MONSTER
Artikel Dharma ke-28, Agustus 2013
Ivan Taniputera
17 Agustus 2013
Jika membaca kitab Bardo Thodol,
pustaka Tibet yang membahas mengenai pengalaman proses kematian, kita
mendapati bahwa selama menjalani rangkaian proses kematian, seseorang
akan menyaksikan berbagai makhluk yang nampak mengerikan. Barangkali
perjalanan spiritual kita dalam mengenal sang diri juga akan menjadi
proses mengerikan pula. Dalam perjalanan tersebut kita barangkali akan
menjumpai banyak "monster" atau "makhluk-makhluk mengerikan." Semua itu
tak lain dan tak bukan melambangkan penyangkalan-penyangkalan diri,
sifat-sifat buruk, kenangan-kenangan tak menyenangkan, trauma, beserta
segenap hal-hal negatif dalam diri kita.
Banyak
orang memiliki sifat-sifat dan pikiran buruk yang ingin mereka
sembunyikan. Sebagai contoh, seorang tokoh panutan masyarakat yang
berupaya menyembunyikan pikiran-pikiran beserta tabiat buruk agar
reputasi mereka di hadapan masyarakat tidak rusak. Semua ini akan
direpresi sedemikian rupa, agar tak tampil ke permukaan. Manusia juga
memiliki berbagai penyesalan yang tersimpan dalam relung batinnya.
Trauma-trauma masa kecil barangkali masih menimbulkan jejak luka
mendalam dalam alam kesadaran seseorang. Belum lagi segenap
kenangan-kenangan sedih dan mengerikan dalam batin seseorang.
Apabila
kita berupaya dengan sungguh-sungguh mengenal hakikat sang "aku," maka
tak pelak lagi Anda akan berhadapan dengan semua "monster" atau
"makhluk-makhluk mengerikan" tersebut. Meskipun demikian, lari atau
bersembunyi dari mereka juga tak menyelesaikan masalah. Banyak orang
berupaya melarikan diri dari seluruh "monster" ataupun "makhluk-makhluk
mengerikan" tersebut. Mereka lalu mengembangkan mekanisme penyangkalan
diri. Meskipun demikian, inipun adalah juga dukkha.
Ajaran
Hyang Buddha tidak mengajarkan kita agar lari atau bersembunyi dari
segenap "monster" atau "makhluk mengerikan." Kita hendaknya dengan penuh
kejujuran dan kerelaan menghadapinya. Tidak perlu kita merasa malu bila
kita masih memiliki kepribadian-kepribadian buruk, trauma, kesedihan,
dan lain sebagainya. Yang penting kita harus jujur. Saya dengan jujur
mengatakan bahwa saya masih memiliki amarah, kebencian, iri hati, dan
sifat-sifat buruk lainnya. Kita harus mengakuinya dengan jujur. Barulah
dengan demikian, kita dapat mengembangkan jiwa atau kepribadian yang
sehat.
Hyang Buddha juga tak mengajarkan agar kita merepresi segenap keburukan dalam diri kita. Sesuatu yang direpresi pada dasarnya akan tetap ada, hanya saja berada dalam keadaan laten. Namun jika kita menyadarinya, maka segenap keburukan-keburukan tersebut akan sanggup ditransformasikan menjadi hakikat mulia. Hanya menyadari, itulah jalan menuju pengenalan terhadap sang "aku."
Semoga bermanfaat.
Hyang Buddha juga tak mengajarkan agar kita merepresi segenap keburukan dalam diri kita. Sesuatu yang direpresi pada dasarnya akan tetap ada, hanya saja berada dalam keadaan laten. Namun jika kita menyadarinya, maka segenap keburukan-keburukan tersebut akan sanggup ditransformasikan menjadi hakikat mulia. Hanya menyadari, itulah jalan menuju pengenalan terhadap sang "aku."
Semoga bermanfaat.