FESTIVAL GADIS LENGGAK-LENGGOK TINGKAT DUNIA
Artikel Dharma ke-35, September 2013
Ivan Taniputera
6 September 2013
Alkisah
di sebuah negeri antah berantah hendak diadakan Festival Gadis Lenggak
Lenggok Tingkat Dunia 2013. Meskipun demikian, acara ini menuai
kontroversi karena adanya pihak yang pro maupun kontra. Salah satu
organisasi kemasyarakatan di negeri antah berantah dengan gigih
menentangnya, karena dianggap bertentangan dengan keyakinan mereka.
Mereka bahkan mengancam siap menggunakan kekerasan dan kekuatan fisik
demi menggagalkan festival internasional tersebut. Pernyataan ini
memancing reaksi kelompok lain yang kurang menyukai organisasi
kemasyarakatan tersebut. Ada yang memaki-maki saja dan bahkan ada pula
yang siap bertempur melawan mereka hingga titik darah penghabisan. Di
sini kita menyaksikan bahwa negeri antah berantah tersebut terancam
disintegrasi atau perpecahan yang akut. Sementara itu, para musuh negeri
antah berantah diam-diam menyaksikannya dengan penuh suka cita.
Bagaimanakah
kita menelaah hal ini dari sisi Dharma? Apakah kita sebagai umat Buddha
seharusnya pro atau kontra terhadap penyelenggaraan Festival Gadis
Lenggak Lenggok Tingkat Dunia? Saya akan mengemukakan berbagai pandangan
saya. Pertama-tama, kita hendaknya mengingat bahwa baik pro maupun
kontra itu adalah dua pandangan ekstrim. Dalam tataran kebenaran
pamungkas, maka tiada lagi keserba-menduaan antara "pro" dan "kontra."
Semuanya adalah pandangan ekstrim hasil manipulasi pikiran. Dengan
demikian, terhadap festival tersebut kita hendaknya mengembangkan suatu
jalan tengah dan mencoba mengamati segala sesuatu sebagaimana adanya,
tanpa memendam kebencian atau kesukaan meluap-luap terhadap festival
semacam itu.
Kalau kita telaah lebih jauh lagi, Hyang Buddha mengajarkan bahwa hawa nafsu keinginan rendah (tanha) adalah sumber ketidak-bahagiaan di muka bumi ini. Tujuan pamungkas Agama Buddha adalah membangkitkan kebahagiaan sejati terbebas dari segenap penderitaan. Salah satu obyek hawa nafsu keinginan adalah pesona ragawi atau sensualitas (kama). Pikiran senantiasa mencari sosok-sosok yang indah dan menggiurkan. Oleh karenanya, lenggak-lenggok tubuh molek di atas panggung adalah salah satu upaya mengumbar pesona ragawi (kama), selaku salah satu obyek hawa nafsu keinginan. Mengingat bahwa tujuan pamungkas Agama Buddha adalah menransformasikan hawa nafsu keinginan rendah (tanha) menjadi kebahagiaan sejati, maka tentu saja Festival Gadis Lenggak Lenggok Tingkat Internasional sangat tidak sejalan dengan Agama Buddha. Namun kita tidak perlu membencinya. Kita cukup menjauh saja dan tidak perlu membenci atau berupaya menggagalkannya dengan kekerasan. Kebencian dan kekerasaan hanya akan menghasilkan gelombang kebencian beserta kekerasan baru.
Kalau kita telaah lebih jauh lagi, Hyang Buddha mengajarkan bahwa hawa nafsu keinginan rendah (tanha) adalah sumber ketidak-bahagiaan di muka bumi ini. Tujuan pamungkas Agama Buddha adalah membangkitkan kebahagiaan sejati terbebas dari segenap penderitaan. Salah satu obyek hawa nafsu keinginan adalah pesona ragawi atau sensualitas (kama). Pikiran senantiasa mencari sosok-sosok yang indah dan menggiurkan. Oleh karenanya, lenggak-lenggok tubuh molek di atas panggung adalah salah satu upaya mengumbar pesona ragawi (kama), selaku salah satu obyek hawa nafsu keinginan. Mengingat bahwa tujuan pamungkas Agama Buddha adalah menransformasikan hawa nafsu keinginan rendah (tanha) menjadi kebahagiaan sejati, maka tentu saja Festival Gadis Lenggak Lenggok Tingkat Internasional sangat tidak sejalan dengan Agama Buddha. Namun kita tidak perlu membencinya. Kita cukup menjauh saja dan tidak perlu membenci atau berupaya menggagalkannya dengan kekerasan. Kebencian dan kekerasaan hanya akan menghasilkan gelombang kebencian beserta kekerasan baru.
Selanjutnya,
festival semacam itu mengandung kesan adanya "perlombaan." Kendati ada
yang mengatakan bahwa festival tersebut tidak hanya menonjolkan pesona
ragawi saja, melainkan juga intelektualitas beserta peri kemanusiaan.
Meskipun demikian, peri kemanusiaan bukanlah sesuatu yang menurut saya
pantas dilombakan. Peri kemanusiaan adalah kewajiban setiap makhluk yang
merasa dirinya manusia dan tidak perlu dilombakan. Peri kemanusiaan
harus berasal dari hati nurani manusia itu sendiri, bukan sesuatu yang
dimanipulasi. Jadi, kita tidak perlu berlomba menjadi suatu "sosok
paling berperi kemanusiaan di dunia." Menurut filsafat Timur, orang yang
paling mulia bukanlah yang sanggup menaklukkan gunung tertinggi,
melainkan menaklukkan ke-aku-annya sendiri. Ini adalah sesuatu yang luar
biasa sulit. Menaklukkan gunung tertinggi masih lebih mudah ketimbang
menaklukkan sang "aku."
Demikianlah, menurut hemat
saya, kita sebagai umat Buddha tidak perlu menyukai atau membenci
festival tersebut. Namun cukup bagi kita menjauhinya saja. Semoga
pihak-pihak yang bertikai dapat membebaskan diri dari kebencian dan
permusuhan. Semoga mereka menyadari bahwa kita sebagai suatu bangsa
dapat diumpamakan sebagai satu tubuh. Jika tangan kanan mencubit tangan
kiri, maka rasa tidak nyaman akan melanda seluruh tubuh.
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.