Abraham Lincoln yang merupakan presiden Amerika Serikat ke-16 merupakan tokoh yang dikagumi karena pernah membebaskan para budak belian dari perhambaan yang telah berlangsung selama berabad-abad. Namun, apakah kita menyadari bahwa di Indonesia juga terdapat tokoh pembebas budak yang terlupakan?
Apakah kita pernah mendengar mengenai seorang tokoh bernama La Madarémméng? Siapakah Beliau? Ia tak lain dan tak bukan adalah Raja Bone ke-13 (1626 – 1644). La Madarémméng menetapkan aturan baru mengenai perbudakan, yang menyatakan bahwa orang yang bukan keturunan budak tidak boleh dijadikan budak. Dengan kata lain, mereka harus dibebaskan dan menerima gaji bila bekerja pada orang lain. Kaum pembesar dan bangsawan yang memiliki banyak budak tentu merasa dirugikan karena adanya peraturan baru ini; sehingga banyak di antara mereka yang menentang kebijaksanaan baru tersebut, termasuk ibu raja yang bernama We Tenrisoloreng Datu Pattiro (Makkalarue). Ibu raja memprotes kebijaksanaan itu dengan mengatakan bahwa ia tidak tidak mampu hidup tanpa budak beliannya. Tetapi raja tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Itulah sebabnya, ibunya lantas melarikan diri ke Gowa pada tahun 1640 dan meminta suaka pada Sultan Muhammad Said. Hal ini merupakan penyebab pecahnya peperangan antara Gowa dan Bone di tahun 1644. Pasukan gabungan Gowa beserta kerajaan lain menyerang Bone dan menaklukkannya. Gowa menguasai Bone selama 17 tahun dan Raja La Madarémméng ditawan oleh musuh-musuhnya.
Berdasarkan kisah sejarah di atas, memang benar bahwa La Madarémméng tidak membebaskan seluruh budak belian. Namun kebijaksanaannya itu merupaka sesuatu yang sangat progresif pada zamannya.