezim non-demokratis menjelang PD II dan meruntuhkan demokrasi, padahal tingkat pendidikan di sana sudah baik. Selain itu, rezim tersebut juga didukung oleh serangkaian "cendekiawan dan ilmuwan Jerman". Mereka adalah juga orang-orang yang berpendidikan tinggi. Jadi tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi bukan satu-satunya penentu bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Kondisi perekomian yang luar biasa terpuruk pada masa itu memunculkan pula rezim kiri maupun kanan anti demokrasi. Pendidikan masyarakat yang tinggi itu perlu, tetapi kalau faktor-faktor lain tak mendukung, maka demokrasi juga akan runtuh. Sebagaimana halnya sang anak yang kembali pada mobil-mobil mainannya.
Kedua, dengan memiliki mobil diharapkan agar sang anak dapat cepat mahir mengemudikan mobil. Ini juga pandangan yang keliru. Tidak ada hubungan antara memiliki mobil dan kepandaian mengemudi. Jika orang yang memiliki mobil dapat otomatis mengemudikan mobil, maka tidak perlu orang belajar mengemudi. Tak ada korelasi langsung antara keduanya. Begitu pula, demokrasi tidak muncul serta merta karena pendidikan yang tinggi. Sebaliknya demokrasi tidak dapat pula memunculkan tingkat pendidikan yang tinggi. Karena keduanya tidak berkorelasi secara langsung.
Demikian renungan hari ini. Semoga bermanfaat.