Kamis, 07 November 2013

PSIKOLOGI KORUPTOR

PSIKOLOGI KORUPTOR

Ivan Taniputera
7 November 2013



Banyak orang tentunya membenci tindak pidana korupsi, terkecuali barangkali para pelakunya sendiri. Meskipun demikian, korupsi terus saja berlangsung. Menurut saya korupsi terus berlangsung karena kita tidak pernah menelaah hingga ke akar penyebabnya. Apakah akar seseorang melakukan tindak pidana korupsi? Kita perlu melakukan studi terhadap psikologi seorang koruptor. Mungkin juga kita perlu menciptakan suatu cabang psikologi baru yang disebut "psikologi koruptor."

Masing-masing koruptor perlu ditelaah secara psikologis mengapa ia melakukan kejahatan tersebut. Hal ini perlu ditelaah hingga ke akar-akarnya. Berikut ini adalah salah satu penyebab mengapa korupsi terus marak, yakni hasil besar risiko "kecil." Kecil di sini dalam artian risikonya adalah sangat tidak berarti atau dianggap tak berarti dibandingkan dengan hasil diperoleh. Oleh karenanya, jika berhadapan dengan hal semacam ini, seseorang pasti akan tergoda mencobanya.

Berikut ini adalah empat kemungkinannya:

1.Pendapatan besar risiko besar: Orang masih mungkin melakukannya, walaupun dengan dipikir-pikir terlebih dahulu.
2.Pendapatan kecil risiko besar: Orang pasti tak akan melakukannya.
3.Pendapatan kecil risiko kecil: Orang mungkin melakukannya jika memang dirasa perlu dan menginginkan. Contoh: permainan mengambil boneka di arena permainan atau judi dengan taruhan kecil.
4.Pendapatan besar risiko kecil: Orang pasti akan melakukannya. Contohnya korupsi

Oleh karenanya, yang mungkin bagi kita adalah mengubah poin ke-4 menjadi poin-1. Mengapa? Karena kita tidak berkuasa mengubah besar-kecilnya pendapatan yang diperoleh oleh para koruptor. Mereka sendirilah yang menentukan berapa pendapatan dari korupsi. Yang mungkin dilakukan adalah memperbesar risikonya. Artinya hukuman atau risiko yang akan diterima koruptor harus diperberat. Itu pun masih belum menjamin seseorang tidak melakukan tindak pidana korupsi. Di China hukuman bagi koruptor adalah hukuman mati. Tetapi korupsi masih saja terjadi. Orang masih mungkin melakukan sesuatu yang berisiko besar asalkan hasilnya juga besar. Namun ia pasti sebelumnya akan berpikir berkali-kali.

Selanjutnya, faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana korupsi? Ini juga perlu ditelaah. Apakah karena tekanan keluarga, meniru sesama rekan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, karena melihat ada rekannya membeli barang-barang mewah, maka ia juga terdorong membelinya. Apa daya gaji tidak cukup. Akibatnya ia tergerak mencari tambahan penghasilan dengan cara tidak halal. Di sini kuncinya adalah sifat serakah manusia. Lalu apakah yang dapat kita lakukan? Ini perlu dipikirkan bersama.

Sebenarnya banyak hal menarik yang dapat dipelajari terkait korupsi. Para koruptor itu sendiri seharusnya menjadi obyek penelitian yang menarik. Namun masalahnya mereka itu berasal dari kelas ekonomi menengah atas, sehingga seolah-olah suatu "patung porselin amat berharga yang tak boleh disentuh," beda dengan katakanlah seorang maling ayam. Menjadikan mereka sebagai obyek penelitian nampaknya agak mustahil.

Demikianlah sedikit gagasan saya mengenai "psikologi koruptor." Jika Anda tertarik mari kita diskusikan lebih lanjut. Mari kita berdiskusi secara ilmiah.