Jumat, 08 Juni 2012

SERIAL KEARIFAN LOKAL: Azas Demokrasi: Perjanjian Antara Datu Pammana Dengan Orang Pammana

SERIAL KEARIFAN LOKAL: Azas Demokrasi: Perjanjian Antara Datu Pammana Dengan Orang Pammana

Ivan Taniputera
8 Juni 2012

Berikut adalah satu lagi kearifan lokal dari Tanah Bugis yang layak kita renungkan bersama. Inilah Perjanjian antara seorang raja dengan rakyatnya:
"Adapun kemerdekaan orang Pammana ditandai oleh empat hal. Yang pertama, engkau tidak menghalangi sesama rakyat merdeka mengikat perjanjian. Yang kedua engkau tidak menghalangi rakyat merdeka mengadakan persepakatan sesamanya. Yang ketiga tidak dirampas harta pusakanya. Keempat tidak dirugikan dalam berjual beli, namun tidak menarik keuntungan dari padamu"
Sumber: "Bunga Rampai Sastra Bugis: Bacaan Sejarah Sulawesi Selatan", karya Tamin Chairan, M. Arief Mattalitti, dan Adnan Usmar. halaman 145
Kutipan di atas luar biasa sekali, karena sudah memaparkan mengenai empat jenis kemerdekaan dalam masyarakat demokrasi, yakni (1)kebebasan berserikat dan berkumpul; (2)kebebasan berpendapat; (3)jaminan bagi keamanan hak milik; (4)demokrasi dalam perekonomian.
Kebebasan ini bahkan tidak dapat dilanggar oleh raja sekalipun, karena merupakan hak azasi yang melekat dalam diri setiap umat manusia semenjak ia dilahirkan. Namun pada praktiknya konsep penegakan demokrasi ini dalam sejarahnya memerlukan perjuangan panjang dan keras. Kendati demikian, rumusan di atas yang berasal dari kurang lebih abad ke-14 jauh mendahului rumusan Deklari Hak Azasi Manusia.
Selanjutnya dapat kita baca sebagai berikut:
"Sebagai tanda pengabdian diri orang Pammana kepada raja, ialah kalau Datu dalam peristiwa senang atau pun susah dan harus menyembelih hewan, maka pintu kandang hewan mereka terbuka bagimu. Kalau kerbau peliharaan harganya empat real. Kalau kerbau belian, wang pembelinya digantikan. Bila tidak ada kerbau pada orang banyak, maka orang-orang bangsawan harganya satu tahil. Kalau kerbau belian, wang pembelinya pun digantikan."
Sumber Ibid, halaman 145-146.
Kutipan di atas menandakan bahwa jika seorang raja menghendaki kerbau milik rakyat, maka ia tetap harus membayar sesuai dengan harga yang ditentukan dalam perjanjian di atas. Seorang raja tidak boleh merampas begitu saja apa yang dimiliki rakyatnya, terkecuali ia melakukan kesalahan yang harus dihukum dengan penyitaan harta bendanya.
Oleh karenanya, kedudukan raja dalam adat istiadat Bugis tidaklah tak terbatas dan rakyat tetap memiliki kebebasan. Dalam sejarah Sulawesi Selatan ada raja yang dibunuh atau dihukum mati tatkala melakukan kesalahan. Dengan demikian, hukum adalah penguasa baik bagi raja maupun rakyat jelata. Inilah prinsip yang dianut dalam negara demokrasi, yakni bahwa hukum tidaklah pandang bulu.