Satu Lagi Contoh Sastra Melayu Tionghua: "Setangan Berloemoer Darah" atawa "Hikajat Tan Hian Beng"
Ivan Taniputera
26 Juli 2012
Saya
baru mendapatkan buku lama yang merupakan cetakan kedua tahun 1928
berjudul "Setangan Berloemoer Darah" atawa "Hikajat Tan Hian beng."
Buku ini merupakan karya Tjoe Hong Bok dan nampaknya sangat sesuai bagi
yang ingin mempelajari mengenai sastra dan bahasa Melayu Tionghua.
Isinya mengisahkan mengenai pembunuhan seorang wanita Tionghua dan
dituturkan dengan gaya seperti cerita detektif.
Berikut ini akan dikutipkan bagian pembukannya yang bertajuk "Soeara Treak di Waktoe Malam" (halaman 4):
"Tanggal
2 Maart 1808 pada waktoe malem soeara goentoer beroentoen-roentoen
goemoeroeh di atas kota Cheribon, jang gelap, sehingga bikn seram
boeloe badan orang. Oedjan amat lebat baroe sadja brenti; sekarang itoe
goemoeroehnja goentoer ada dibarengin oleh angin besar jang menioep
dengan bersoeit pada poehoen-poehoen besar dan tinggi, merontoken
titik-titik aer oedjan dari marika poenja tjabang-tjabang ka tanah, jang
soeda djadi letjak belaka; kamoedian angin bersoeit poela dan berderoe
melintasi roemah-roemah.
Di kedjaoehan kilat-kilat bergoemirlapan
dari mendoeng jang sedeng menjingkir lebi djaoeh. Awan djadi makin tipis
dan remboelan memantjarken sinarnja dengan menemboesi mega jang djernih
ka moeka boemi, sabentar katoetoep oleh mega jang tebel, sabentar lagi
sampe lama mentjorong dengan laloeasa, sehingga sekarang orang bisa
membedakan keadaan di masing-masing tempat.
Itoe waktoe soeda
djaoeh malem; di djalanan-djalanan ada sepi sekali, melingken terkadang
masi ada satoe doea orang, jang djalan dengen tjepet akan poelang ka
roemah; sabenar-bentar toekang-toekang djaga jang bergadang, denger
soeara kotekan dengan marika poenja tong-tong.
Kesepian sebagi
jang ditoetoerken diatas ini, tida aken dapet bandingan soenjinja
kampoeng Tjampang, jang pernahnja ada sedikit berdjaoehan dari kampoeng
Tionghoa. Pendoedoek kampoeng Tjampang ada bertjampoeran antara
orang-orang Tionghua dan Djawa, tapi sebagian besar ada bangsa jang
terseboet blakangan. Keadaan di kampoeng jang dimaksoedken ini
sasoenggoehnja djoega ada amat soenji, sehingga boleh bikin bergidig
pada orang jang misti djalan melaloei djalanan disitoe pada waktoe
malem, terlebih poela dalem prikeadaan di malem terseboet; djalanan jang
betjek ada menikoeng doea kali dan menandjak ka satoe straat ketjil,
jang di sepandjang kadoea tepinya ada banjak poehoen-poehoen, jang besar
dan lebat daonnja......"
Berdasarkan kutipan di atas,
kita dapat mengetahui perbedaan kosa kata antara bahasa Melayu Tionghua
dengan bahasa Indonesia. Sebagai contoh:
Maart - Maret
Malem - malam
goemoeroeh - gemuruh
treak - teriak
straat - jalan
misti - harus
blakangan - belakangan
daon - daun
Nampak
pengaruh-pengaruh bahasa Belanda, seperti dalam nama bulan (Maart) dan
straat (jalan). Akhiran "kan" pada karya sastra di atas menjadi "ken."
Kita juga dapat memperoleh beberapa informasi lain berdasarkan kutipan di atas:
1.Pada
tanggal 2 Maret 1808 terjadi hujan, yang menandakan bahwa di masa itu
bulan Maret masih musim penghujan. Iklim dengan demikian masih belum
berbeda jauh dengan sekarang. Hujan lebat terkadang juga masih turun di
Pulau Jawa pada bulan Maret.
2.Kemudian saya membuka almanak tahun
1808 dan mendapati bahwa tanggal 2 Maret 1808 itu adalah adalah tanggal
6 bulan 2 penanggalan lunar, sehingga bulan tentunya masih berupa bulan
separuh. Sebagai pembanding saya mencoba membuat diagram perbintangan
pada tanggal tersebut.
Berdasarkan
diagram perbintangan di atas, bulan masih berjarak kurang dari separuh
oposisinya (180 derajat) dari matahari, dengan demikian tanggal 6
penanggalan Lunar itu sudah masuk akal. Menariknya pada diagram di atas
terdapat square antara moon dengan Venus. Venus dalam astrologi
melambangkan wanita, sehingga nampaknya cocok dengan peristiwa
pembunuhan di atas, karena korbannya adalah wanita.
3.Pada
abad ke-19 penduduk Tionghua dan Jawa berdasarkan kutipan di atas sudah
tinggal berbaur di satu kampung (dalam hal ini Kampung Campang),
walaupun masih banyak penduduk yang berasal dari suku Jawa. Ini
menandakan bahwa pada masa itu, aturan tinggal di daerah tertentu bagi
suku Tionghua sudah tidak begitu ketat lagi.
Bagi yang berminat kopi buku ini silakan hubungi ivan_taniputera@yahoo.com