KAMPANYE PEMILU: SOEATOE KENANGAN MASA LALOE
Ivan Taniputera
15 Maret 2014
Saya
hari ini diberitahu bahwa kita telah memasuki masa kampanye bagi
pemilihan umum 2014. Oleh karenanya, pada kesempatan kali ini saya ingin
mengajak para pembaca mengenang kembali masa kampanye pemilihan umum di
masa lalu. Tentu saja tulisan ini saya buat berdasarkan ingatan saya
saja, sehingga belum tentu terjamin kebenarannya. Tulisan ini tidaklah
dimaksud sebagai karya sejarah, melainkah hanya wahana mengenang masa
lalu semata.
Mungkin kampanye pemilihan umum
pertama yang saya ingat adalah tahun 1982. Saya ketika itu masih duduk
di kelas 2 sekolah dasar. Tentu saja saya belum begitu mengetahui apakah
sesungguhnya pemilihan umum itu. Yang saya ingat adalah pesertanya ada
tiga dan mereka identik dengan warna hijau, kuning, dan merah. Ketika
itu, kampanye dilakukan dengan cara pawai atau konvoi dengan menggunakan
kendaraan bermotor. Saya juga diberitahu bahwa jika para peserta
kampanye mengacungkan satu jari, maka kita harus pula mengacungkan satu
jari. Apalagi mereka mengacungkan dua jari, maka kita juga hendaknya
mengacungkan dua jari. Jikalau mereka mengacungkan tiga jari, maka kita
juga seyogianya mengacungkan tiga jari. Oleh karenanya, bagi anak SD
seperti saya, tentunya hal ini menjadi ajang yang baik dalam
meningkatkan kemampuan berhitung. Sayangnya, kita hanya berhitung sampai
tiga saja. Ajang kampanye di masa itu, adalah wahana tersebarnya
berbagai isu yang belum tentu terbukti kebenarannya. Konon ada orang
yang dipukuli oleh para peserta kampanye karena saat diminta
mengacungkan jari dengan jumlah tertentu, ia malah mengacungkan jari
dengan jumlah lainnya. Barangkali orang itu matanya kurang awas, atau
kurang pandai berhitung.
Saat Pemilu 1987 saya sudah
duduk di bangku SMP. Seingat saya kondisinya tidak jauh berbeda. Jumlah
kontestannya juga masih tiga dan mereka masih identik dengan warna
hijau, kuning, dan merah, serta satu jari, dua jari, dan tiga jari.
Karena sudah duduk di bangku SMP saya jadi mengetahui lebih banyak
mengenai Pemilu. Menurut guru saya, Pemilu adalah wujud penerapan
demokrasi di negara kita. Ini adalah fakta yang harus dihafalkan
baik-baik dan jika ulangan kita harus menjawabnya demikian. Bila tidak,
maka jawaban kita akan dianggap salah dan tentu saja ini mengurangi
nilai ulangan kita. Karena saya tidak mau nilai saya berkurang, maka
tentu saja saya mengingat baik-baik apa yang diajarkan oleh guru saya
tersebut. Yang pasti, kampanye Pemilu terkadang menimbulkan rasa was-was
dan ketakutan, karena terdengar isu adanya kericuhan di berbagai
tempat. Bahkan ada ajang lempar-lemparan batu. Saya waktu itu menduga
bahwa mungkin kericuhan itu adalah juga satu paket dengan demokrasi yang
diajarkan oleh guru saya tersebut. Mungkin acara lempar-lemparan batu
adalah juga bonus tambahan bagi demokrasi. Semasa berlangsungnya
kampanye kalau tidak salah ada kalanya sekolah sengaja dipulangkan lebih
awal. Alasannya adalah khawatir terjadinya kericuhan.
Pada tahun 1992, saya sudah duduk di bangku SMA. Waktu itu karena sudah membawa kendaraan sendiri, saya menyadari bahwa terkadang para peserta kampanye bersifat ugal-ugalan dalam berlalu lintas. Mereka berkendaraan dengan seenaknya sendiri dan terkadang membahayakan pengguna jalan lain. Mereka tidak mau mengalah. Tetapi yang pasti pada Pemilu 1992 pun jumlah kontestan juga masih sama, dengan warna serta jumlah acungan jari yang sama pula dengan sebelumnya. Berdasarkan isu yang saya dengar, waktu itu di daerah tertentu terdapat teriakan-teriakan bersifat rasis ditujukan pada suatu etnis. Namun ada yang mengatakan bahwa itu dilakukan hanya demi menjelekkan partai kontestan tersebut.
Pada tahun 1992, saya sudah duduk di bangku SMA. Waktu itu karena sudah membawa kendaraan sendiri, saya menyadari bahwa terkadang para peserta kampanye bersifat ugal-ugalan dalam berlalu lintas. Mereka berkendaraan dengan seenaknya sendiri dan terkadang membahayakan pengguna jalan lain. Mereka tidak mau mengalah. Tetapi yang pasti pada Pemilu 1992 pun jumlah kontestan juga masih sama, dengan warna serta jumlah acungan jari yang sama pula dengan sebelumnya. Berdasarkan isu yang saya dengar, waktu itu di daerah tertentu terdapat teriakan-teriakan bersifat rasis ditujukan pada suatu etnis. Namun ada yang mengatakan bahwa itu dilakukan hanya demi menjelekkan partai kontestan tersebut.
Saya
berangkat ke Jerman tahun 1993. Selama di Jerman saya mendengar beberapa
hal penting di tanah air, misalnya terpilih kembalinya Presiden
Soeharto sebagai presiden dengan Try Soetrisno sebagai wakilnya,
peristiwa 27 Juli, wafatnya Ibu Tien Soeharto, dan lain sebagainya.
Semuanya itu dapat diketahui dengan cepat karena adanya fasilitasi
internet. Ketika peristiwa 27 Juli terjadi, saya mendengarnya sewaktu
chatting dengan mIRC. Saya kembali ke tanah air awal tahun 1997 setelah
menamatkan pendidikan teknik mesin saya. Tahun 1997 itu juga masa-masa
kampanye. Saya masih ingat bahwa waktu itu bendera-bendera yang dipasang
didominasi oleh warna hijau dan kuning saja. Waktu bertanya mengapa
bendera yang merah jarang muncul, maka dijawab bahwa "merah sedang
terkena masalah." Ketika itu terdapat berbagai semboyan kampanye seperti
"Mega Bintang" dan lain sebagainya.
Tahun 1997 saya
sudah bekerja di sebuah perusahaan di Tangerang. Terjadi peristiwa
mengejutkan di hari akhir kampanye. Ketika itu, tidak banyak yang
menduga bahwa di hari terakhir itu akan terjadi kericuhan. Namun pada
kenyataannya meletuslah apa yang disebut "Amuk Banjarmasin." Pemilu
akhirnya kembali dimenangkan oleh kontestan yang memang sebelumnya sudah
diduga akan menang.
Pertengahan tahun 1997,
krisis ekonomi mendera negara kita. Mata uang Rupiah terjun drastis
terhadap Dollar. Kondisi menjadi panas dan mengkhawatirkan. Isu-isu yang
menakutkan merupakan santapan sehari-hari. Demonstrasi mahasiswa marak
di mana-mana. Pada bulan Mei 1998 meletus kerusuhan yang merupakan noda
dalam sejarah negara kita. Tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto
menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkan kedudukan
sebagai presiden pada wakilnya, B.J. Habibie. Waktu itu saya sedang ada
di bandara Ahmad Yani, Semarang, guna menjemput adik saya yang ketika
itu masih kuliah di Surabaya. Rasanya tidak percaya menyaksikan
kejatuhan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama kurang lebih 30
tahun.
Pada tahun 1999 berlangsung kembali pemilihan
umum, hanya saja kontestannya tidak lagi tiga, melainkan "banyak." Saya
sebut banyak, karena jumlah pastinya saya tidak ingat. Warnanya tidak
lagi hijau, merah, serta kuning, melainkan kini ada tambahan warna biru,
hitam, dan lain sebagainya. Yang pasti kali ini bendera dan posko
didominasi warna merah. Orang sudah menduga bahwa partai yang berbendera
merah itu akan memenangkan Pemilu.
Saya teringat
bahwa pemilu tahun 1999 itu adalah pemilu pertama saya ikuti. Ibu jari
kita ketika itu diberi tinta khusus, sehingga seseorang tidak dapat
memberikan suaranya lebih dari sekali.
Benar saja
bahwa yang menang kali ini adalah partai berbendera merah. Kini setelah
kemenangan kontestan berbendera merah, maka banyak yang menduga bahwa
calon presiden partai tersebut akan menang. Namun kenyataannya yang
menang adalah justru calon presiden dari partai lain. Meskipun demikian,
calon presiden partai berbendera merah akhirnya terpilih sebagai wakil
presiden. Waktu itu saya sudah bekerja di salah satu perusahaan multi
nasional di Jawa Timur. Menurut pemilik rumah kos saya, yang ketika
berlangsungnya penghitungan suara bagi pemilihan wakil presiden sedang
dalam perjalanan; di tengah jalan ia menyaksikan warga sedang menonton
penayangan kegiatan itu di di televisi, maka sewaktu penghitungan suara
menyebutkan nama calon presiden dari partai bendera merah tersebut, para
penonton bersorak-sorak memberikan dukungannya.
CATATAN:
Waktu itu pemilihan presiden dan wakil presiden belum menggunakan cara
langsung. Mekanismenya adalah rakyat memilih wakil-wakilnya. Selanjutnya
para wakil rakyat itulah yang memilih presiden beserta wakil presiden.
Kini presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Kampanye
pemilihan umum semenjak zaman reformasi ini nampaknya tidak begitu
banyak kericuhan lagi. Tetapi presiden yang terpilih setelah era
reformasi itu belakangan dilengserkan. Peristiwa ini mengakibatkan
pembakaran kantor partai berbendera kuning yang terletak di dekat
bundaran Waru, Sidoarjo. Kebetulan kantor tempat saya bekerja tidak jauh
dari sana. Waktu saya pulang kantor sekitar jam 18.00, saya masih
menyaksikan api berkobar dari gedung partai itu. Banyak orang masih
ramai berkerumun, namun mereka tidak merusak mobil yang lewat. Wakil
presiden yang berasal dari partai berbendera merah lalu menggantikannya
sebagai presiden.
Selama dua pemilu berikutnya, yakni
2004 dan 2009, kontestannya juga masih berwarna warni, dalam artian
lebih dari tiga warna. Kampanye pemilu juga relatif lebih tenang dan
tidak ada kericuhan berarti. Semoga tahun 2014 ini kampanye
pemilu juga berjalan tertib. Semoga para peserta kampanye dapat mematuhi
segenap undang-undang dan peraturan berlaku, sehingga tidak
membahayakan masyarakat lainnya. Semoga negara kita dapat semakin baik.