MEMBANTU TUGAS SEJARAH MURID SAYA: TENTANG LATAR BELAKANG DEKOLONISASI TIMOR PORTUGIS.
.
Ivan Taniputera.
5 Desember 2016.
.
Saya sebenarnya tidak mengajar mata pelajaran sejarah meski saya merupakan penggemar sejarah. Biasanya saya mengajar pelajaran eksakta (matematika, kimia, dan fisika). Namun karena ada salah seorang murid yang memerlukan penjelasan mengenai sejarah dekolonisasi Timor Portugis (Timor Timur), maka saya menulis artikel ini.
.
Dekolonisasi atau bergabungnya Timor Timur ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dilatar belakangi oleh perebutan kekuasaan oleh Jenderal Antonio de Spinola terhadap Presiden Dr. Antonio de Oliveire Salazar dengan Perdana Mengeri Marcel Caetano pada tanggal 25 April 1974. Peristiwa penggulingan ini dikenal sebagai Revolusi Bunga. Penguasa baru ini meniupkan angin demokrasi di Portugal. Angin kebebasan itu juga berhembus ke daerah koloni atau jajahan Portugal, yakni salah satunya adalah Timor Portugis, yang memunculkan partai-partai politik:
.
1) Uniao Democratica Timorense (UDT).
2) Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente (Fretilin).
3) Associacao Populer Democratica Timorense (Apodeti).
4) Kota
5) Trabalista.
.
Masing-masing partai itu mempunyai pandangan berbeda terhadap masa depan Timor Portugis. Partai UDT menginginkan agar Timor Portugis tetap berada di bawah kekuasaan Portugal. Fretilin menghendaki kemerdekaan penuh; sedangkan Apodeti menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27.
.
Pada mulanya, Apodeti, UDT, dan Fretilin membentuk koalisi, namun karena Fretilin makin condong ke kiri, pada tanggal 27 Mei 1975, koalisi itu pecah. UDT lalu berganti nama menjadi MAC (Movimento Anti Comunista). MAC lalu bergabung dengan Apodeti, Kota, dan Trabalista melakukan perlawanan terhadap Fretilin. Pada tanggal 31 Agustus 1974, ketua partai Apodeti, Arnaldo Dos Reis Araujo menyatakan kehendak partainya bergabung dengan RI, alasannya rakyat di kedua kawasan tersebut memiliki keterkaitan erat historis, geografis, dan etnis.
.
Bersamaan dengan ini, timbul niat Portugal melaksanakan dekolonisasi (melepaskan daerah jajahan) di Timor Portugis. Karena kawasan itu berbatasan langsung dengan Indonesia, maka pada tanggal 18 Oktober 1974 dilakukan pembicaraan antara Indonesia dan Portugal di Jakarta. Dalam pembicaraan yang berlangsung antara Presiden Soeharto dan menteri seberang lautan Portugal, Dr Antonio de Almeida Santos, Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa ia tidak mempunyai ambisi teritorial, menghormati hak rakyat Timor Portugis dalam menentukan nasibnya sendiri, dan jika ingin berbagung dengan RI, maka tidak mungkin bergabung sebagai negara, melainkan wilayah RI.
.
Sementara itu, keadaan di Timor Portugis menjadi makin kacau akibat persaingan berbagai partai politik. Akibat kekejaman teror Fretilin, pelarian dari Timor Portugis ke wilayah RI semakin meningkat hingga mencapai 50.000 orang. Untuk menyelesaikan masalah politik di Timor Portugis ini ditanda-tangani suatu MoU antara pemerintah Indonesia dan Portugal pada tanggal 5 November 1975.
.
Fretilin yang sudah mengalami kekalahan di hampir seluruh sektor mengalihkan perjuangannya ke diplomasi internasional. Pada tanggal 28 November 1975, pukul 05.55, Fretilin memaklumkan secara sepihak berdirinya Republik Demokrasi Timor Leste, dengan Xavier Do Amaral sebagai presidennya. Sebagai tandingan atas pengumuman tersebut, pada tanggal 29 November 1975 pimpinan keempat partai, yakni Apodeti, UDT, Kota, Trabalista mengumumkan penggabungan dengan RI di Balibo.
.
Kedudukan Fretilin makin terdesak dan pada tanggal 7 Desember 1975 seluruh kota Dilli berhasil dikuasai oleh pasukan gabungan keempat partai, Apodeti, UDT, Kota, dan Trabalista, dibantu para sukarelawan Indonesia, yang hadir atas permintaan rakyat Timor Portugis. Ketua partai Apodeti, Arnaldo Dos Reis Araujo, berhasil dibebaskan, dan keesokan harinya menyerukan agar bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh kawasan tersebut.
.
Demikianlah latar belakang bergabungnya Timor Portugis ke RI, yang selanjutnya menjadi provinsi ke-27 dengan nama Timor Timur.
.
Sumber: Sejarah Nasional Indonesia jilid VI, halaman 486-494.