BUKU PEMBELAAN TAN BOEN KIM (TANBOENKIM'S PLEIDOOI)
Ivan Taniputera
30 April 2013
Saya
mendapatkan buku yang sangat menarik ini, berisikan berbagai pembelaan
terhadap kasus-kasus semasa zaman pemerintahan kolonial. Adapun data
bukunya adalah sebagai berikut:
Judul : Tanboenkim's Pleidooi, terdapat tulisan
Moeat:
Pleidoinja
Journalist-journalist, Advocaat-advocaat en Procureur ternama, jang
belaken diri sendiri atawa clientnja lantaran persdelict, klachtdelict
dan laen-laen perkara delict, kadjahatan atawa crimineel, depan sidang
pengadilan di Indonesia.
Ditoelis Oleh: Tan Boen Kim-Batavia
Tjitakan Pertama
Terjitak dan terdjoeal oleh: Firma Sun Boen, Batavia.
Jumlah halaman adalah 143.
Adapun isi buku adalah sebagai berikut:
No.1 Pleidooinja Mr. Sartono dalem persdelictnja directeur "Keng Po" atas toedodehan mengasoet (Depan Landraad Betawi).
No.2 Pleidooinja hoofredacteur "Kiao Pau" dalam klachtdelictnja pada burgermeester Palembang (Depan landraad Palembang).
No.3.Pleidooinja Tan Boen Kim dalem papreksahan perkara membikin maloe satoe ambtenaar besar (Depan landraad Palembang).
No.4 Pleidooinya hoofredacteur "Benih Timoer" atas toedoehan mengganggoe prikeamanan. (Depan landraad Medan).
No.5
Pleidooinja Mr. Copes van Hasselt jang belakan nona C atas toedoehan
menadah soerat-soerat berharga. (Depan Raad van Justitie Batavia).
No.6.
Pleidooinja Mr. Burghardt jang belaken clientnja atas toedoehan
membikin palsoe etiket jang digedeponeerd. (Depan landraad Soerabaja).
No.7. Pleidooinja Mr. de Neef jang belaken persakitan atas toedoehan meniroe merk dagang. (Depan landraad Betawi).
No.8.
Pleidooinja Mr. Kan Kiam Ek jang belaken persakitan kerna tertoedoeh
soeroe lakoeken pemboenoehan. (Depan landraad Meester Cornelis).
No.9. Pleidooinja toean Rochjani jang belaken persakitan dalam perkara boenoe. (Depan landraad Betawi).
No.10. Pleidooinja Mr. Hoorweg jang belaken clientnja dalem perkara djiwa. (Depan Raad van Justitie Batavia).
No.11.
Pleidooinja Mr. Brouwer dalam spreekdelictnja pemimpin S.K.B. atas
toedoehan boeat andjoeri pemogokan. (Depan landraad Padang).
No.12. Pleidooinja toean Tjokro Aminoto jang belaken persaktian atas toedoehan merampok. (Depan landraad Meester Cornelis).
No.13. Pleidooinja Mr. Petrus Casparus Kolff jang belaken persakitan dalem perkara perampokan besar (Depan landraad Grisse).
No.14.
Pleidooinja Mr. Rozenberg jang belaken persakitan atas toedoehan
bercomplot dalem perkara pelemparan bom. (Depan landraad Semarang).
No.15. Pleidooinja Mr. van de Wilde jang belaken persakitan atas toedoehan menggelapken barang-barang. (Depan landraad Betawi).
Setelah
membaca buku tersebut, saya mengetahui bahwa ternyata orang Tionghoa
juga melawan diskriminasi yang dilakukan terhadap mereka oleh penjajah.
Kasus pertama adalah tuduhan terhadap Hauw Tek Kong, direktur Keng Po,
yang dibela oleh Mr. Sartono. Hauw Tek Kong dituduh melontarkan artikel
hasutan melawan orang-orang Belanda:
"Toean Hauw ditoentoet atas
toedoehan mengasoet dengen soerat tertjitak di kalangan oemoem boeat
mendjalanken kadjahatan aniaja, jang ditetepken dan bisa terhoekoem
dengan kakoeatannja fatsal 351 dari Wetboek van Strafrecht-djoega telah
kasi atawa boeka perasahan orang banjak aken terbitken kabentjian dan
menghina pada Blanda atawa sagolongan rahajat Blanda." (halaman 14).
Mr.
Sartono menyatakan pembelaannya bahwa itu bukanlah suatu hasutan
langsung, karena menurut hukum bahwa hasutan itu harus dilakukan secara
langsung (asoetan jang direct baroe bisa dihoekoem-halaman 16). Beliau
mempertanyakan:
"Apa toelisannja toean Hauw Tek Kong dalem itoe
satoe serie jang termoeat di Keng Po, bisa dinamaken direct mengasoet?" -
halaman 16.
Dalam pembelaannya Mr. Sartono menyebutkan bahwa
tulisan Hauw Tek Kong: "Ka ini djoeroesan persatoean, orang Tionghoa
haroes menoedjoe, baroe laen bangsa tida brani berboet sasoeka-soeka dan
itoe oetjapan "hij is maar een Chinees" tida' aken kaloear lagi dari
bibirnja Blanda; dan itoe tempo boekan ratoesan, hanja riboean orang
Tionghoa maski zonder diminta, nanti serahken dirinja sabagi samseng,
boekan boeat bales satoe kemplang dengan satoe kemplangan, hanja dengan
satoe tikeman piso jang 25 c.m. pandjangnja dan beroedjoeng sanget
tadjem." halaman 16-17.
Kalimat di atas tidak dapat dianggap
menghasut, demikian menurut Mr. Sartono, karena tujuannya adalah
mempersatukan bangsa Tionghoa. Oleh karenanya membaca kutipan di atas
kita mengetahui bahwa orang Belanda dahulu sering pula merendahkan
bangsa Tionghoa. Ungkapan "hij is maar een Chinees" yang berarti "Ia
hanya seorang Tionghoa," merupakan wujud sikap merendahkan orang Belanda
terhadap orang Tionghoa.
Berkat pembelaannya tersebut, Hauw Tek
Kong yang ketika itu juga sedang menderita sakit dapat dibebaskan dari
hukuman penjara dan hanya dijatuhi hukuman sejumlah kecil denda saja.
Mengenai Mr. Sartono terdapat keterangan sebagai berikut:
"Mr
Sartono ada satoe advocaat en procureur di Batavia jang terkenal dan
banjak disoeka oleh sagala orang, teroetama dalem kalangan bangsa
Timoer."
Beliau juga merupakan seorang tokoh dan Bapak bangsa
serta merupakan pejuang kemerdekaan. Berikut ini adalah sedikit riwayat
Beliau pada wikipedia:
Hauw Tek Kong sendiri meninggal pada tanggal 8 April 1928 dalam usia lima puluh tahun:
"Dengen
meninggalnja itoe, dalem kalangan journalistiek Tionghoa-Melajoe djadi
kailangan satoe journalist toea jang berkalam tadjem, dimana ampir
doeapoeloe taon namanja ada terkenal, dengen mengadepi banjak moesoe,
tapi djoega tida koerang menarik symphathienja orang, aken mendjadi
sobat." (halaman 22).
Kasus berikutnya juga berkaitan dengan diskriminasi terhadap orang Tionghoa. Ketika itu redaktur utama Kiao Pao telah menulis:
"toean
le Cocq D'Armandville, burgermeester (walikota-penulis) di ini kota,
telah goenaken doea oekoeran boeat mengoekoer dan doea roepa timbangan
boeat menimbang," jang dianggap menghina atawa mendjeleki nama baeknja
di tempat oemoem."
Latar belakang tulisan tersebut adalah pajak jalanan yang hanya dikenakan pada penduduk Tionghoa dan kalangan bumiputera saja:
"Tapi
itoe perkatahan "menggoenaken doea oekoeran boeat mengoekoer", saja
bisa oendjoek dengen boekti-boekti, jaitoe: padjek djembatan atawa
belasting djalanan jang oleh gemeente tjoema dikenaken sadja pada
pendoedoek Tionghoa dan Boemipoetra, tapi TIDA DEMIKIAN pada
bangsa-bangsa Europa-Boekantah djadi terlebi adil kaloe itoe padjek
dikenakan djoega pada semoea pendoedoek dalem ini gemeente, dengan tida
oesah memandang warnanja koelit atawa kebangsahan?, kerna orang jang
djalan di djalanan-djalanan oemoem dengan meliwati djembatan-djembatan
toch boekan tjoema bangsa Tionghoa dan Boemipoetra sadja, hanja tida
koerang djoega orang-orang koelit poeti." (halaman 25).
Berdasarkan kasus kedua pun kita mengetahui adanya diskriminasi yang dilakukan oleh penjajah.
Buku kuno yang bagus ini patut dibaca oleh para pengacara secara khusus maupun penggemar sejarah secara umum.
Jika berminat foto kopi silakan hubungi ivan_taniputera@yahoo.com