Jumat, 21 November 2014

KISAH KENAIKAN HARGA BBM DI NEGERI ANTAH BERANTAH

KISAH KENAIKAN HARGA BBM DI NEGERI ANTAH BERANTAH

Ivan Taniputera
22 November 2014


Alkisah saya baru saja berwisata ke Negeri Antah Berantah.  Pemimpin Baru di Negeri Antah Berantah menaikkan harga BBM. Sewaktu sedang berada di sana, saya sempat menguping obrolan para warga mengenai hal tersebut saat sedang minum di sebuah warung kopi sederhana. Saya ingin saja bergabung dengan obrolan mereka, namun saya urungkan, karena saya murni ingin mendengarkan pandangan dan aspirasi mereka. Seorang pemuda berpenampilan sederhana, sebut saja A berkata, "Bagi saya dampak yang paling terasa adalah saya harus merogoh saku saya lebih dalam lagi. Kini saat harus mengisi kendaraan saya dengan BBM, saya harus membayar lebih mahal." Salah seorang pemuda lain dengan penampilan intelektual, sebut saja bernama B, menimpali, "Ya tentu saja itu semua kita tahu. Sayangnya gaji tidak langsung naik."

Seorang pria yang berusia setengah baya, sebut saja Pak C, menukas, "Masalah kenaikan BBM ini adalah masalah pelik semenjak dahulu. Saat aku masih muda, sudah beberapa kali terjadi kenaikan dan selalu saja terjadi antrian panjang beberapa saat sebelum BBM resmi dinaikkan. Ini adalah lagu lama yang terus menerus diputar."

B berkata kembali, "Mungkin topik  menarik pertama yang dapat kita bahas adalah alasan atau pembenaran kenaikan harga BBM tersebut sebagaimana dilontarkan Pemimpin Baru beserta para pengikutnya. Cara pembenaran pertama adalah mengatakan subsidi itu salah sasaran. Sementara ini  selalu dikatakan bahwa "kelas mampu" yang menikmatinya. Di sini, menurut saya, Pemimpin Baru dan juga Pemimpin-pemimpin Lama yang dahulu juga memutar terus lagu lama (meminjam istilah Bapak C), yakni memecah belah masyarakat menjadi dua kategori "semu" yaitu "kelas mampu" dan "kelas tidak mampu." 

Pemecah belahan ini dilakukan demi mencari pembenaran semata. Saya sebut "semu" karena tidak pernah jelas apa itu definisi kelas "mampu" dan "tidak mampu." Tidak ada perbedaan se-rigid atau sekokoh itu dalam masyarakat. Yang ada adalah suatu spektrum. Tidak ada pembagian dualitas yang nyata seperti hitam dan putih dengan batasan jelas terkait hal itu. Ini adalah permasalahan pertama dari pembenaran yang dilakukan oleh para Pemimpin."
Seorang wanita berusia sekitar 30-an yang dari tadi membolak balik halaman surat kabar, sebut saja Kakak D, tiba-tiba menukas, "Mungkin yang dimaksud dengan kelas mampu adalah mereka yang sanggup membeli atau mengendarai kendaraan bermotor?"

Bapak C menjawab, "Terhadap pandangan demikian, saya akan menjawabnya sebagai berikut. Kalaupun didefinisikan bahwa pemilik kendaraan bermotor sebagai mampu dan bukan pemilik kendaraan bermotor sebagai tidak mampu, maka pandangan itu pun juga mempunyai permasalahannya pula. Kita dapat dengan mudah melontarkan kritik padanya. Jika direnungkan maka kaum pemilik kendaraan bermotor (dalam hal ini didefinisikan sebagai kaum mampu) juga merupakan aspek penting bagi pergerakan ekonomi Negeri Antah Berantah ini. Mereka mungkin menyediakan lapangan pekerjaan dan lain sebagainya. Tentu saja, kita tidak mengecilkan atau merendahkan arti mereka yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Namun menurut pengamatan saya, harga kendaraan bermotor sudah sangat terjangkau. Hampir setiap orang sanggup memiliki kendaraan bermotor. Jadi karena kaum pemilik kendaraan bermotor juga berjasa terhadap Negeri Antah Berantah ini, maka mereka seharusnya juga berhak atas subsidi tersebut. Tidak ada alasan menyebut subsidi tersebut salah sasaran. Mengatakan subsidi itu salah sasaran tentunya merupakan "penghinaan" bagi mereka yang memiliki kendaraan bermotor tersebut. Karena dengan kendaraan bermotor tersebut mereka turut berperan serta menggerakkan roda perekonomian di Negara Antah Berantah. Saya tidak membela pihak mana pun. Namun kita letakkan masalah ini secara adil."


Kini giliran A sudah tidak sabar angkat bicara, "Tetapi, bukankah subsidi itu bisa dialihkan pada masyarakat "tidak mampu," yang taruhlah didefinisikan sebagai mereka dengan penghasilan sekian..sekian. Mungkin mereka yang penghasilannya pas-pasan. Uang sekolah anaknya sering menunggak. Untuk berobat tidak punya biaya. Mungkin bisa dipakai untuk membangun jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain. Bahkan katanya masyarakat "tidak mampu" (dengan definisi penghasilan dibawah sekian nominal tertentu) akan diberi bantuan langsung berupa uang."

B menjawab, "Benar. Itu adalah gagasan yang baik. Tidak ada yang salah dengan ide seperti itu. Bahkan kita boleh menyebutnya sesuatu yang mulia. Akan tetapi saya sudah pernah mendengar gagasan itu semenjak zaman Pemimpin-pemimpin Lama dahulu. Lagi-lagi ini merupakan lagu lama. Masalahnya BBM sudah dinaikkan berulang kali (artinya subsidi sudah dicabut atau dikurangi secara bertahap dari dulu) dan pada kenyataannya sampai sekarang pendidikan juga tetap mahal. Selain itu, saya tidak merasakan ada peningkatan yang signifikan di Negeri Antah Berantah yang kita cintai ini. Bahkan menurut saya pemberian bantuan langsung tidak mendidik. Yang terbaik adalah menciptakan lapangan pekerjaan atau menggerakkan roda perekonomian sebesar-besarnya (sesuatu yang sedikit banyak sudah dilakukan oleh kaum "mampu" di negeri ini)."

Seorang Ibu-ibu yang nampaknya pemilik warung kopi, sebut saja ibu D, tiba-tiba berbicara, "Mungkin akarnya masalah korupsi ya, sehingga pengalihan subsidi itu tidak menghasilkan sesuatu perubahan signifikan?"


Bapak C menjawab, "Ya memang kita mengetahui bahwa korupsi juga menjadi masalah utama yang tidak kunjung terselesaikan di Negeri Antah Berantah ini. Kalau demikian, lebih baik Para Pemimpin menyalahkan korupsi dan bukan mencari pembenaran dengan menciptakan "perpecahan semu" antara kaum "mampu" dan "tidak mampu." Padahal telah kita uraikan bahwa pembagian masyarakat yang rigid seperti itu tidak ada. Kalau pun mau diada-adakan (dengan definisi seperti di atas), maka bukan berarti mereka tidak berhak atas subsidi, karena mereka suka atau tidak suka telah memberikan sumbangsih menggerakkan roda perekonomian di Negeri Antah Berantah. Korupsi adalah masalah lain lagi. Kalau korupsi tidak dapat atau gagal diberantas, maka jangan mencari kambing hitam lain di Negeri Antah Berantah ini."

Seorang pemuda di pojok ruangan, sebut saja bernama E, yang dari tadi diam saja mulai bicara, "Bahkan di antara sesama pemilik kendaraan bermotor dihembuskan pembedaan antara roda dua dan roda empat. Bagaimana pendapat kawan-kawan di sini?"

A menjawab, "Hmmm jadi yang naik roda dua (karena konon harganya lebih rendah dibanding roda empat) dianggap tidak "mampu," sedangkan yang naik roda empat (karena konon harganya lebih tinggi dibanding roda dua) dianggap "tidak mampu." Jadi roda dua berhak dapat subsidi, sedangkan roda empat tidak. Apakah begitu?"

B menukas, "Ya benar. Nampaknya demikian yang dimaksud sebagai salah satu wacana yang pernah didengungkan di Negeri Antah Berantah ini. Namun masalahnya adalah harga roda dua dan roda empat itu pun juga adalah sebuah spektrum, yang bahkan tumpang tindih. Ada kalanya harga roda dua yang paling mahal adalah kemungkinan sama dengan harga roda empat keluaran lama. Roda dua dan roda empat itu tidak dapat menciptakan batasan rigid antara "mampu" dan "tidak mampu." Pembedaan atau pemecah-belahan berdasarkan "jumlah roda" ini pun adalah sesuatu yang semu sifatnya."

Bapak C menambahkan, "Tetapi jangan lupa, bahwa diujung spektrum itu terdapat roda empat yang harganya memang sangat tinggi. Katakanlah roda-roda empat merk terkenal keluaran negara-negara adi-teknologi. Harganya memang sangat mahal. Dalam hal ini saya setuju bahwa roda empat semacam itu memang seharusnya "minum" BBM tidak bersubsidi, karena memang spesifikasinya demikian. Demi menjaga kualitas mesinnya. Pemilik roda empat mewah yang pintar dan tahu masalah mesin, tentunya tidak akan memilih BBM bersubsidi. Ini terutama demi kepentingannya sendiri bukan orang lain. Selain itu, ia juga telah beramal, yakni memberikan kesempatan para pemiliki roda empat dan juga roda dua yang tidak mewah agar dapat menikmati BBM tidak bersubsidi. Ini adalah masalah kesadaran semata yang harus terus dihembuskan. Para pemilik showroom di negara ini juga harus memberikan wawasan tersebut."

E menambahkan, "Ya benar saya setuju, saya pernah bekerja sebagai tenaga penjualan roda empat keluaran negara adi-teknologi, memang spesifikasinya roda empat tersebut harus "minum" BBM dengan oktan tinggi. Jika diberi "minum" oktan lebih rendah, akan berdampak pada mesin. Tetapi saya ada satu kasus begini. Seorang pemilik roda empat mewah sudah memberikan uang untuk membeli BBM tidak bersubsidi pada pengemudi yang dipercaya membawa roda empat tersebut. Namun demi mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri, ia justru membelanjakannya untuk BBM bersubsidi. Keuntungan itu lantas diambil ke kantungnya sendiri. Kecurangan itu akhirnya terbongkar, tetapi pemilik masih berbaik hati dan tidak memecat pengemudinya itu. Hanya saja sekarang harus meminta nota pembelian dari tempat pembelian BBM bersangkutan. Ini adalah masalah kecurangan yang mungkin saja banyak terjadi di tengah masyarakat."

A berkata, "Masih ada lagi yang mengatakan bahwa kenaikan harga BBM ini untuk memukul para penyelundup BBM dari Negeri Antah Berantah ke Negeri Atas Angin. Nampaknya langkah ini efektif. Bagus sekali jika para penyelundup itu dibuat rugi sehingga bangkrut."

Bapak C segera menjawab, "Saya mengakui bahwa penyelundupan itu memang ada. Namun mengapa karena kesalahan segelintir orang saja lalu ratusan juta orang lainnya yang harus menanggungnya? Ini adalah sesuatu yang tidak adil. Segelintir orang berbuat salah (yang seolah-olah tidak terjangkau hukum), namun tiba-tiba ratusan juta orang lain harus turut memikul akibatnya. Menurut saya seharusnya para penyelundup dan penimbun itu harus ditangkapi dan diadili terlebih dahulu. Kalau perlu dihadapkan ke depan regu tembak. Pemimpin pertama kita pernah menjanjikan hal itu bagi para penimbun dan penyelundup. Jadi masalah penyelundupan ini harus diselesaikan terlebih dahulu, bukannya dengan alasan menghantam para penyelundup lalu BBM dinaikkan. Rakyat jua lah yang menderita. Sementara itu, setelah BBM naik pun mereka masih dapat menikmati kekayaan yang diperolehnya dari penyelundupan selama berpuluh-puluh tahun di Negeri Antah Berantah ini."

E menambahkan  kembali, "Ada juga yang mengemukakan bahwa cadangan minyak bumi di Negeri Antah Berantah ini sudah menipis, sehingga Pemimpin Negeri Antah Berantah harus bergantung murni pada impor BBM. Itulah sebabnya dikatakan bahwa pembelian BBM dari luar ini membebani kas Negeri Antah Berantah. Itulah satu lagi alasan Pemimpin Baru menaikkan harga BBM."

Kini giliran B yang mencoba memberikan pandangannya, "Jika ini benar, maka ini adalah satu-satunya alasan yang masuk akal menaikkan harga BBM. Pemimpin Baru perlu memberikan penjelasan bagi hal ini. Kalau memang demikian halnya maka mau apa lagi? Namun sekali lagi, Pemimpin Baru dan pengikutnya perlu mengemukakan hal ini dengan jelas bagi rakyat. Jika perlu dengan data-data yang transparan. Ibaratnya seorang ayah yang usahanya sedang mengalami kemerosotan. Ia memberitahu hal itu secara baik-baik pada anak-anaknya. Marilah kita sekarang hidup lebih hemat. Makan yang secukupnya saja jangan berlebihan. Bukannya memecah belah anak-anaknya dengan mengatakan, "Ini gara-gara kakak tertua yang gendut makan lebih banyak" dan lain sebagainya. Itu bukan hal yang membangun. Ingat bahwa seluruh rakyat adalah ibaratnya anak bagi sang Pemimpin. Janganlah seorang ayah membeda-bedakan masing-masing anaknya. Apalagi memecah belah mereka."

Bapak C menjawab, "Memang menyedihkan bahwa Negara Antah Berantah ini sudah dirampok sekian ratus tahun kekayaan alamnya pada masa kolonialisme. Buku-buku tua warisan kakek saya yang masih berbahasa penjajah dengan jelas memaparkan hal ini. Eksplorasi dan penjarahan kekayaan alam negeri ini sudah berlangsung semenjak zaman penjajahan. Setelah Negeri Antah Berantah merdeka, maka itu pun masih dilanjutkan oleh perusahaan-perusahaan Negeri Atas Angin. Suatu bentuk kolonialisme dengan wajah baru. Kini ia telah terbaring kering dan renta. Cadangan minyaknya tinggal sedikit (jika itu benar). Kekayaan alamnya tinggal sedikit. Sungguh menyedihkan. Semoga Pemimpin Baru sadar dan jangan sampai mengundang para kolonialis berwajah baru ini masuk. Segenap persyaratan harus dipertimbangkan sehingga akhirnya Negeri Antah Berantah ini yang mendapatkan lebih banyak keberuntungan."

A menjawab, "Saya setuju bahwa kita memang harus berhemat. Kemarin saya melihat ada orang yang malas keluar dari mobil dan menyalakan mesin mobil sambil menghidupkan AC-nya selama berjam-jam. Itu adalah suatu pemborosan yang sia-sia. Kebiasaan seperti inilah yang harus kita ubah. Mungkin manajemen tempat-tempat hiburan dan pusat perbelanjaan perlu mengeluarkan peraturan agar hal seperti itu tidak boleh dilakukan di lingkungan tempat hiburan dan pusat perbelanjaan mereka. Ini adalah salah satu langkah penghematan menuju Negeri Antah Berantah yang lebih baik. Penghematan itulah kunci yang terbaik dalam mengatasi berbagai permasalahan."

Saya melihat ke jam tangan saya. Hari rupanya sudah semakin siang. Saya tidak bisa lagi terus menerus mengikuti obrolan mereka. Saya harus meneruskan perjalanan saya menikmati keindahan Negeri Antah Berantah ini. Tentunya dengan biaya transportasi yang lebih mahal, karena BBM di negeri ini baru saja naik. Namun hal tersebut tidak mengurungkan niat saya menjelajahi Negeri Antah Berantah ini.


TAMAT