BAHAYANYA TERLALU MENGANDALKAN LOGIKA DAN PEMIKIRAN DIRI SENDIRI
Artikel Dharma ke-22, Agustus 2013
Ivan Taniputera
11 Agustus 2013
Saya sering mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
Jika
kita menjatuhkan sebongkah batu besar dan kerikil dari ketinggian sama
serta pada saat bersamaan, manakah di antara keduanya yang akan tiba
terlebih dahulu di tanah, dengan catatan bahwa hambatan udara diabaikan?
Banyak orang akan langsung menjawab, "Batu besar!" Logika mereka adalah
sesuatu yang lebih berat, pasti akan lebih cepat gerakannya, sehingga
tiba di tanah terlebih dahulu. Namun logika semacam ini, walau terdengar
"masuk akal" bagi sebagian orang adalah salah besar. Batu besar dan
kerikil akan tiba pada saat bersamaan di tanah, karena kecepatan
jatuhnya benda tidaklah bergantung pada massa atau beratnya.
Pertanyaan
berikutnya adalah jika kita mengelindingkan silinder logam dan silinder
kayu berdimensi sama di sebuah bidang miring secara bersamaan serta
dari ketinggian sama, manakah yang akan tiba lebih dahulu di bawah
bidang miring? Di sini kita menganggap bahwa tidak terjadi selip atau
menggelincir. Banyak orang menjawab silinder logam akan tiba terlebih
dahulu di bawah bidang miring. Alasannya karena silinder logam lebih
berat. Ini juga pemikiran keliru. Kedua silinder akan tiba pada saat
bersamaan.
Ini memperlihatkan betapa berbahayanya
berpegang pada logika kita sendiri. Logika saja terbukti tak memadai
dalam menjawab segala hal. Buktinya banyak orang memberikan jawaban
keliru. Kita juga memerlukan pemahaman terhadap prinsip di balik
bekerjanya segala sesuatu. Dalam kasus benda jatuh dan silinder pada
bidang miring tadi, kita memerlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsip
fisika.
Semasa Abad Pertengahan, orang menganggap bahwa
matahari yang mengelilingi bumi. Alasannya, matahari memang nampak
bergerak di langit. Namun pada kenyataannya pandangan inipun keliru.
Bahkan orang yang menyatakan kebenaran ilmiah justru mendapatkan hukuman
atau kecaman dari lembaga keagamaan tertentu.
Fakta
sejarah tersebut kembali membuktikan bahwa terlalu melekat atau
berpegang pada apa yang kita anggap benar adalah sangat berbahaya. Kita
perlu memiliki wawasan mendasar di balik bekerjanya segala sesuatu.
Inilah yang disebut wawasan kebijaksanaan. Wawasan kebijaksanaan sejati
disebut panna dalam Agama Buddha.
Banyak orang merasa sudah memiliki panna
dan berdebat dengan sengit. Mereka dengan penuh semangat menyerang
lawan debatnya, bahkan jauh lebih bersemangat ketimbang pasukan dalam
Perang Dunia II yang paling bersemangat. Karena merasa diri paling
benar, lantas menyerang habis-habisan lawan berdebatnya. Padahal kita
telah membuktikan bahwa apa yang kita rasa sangat benar dan sesuai
logika kita, belum tentu benar. Melekat pada suatu pandangan adalah
sangat berbahaya. Itulah sebabnya, Hyang Buddha mengajarkan agar kita
tidak melekat pada pandangan apapun. Barulah dengan demikian, kita
menjadi orang yang bebas.
Semoga bermanfaat.