MENGAPA BUNG KARNO MEMERINTAHKAN MENGGANYANG MALAYSIA? SUATU TELAAH [YANG BERUSAHA] OBYEKTIF
Ivan Taniputera
12 Februari 2014
Semenjak
beberapa waktu lalu, terjadi kontroversi mengenai penamaan salah satu
kapal perang kita dengan Usman Harun. Pemerintah Singapura mengajukan
protes terhadap hal itu sehingga menimbulkan riak dalam hubungan antara
kedua negara. Oleh karenanya, tiba-tiba timbul keinginan dalam benang
saya untuk menelaah permasalahan tersebut pada akarnya, yakni perintah
presiden kita saat itu Bung Karno dalam mengganyang Malaysia. Saya akan
mencoba menggali hal ini dari sumber-sumber yang tersedia pada saya atau
yang dapat saya jumpai. Tentu saja tulisan ini bukan dimaksudkan
sebagai tulisan sejarah yang serius, namun lebih merupakan catatan untuk
diri saya sendiri.
Pertama-tama, saya mencoba
menelaahnya dari sumber yang tersedia pada saya, yakni buku kumpulan
pidato-pidato Bung Karno dari tahun 45-65. Saya mencoba menggali
pemikiran Bung Karno yang menjadi dasar konfrontasi terhadap Malaysia.
Pada pidato Beliau 17 Agustus 1962 bertajuk "Tahun Kemenangan", nampak
jelas perlawanan Bung Karno terhadap apa yang menurut Beliau merupakan
imperialisme, sebagaimana dituangkan dalam permasalahan Irian Barat:
"Pun
kita tidak membebaskan Irian Barat untuk menambah djumlah penduduk!
Djumlah penduduk dalam daerah kekuasaan Republik sekarang ini sudah
hampir 100.000.000 orang, dan apa arti tambahan 750.000 putera Irian
Barat kepada djumlah 100.000.000 itu?
Pertimbangan
untuk mentjari keuntungan ekonomi? Atau tambahan kekajaan alam? Itupun
tidak! Daerah jang dalam kekuasaan Republik sudah mempunjai kekajaan
alam jang berlimpah-limpah, baik jang sudap dieksplorir dan
dieksploitir, maupun jang belum dieksplorir dan dieksploitir, sehingga
semua imperialis ngiler ketes-ketes melihat kekajaan alam kita itu. Ada
imperialis jang mengatakan bahwa tidak adil 90.000.000 manusia diberi
kekajaan alam sebanjak itu...." (1)
Selanjutnya Bung
Karno menegaskan pula perjuangan membebaskan Irian Barat merupakan suatu
"Kewadjiban Suci" yang merupakan bagian "Djiwa Indonesia." Berdasarkan
kutipan di atas, maka salah satu pemikiran utama yang melandasi seruan
Bung Karno dalam mengganyang Malaysia adalah kebencian Beliau terhadap
imperialisme.
Hal ini ditegaskan kembali oleh Bung
Karno pada pidato tanggal 17 Agustus 1963 bertajuk "Genta Suara
Revolusi Indonesia." Bung Karno menegaskan bahwa:
"Bahkan
saja telah njatakan baru-baru ini didepan SESKOAD, bahwa revolusi
berarti konfrontasi terus-menerus. Ini berarti bagi Angkatan Bersendjata
kita dengan seluruh rakjat konfrontasi terus terhadap
imperialisme/kolonialisme dan terhadap kontra-revolusi, dengan
kekompakan dan kesiagaan jang teguh baik fisik maupun mental." (2)
Perang
Dingin merupakan salah satu faktor yang tidak boleh diabaikan dalam
memberikan sumbangsih terhadap konfrontasi dengan Malaysia, khususnya
dalam hal pemberontakan PRRI dan Permesta. Para pemberontak beroperasi
dari tempat-tempat di sekitar Indonesia, seperti Malaya, Singapura,
Filipina, Taiwan, dan Korea Selatan. Bung Karno menyatakan bahwa
pangkalan-pangkalan asing yang ada di kawasan tersebut dipergunakan
sebagai landasan operasi bagi kegiatan subversi terhadap Indonesia.
Dengan
demikian, terdapat kekhawatiran bahwa kelak Federasi Malaysia akan
dijadikan sebagai pangkalan militer asing yang antara lain ditujukan
kepada Indonesia dan menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara (3).
Itulah
sebabnya, pembentukan federasi Malaysia, menurut Bung Karno adalah
sesuatu yang patut dicurigai, apa lagi bila pembentukannya merupakan
"projek asing," yakni bukan menurut kehendak penduduk negara tersebut.
Indonesia yang merupakan tetangga bagi negara baru akan dibentuk
tersebut menurut Bung Karno tidak dipedulikan. Indonesia tidak mau
menjadi penonton saja atas apa yang terjadi di sekitarnya, apalagi hal
tersebut dianggap Bung Karno sebagai ancaman terhadap bangsa dan negara
Indonesia. Kendati demikian pada pidatonya Bung Karno menegaskan bahwa
Indonesia memilih jalan damai.
Kini kita akan menelaah
pandangan Bung Karno bahwa pembentukan Federasi Malaysia merupakan
suatu proyek asing. Di kawasan negara yang sekarang menjadi Malaysia
sebelumnya terdapat beberapa kerajaan, seperti Pahang, Trengganu, Negeri
Sembilan, Perak, Kedah, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pada
saat itu belum ada suatu negara Malaysia yang bersatu. Setelah
berakhirnya Perang Dunia II, British Military Administration
(Administrasi Militer Inggris), yang merupakan wujud kembalinya
kekuasaan Inggris setelah masa penjajahan Jepang, merasa perlu
menerapkan kebijakan jangka panjang bagi jajahannya tersebut. Sebelumnya
semasa Perang Dunia II, Colonial Office berniat menciptakan negara
kesatuan, dimana semua etnis menjadi warga negaranya (4).
Demi
mewujudkan niatnya ini, pihak Inggris merasa perlu mengadakan
pendekatan dengan para sultan-sultan Melayu. Mereka akan dibujuk
melepaskan sebagian kekuasaannya, namun sebagai kompensasinya mereka
dapat memperoleh pengaruh lebih luas melebihi wilayah kesultanannya
sendiri di negara kesatuan baru tersebut. Mengingat perkembangan politik
regional masa itu, seperti di Indonesia, India, dan Vietnam, yang
cenderung anti kolonialisme, Inggris merasa bahwa rencana pembentukan
negara kesatuan itu perlu diwujudkan secepat mungkin. Suatu
pemberintahan pusat yang kuat di Malaya perlu didirikan dan rakyat di
sana akan dibujuk agar mencurahkan kesetiaan padanya.
Pada
bulan Oktober 1945, Sir Harold MacMichael diutus menemui para sultan
dan meminta mereka menanda-tangani perjanjian yang telah dipersiapkan
sebelumnya itu. Meskipun demikian, di kalangan rakyat terjadi
penentangan yang luar biasa terhadap gagasan pembentukan negara kesatuan
itu (5). Demikian pula rakyat di Kalimantan Utara juga menentang
gagasan ini. Barangkali hal ini yang menjadi alasan bagi Bung Karno
dalam menuduh bahwa pembentukan Federasi Malaysia itu bertentangan
dengan kehendak rakyatnya sendiri, karena memang itu awalnya merupakan
gagasan Inggris.
Upaya damai sebenarnya telah
ditempuh. antara lain sewaktu berlangsungnya konferensi tingkat
wakil-wakil menteri yang diadakan di Manila antara tanggal 9-17 April
1963. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan mengenai pembentukan federasi
Malaysia dan pembentukan federasi longgar antara ketiga negara tersebut
sehingga dapat tercapai kerja sama lebih baik (6). Bahkan sewaktu Bung
Karno berada di Tokyo telah diadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri
Malaya Tengku Abdul Rachman yang berlangsung pada tanggal 31 Mei hingga 1
Juni 1963. Pada tanggal 1 hingga 11 Juni 1963 diadakan pula konferensi
antara para menteri luar negeri di Manila, yang diikuti oleh Indonesia,
Malaysia, dan Filipina (7). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sampai tahapan ini ketegangan antara Indonesia dan Malaysia mulai
berkurang.
Meskipun demikian, hubungan
menjadi memburuk sewaktu Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman pada
tanggal 9 Juli 1963 menanda-tangani dokumen pembentukan Federasi
Malaysia yang sedianya akan diadakan tanggal 31 Agustus 1963. Hal ini
dianggap oleh Pemerintah Indonesia sebagai pelanggaran bagi hasil
pertemuan antara tiga menteri luar negeri di atas. Pada tanggal 31
Juli-5 Agustus 1963 berlangsung pertemuan kepala-kepala pemerintahan di
Manila yang menyepakati bahwa mereka akan meminta Sekretaris Jenderal
PBB guna mengetahui kehendak rakyat di daerah-daerah yang hendak
dimasukkan ke dalam Federasi Malaysia. Pada hakikatnya disepakati bahwa
Indonesia dan Filipina akan menyetujui pembentukan Federasi Malaysia,
apabila kehendak rakyat di Kalimantan Utara diselidiki oleh suatu pihak
yang tidak memihak (dalam hal ini Sekretaris Jenderal PBB). Namun pada
kenyataannya pemerintah kolonial Inggris justru menghambat masuknya
peninjau-peninjau yang berasal dari Indonesia dan Filipina (8).
Berbeda
dengan kesepakatan sebelumnya, meskipun proklamasi berdirinya Federasi
Malaysia diundur dari rencana semula pada tanggal 31 Agustus 1963
menjadi 16 September 1963, tetap saja proklamasi dilakukan sebelum misi
PBB menyerahkan laporannya. Dengan kata lain, Malaysia telah
diproklamasikan sebelum diketahui bagaimana aspirasi rakyat Kalimantan
Utara. Pemerintah Indonesia menganggap bahwa hal ini merupakan pelecehan
terhadap PBB dan juga hasil kesepakatan di Manila, sehingga dengan
demikian merupakan penghinaan pula terhadap Indonesia. Sebagai wujud
protes terhadap hal ini, pemerintah RI memutuskan hubungan diplomatik
dengan Malaysia pada tanggal 17 September 1963. Selanjutnya pada akhir
tahun 1963, pemerintah RI menyatakan dukungannya bagi perjuangan rakyat
Kalimantan Utara dalam melawan neokolonialisme Inggris.
Demikianlah secara ringkas sejarah timbulnya konfrontasi dengan Malaysia. Kita dapat meringkaskan beberapa hal sebagai berikut.
1.Adanya
Perang Dingin dan kedekatan RI ketika itu dengan negara Blok Timur,
menjadikan timbulnya jarak antara RI dengan negara-negara blok Barat.
2.Pemberontakan PRRI dan Permesta yang disokong oleh asing menjadikan kawasan Malaysia dan Singapura sebagai pangkalannya.
3.Rencana pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris yang awalnya juga bermasalah, yakni belum didukung oleh rakyat setempat.
4.Meskipun
awalnya terdapat perkembangan positif, namun nampak adanya keengganan
Inggris (selaku salah satu negara blok Barat) dalam melibatkan
Indonesia. Ini yang memicu kemarahan Indonesia.
5.Sikap Bung Karno yang dengan tegas menentang kolonialisme dan imperialisme.
Silakan bagi yang ingin memberikan koreksi atau tambahan informasi.
CATATAN KAKI
(1)Dari Proklamasi Sampai Takari, halaman 539-540.
(2)Dari Proklamasi Sampai Takari, halaman 598.
(3)Lihat Sejarah Nasional Indonesia VI, halaman 354.
(3)Lihat A Short History of Malaysia, halaman 186.
(4)Lihat A Short History of Malaysia, halaman 187.
(6)Lihat Sejarah Nasional Indonesia VI, halaman 354.
(7)Lihat Sejarah Nasional Indonesia VI, halaman 355.
(8)Lihat Sejarah Nasional Indonesia VI, halaman 357.
DAFTAR PUSTAKA
--------------------------. Dari Proklamasi Sampai Takari, B.P. Prapantja, Djakarta.
Hooker, Virginia Matheson. A Short History of Malaysia: Linking East and West, Allen & Unwin, 2003.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia VI, PN Balai Pustaka, 1984.