MENELISIK KEBERADAAN NASKAH-NASKAH POORTMAN: MITOS ATAU FAKTA?
Ivan Taniputera
16 Februari 2013
Sudah
lama saya ingin mengetahui fakta keberadaan mengenai naskah-naskah
Poortman sebagaimana yang dimuat dalam buku Slamet Muljana berjudul
"Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara2 Islam di
Nusantara." Meskipun demikian, hingga saat ini saya belum menemukan
bukti meyakinkan mengenai keberadaan naskah-naskah yang konon ditemukan
oleh Poortman di kelenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Semarang, tersebut.
Sebelumnya, saya mengutipkan dari buku "Tuanku Rao" karya Mangaradja
Onggang Parlindungan:
"Residen Poortman selaku
autodidactic Sinoolog mengerti, bahwa Djin Bun didalam Bahasa
Tionghwa/Dialect Yunnan artinya "Orang Kuat." Resident Poortman the
experienced Hystory Detective, jang sudah memetjahkan soal "Mythos
Iskandar Zulkarnain Dynasty" mendjadi very clear Kesultanan Kuntu/
Kampar, terpaksa fikir2 panjang. Dia memeras otak, dimana mendapatkan
sesuatu sumber perihal "Djin Bun The Strong man". Didalam annals
Tiongkok/Ming Dynasty, nama Djin Bun sama sekali tidak disebutkan. Mana
ja??
Eureka!! Resident Poortman pergi ke Semarang. Didalam
suasana Pemberontakan Komunis/1928, Resident Poortman di Semarang
dengan bantuan Polisi menggeledah of all places: Klenteng Sam Po Kong!!
Tulisan2 Tionghwa jang disitu disimpan sedjak +- 400 @ 500 tahun,
seluruhnya disita oleh Resideng Poortman. Tiga tjikar banjaknja!! Itu
dia sumber2 perihal Djin Bun, jang tidak diduga oleh siapa pun. Memang
pandai Poortman selaku Detective Sedjarah." (1)
Hal ini
lantas dikutip pula dalam buku "Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan
Timbulnja Negara2 Islam di Nusantara" karya Prof. Dr. Slamet Muljana:
"Residen
Poortman pada tahun 1928 dengan bantuan polisi menggeledah klenteng Sam
Po Kong di Semarang. Tulisan2 Tionghwa jang tersimpan disitu seluruhnja
disita oleh residen Poortman. Banjaknya sampai tiga tjikar. Tulisan2
itu umurnja sudah 400 atau 500 tahun. Bahan yang disusun oleh Ir.
Parlindungan ini berguna sekali untuk mengetahui sampai dimana Babad
Tanah Djawi dan Serat Kanda boleh dipertjaja sebagai karja sedjarah..."
(2)
Dengan demikian, Slamet Muljana seolah-olah hanya
menggemakan kembali apa yang ditulis dalam buku karya Mangaradja Onggang
Parlindungan.
Keberadaan naskah-naskah tersebut sangat lemah dari segi sejarah. Kita akan menelusuri alasan-alasannya:
1. Tidak ada sumber lain yang mengatakan mengenai keberadaan naskah-naskah sitaan tersebut.
Satu-satunya
yang menyebutkan mengenai keberadaan naskah-naskah sitaan Poortman
tersebut hanya dari buku karya Mangaradja Onggang Parlindungan. Tidak
adanya sumber pembanding menjadikannya sangat lemah dari sisi sejarah.
Bahkan, Poortman sendiri yang menemukan naskah tersebut tidak pernah
menulis mengenainya. Yang menulis adalah justru Mangaradja Onggang
Parlindungan dalam bukunya "Tuanku Rao," sebagaimana yang telah
dikutipkan di atas.
2. Sampai sekarang tidak diketahui keberadaan naskah-naskah sitaan Poortman tersebut.
Pada buku Tuanku Rao diuraikan sebagai berikut:
"Hatsil/karja
dari Resident Poortman jang begitu gilang/gemilang atas permintaan dia
sendiri: Tetap dirahasiakan oleh Pemerintah Koloniaal Belanda. Tersimpan
didalam sesuatu "GZG/Monogram, Uitsluitend Voor Dientsgebruik Ten
Kantore" (RSR, hanja untuk dinas, tidak boleh dibawa ke rumah). (3)
Berdasarkan
kutipan di atas barangkali ada berargumen, karena dirahasiakan wajar
saja tidak diketahui keberadaan naskah-naskah tersebut. Masalahnya pada
masa sekarang perahasiaan naskah itu tidak lagi relevan, sehingga jika
naskah itu benar-benar ada, pasti sudah dapat dijumpai atau diakses
semua orang. Selanjutnya, jika memang dirahasiakan, mengapa orang dapat
mengetahui kisah yang terdapat di dalamnya, melalui buku "Tuanku Rao"?
Jika isinya (meskipun katanya hanya ringkasan) sudah ke luar pada publik
maka namanya bukan rahasia lagi. Selanjutnya karena gagal dengan
argumen di atas, maka ada lagi yang menyatakan bahwa naskah itu sudah
dimusnahkan oleh Belanda. Namun jika benar sudah dimusnahkan, maka
apakah ada bukti nyata bahwa Belanda pernah memusnahkan naskah tersebut?
Jika tidak ada buktinya, maka ini adalah pernyataan bahwa "Belanda
sudah memusnahkan naskah tersebut" adalah spekulatif dan tak dapat
dibuktikan kebenarannya.
Penulis beberapa waktu yang lalu
pernah berdebat dengan seorang penganut sekte agama tertentu mengenai
keaslian atau otentitas kitab suci mereka.Konon kitab suci mereka
diterjemahkan dari lempengan-lempengan emas yang ditemukan pada sebuah
bukit oleh pendiri sekte mereka. Jika benar bahwa kitab itu
"diterjemahkan" oleh pendiri sekte dari lempengan-lempengan emas, apakah
lempengan-lempengan itu masih dapat dibuktikan keberadaannya. Mereka
mengatakan bahwa lempengan-lempengan itu sudah dibawa kembali ke surga
oleh malaikat. Dengan demikian, otentitasnya tidak dapat dibuktikan
kebenarannya. Tidak berbeda antara naskah-naskah Poortman dengan kitab
suci bagi sekte di atas. Yang satu menyatakan bahwa naskahnya sudah
dimusnahkan Belanda, sedangkan yang satu lagi mengatakan bahwa naskah
aslinya sudah dibawa malaikat ke surga. Apakah bedanya? Intinya naskah
itu sekarang TIDAK ADA.
3.Poortman itu masih menimbulkan kontroversi, sebagaimana yang dapat dibaca pada http://id.wikipedia.org/wiki/Poortman. Perhatikan pada laman tersebut bahwa Ricklefs dan Reid juga meragukan tentang naskah-naskah Poortman.
4.Disebutkan
bahwa naskah itu berusia 400-500 tahun. Namun pada kenyataannya
Kelenteng Sam Po Kong dahulu belum seperti sekarang. Pada zaman dahulu
masih berupa rumah kecil dan kemudian pernah pula mengalami perpindahan.
Jika demikian, mustahil naskah itu dapat tersimpan lama di kelenteng
Sam Po Kong, karena kondisinya yang dahulu tidak memungkinkan
disimpannya naskah begitu banyak. Jadi pertanyaannya, adalah selama 400
atau 500 tahun itu naskahnya disimpan di mana?
5.Tambahan dari Bapak. Kwa Thong Hay, penulis buku "Dewa-Dewi Kelenteng" yang diterbitkan oleh yayasan Kelenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Semarang.
Bapak Kwa Thong Hay juga tidak meyakini keberadaan naskah itu. Kurang lebih tahun 70-an Bapak Kwa Thong Hay pernah bertanya soal ini pada Bapak Lie Hoo Soen yang dulu menjabat sebagai ketua pertama Yayasan Sam Poo Kong. Ia adalah anggota volksraad di Kodya Semarang, katanya naskah tersebut jelas tidak ada di Sam Poo Kong. Namun KALO MEMANG ADA mungkin di Gedong Dhuwur yaitu rumah tuan tanah Johanness.
Selanjutnya dalam buku "Semarang Tempoe Doeloe," Amen Budiman juga mencari naskah Poortman, dan tidak menemukannya.
Lalu soal nama-nama yang sumbernya dari naskah Poortman, itu aneh menurut Bapak Kwa Thong Hay, mana ada nama Hokkian Bong Swie Hoo, Gan Eng Cu, atau Djin Bun? Djin bun ini tulisannya bagaimana sehingga dapat dikatakan dialek Yunnan. Apabila naskah itu ditulis dengan aksara Tionghua, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui bahwa itu dialek Yunnan, Hokkian atau yang lainya? Bagaimana mungkin namanya diartikan sebagai "Orang Kuat"? Menurut Bapak Kwa Thong Hay nama itu nampaknya hanya hasil karangan saja.
Menurut saya pandangan Bapak Kwa Thong Hay di atas sangat telak, karena jika kita hanya menilik huruf Mandarinnya saja, mustahil mengetahui dialek yang dipergunakan. Beragam dialek itu menggunakan huruf yang sama. Dengan kata lain, jika dituliskan kita tak mengetahui lagi dialeknya.
5.Tambahan dari Bapak. Kwa Thong Hay, penulis buku "Dewa-Dewi Kelenteng" yang diterbitkan oleh yayasan Kelenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Semarang.
Bapak Kwa Thong Hay juga tidak meyakini keberadaan naskah itu. Kurang lebih tahun 70-an Bapak Kwa Thong Hay pernah bertanya soal ini pada Bapak Lie Hoo Soen yang dulu menjabat sebagai ketua pertama Yayasan Sam Poo Kong. Ia adalah anggota volksraad di Kodya Semarang, katanya naskah tersebut jelas tidak ada di Sam Poo Kong. Namun KALO MEMANG ADA mungkin di Gedong Dhuwur yaitu rumah tuan tanah Johanness.
Selanjutnya dalam buku "Semarang Tempoe Doeloe," Amen Budiman juga mencari naskah Poortman, dan tidak menemukannya.
Lalu soal nama-nama yang sumbernya dari naskah Poortman, itu aneh menurut Bapak Kwa Thong Hay, mana ada nama Hokkian Bong Swie Hoo, Gan Eng Cu, atau Djin Bun? Djin bun ini tulisannya bagaimana sehingga dapat dikatakan dialek Yunnan. Apabila naskah itu ditulis dengan aksara Tionghua, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui bahwa itu dialek Yunnan, Hokkian atau yang lainya? Bagaimana mungkin namanya diartikan sebagai "Orang Kuat"? Menurut Bapak Kwa Thong Hay nama itu nampaknya hanya hasil karangan saja.
Menurut saya pandangan Bapak Kwa Thong Hay di atas sangat telak, karena jika kita hanya menilik huruf Mandarinnya saja, mustahil mengetahui dialek yang dipergunakan. Beragam dialek itu menggunakan huruf yang sama. Dengan kata lain, jika dituliskan kita tak mengetahui lagi dialeknya.
Demikian
beberapa pertanyaan mengenai keberadaan naskah tersebut. Sebenarnya
masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kita perlu meluruskan
sejarah yang ada, sebagai warisan bagi generasi mendatang agar
mendapatkan informasi yang benar dan bukannya naskah fiktif yang
dianggap ada.
(1) Tuanku Rao, halaman 652.
(2) Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara2 Islam di Nusantara, halaman 12.
(3) Tuanku Rao, halaman 664.
DAFTAR PUSTAKA
Muljana, Slamet. Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara2 Islam di Nusantara, Bhratara, Djakarta, 1968.
Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao, LkiS, Yogyakarta, 2007.