BELAJAR DARI SEONGGOK LEMPUNG
Artikel Dharma ke-40, Januari 2014
Ivan Taniputera.
24 Januari 2014
Banyak
umat Buddha masih melekat pada "sosok" dalam mempelajari Dharma. Dalam
artian hanya mau mendengarkan Dharma dari "sosok-sosok" yang mereka
kagumi. "Sosok-sosok" yang pandai berbicara dan sanggup menyentuh
sanubari mereka. Jika ada "sosok" yang tidak mereka sukai namun
sama-sama mengajarkan Dharma, kemungkinan besar mereka akan menolaknya.
Padahal, Dharma itu tidak ada kaitannya dengan sebuah "sosok." Jika
masih melekat pada "sosok," maka itu masih bukan merupakan Dharma yang
"sejati."
Sebagai contoh, dapatkah kita belajar pada seonggok
lempung? Seonggok lempung adalah sesuatu yang kerap kita pandang sebagai
kotor dan menjijikkan. Sesuatu yang ingin kita jauhi, berbeda dengan
"sosok-sosok" agung dengan banyak pengikut yang duduk di atas singgasana
Dharma sebagaimana sumber kekaguman kita. Padahal seonggok lempung
mengajarkan banyak kebenaran hakiki pada kita. Yang pertama adalah
mengenai ketidak-kekalan (anicca, anitya). Seonggok lempung itu saat ini
ada, namun entah beberapa saat lagi. Mungkin ada kendaraan yang
melindasnya dan bentuknya sudah berubah. Mungkin pula hujan turun dan
lempung itu menjadi larut, sehingga tidak meninggalkan jejak
keberadaannya lagi. Lempung adalah sesuatu yang mudah sekali berubah.
Demikianlah hakikat ketidak-kekalan.
Pelajaran kedua, mari kita
renungkan, seonggok lempung mengajarkan pada kita kebenaran tersebut,
tanpa tendensi atau niat tersembunyi apa pun. Kita tidak mengetahui
apakah "sosok" yang kita kagumi memendam niat atau tendensi tersembunyi
atau tidak dalam mengajarkan Dharma. Apakah ia mengajar Dharma secara
tulus atau tidak, kita tidak mengetahuinya. Namun seonggok lempung sudah
pasti tidak memendam tendensi apa pun. Seonggok lempung adalah seonggok
lempung. Tidak lebih dan tidak kurang.
Marilah kita menghaturkan hormat pada seonggok lempung yang telah mengajarkan kita kebenaran berharga.
Dalam
mendengarkan Dharma, perhatian kita janganlah terpaku pada "sosok"
melainkan pada Dharma yang diajarkannya. Kebenaran apakah yang
disampaikannya? Kita pelajari dan serap semuanya. Bahkan dari gemerisik
dedaunan dan orang awam yang menyelamatkan nyawa seekor anjing pun kita
dapat menimba kebenaran berharga. Termasuk dari ajaran-ajaran yang kita
"labeli" sebagai bukan-Dharma pun kita dapat memperoleh pengetahuan
sejati. Dharma atau kebenaran sejati itu sesungguhnya tiada terbatas,
oleh karenanya ia disebut anuttara atau melampaui segalanya.