KISAH MENGHARUKAN MENGENAI BALAS BUDI
Artikel Dharma ke-24, Agustus 2013
Ivan Taniputera
13 Agustus 2013
Ini
juga merupakan peristiwa nyata yang saya alami sendiri. Saya baru saja
mengunjungi sebuah toko guna membeli barang-barang keperluan
sehari-hari. Ternyata toko tersebut tidak menyediakan barang yang saya
butuhkan. Oleh karenanya, saya lantas berpindah ke toko yang berada di
seberangnya. Kebetulan di toko pertama tadi terdapat seorang tukang
parkir. Nampak bahwa ia menderita keterbelakangan mental atau Down
Syndrome. Saya lantas memindahkan mobil saya ke seberang dan memberikan
uang ke tukang parkir tersebut. Toko yang berada di seberang jalan
merupakan toko berhalaman luas, sehingga tidak memerlukan tukang parkir.
Setelah menyelesaikan acara berbelanja, saya memasuki mobil saya, dan siap memundurkan mobil saya. Ternyata waktu itu jalanan ramai, sehingga saya agak kesulitan mengeluarkan mobil saya. Tanpa dinyana-nyana, tukang parkir yang ada di seberang jalan itu berlari membantu saya mengatur lalu lintas di depan toko, sehingga akhirnya saya dapat mengeluarkan mobil saya.
Barangkali ini merupakan sebuah kisah kecil yang tak berarti. Barangkali para pembaca akan menganggap ini hanya sebuah kisah yang terlalu sederhana dan tak bermakna apa-apa. Namun dari tukang parkir tersebut saya belajar banyak hal, yakni mengenai balas budi. Karena saya sudah membayarnya dan saya saat itu sudah berada di "luar daerah kerjanya," maka bisa saja dia tak peduli. Tetapi ia justru berlari membantu saya. Ia bisa saja tidak peduli, namun ia memilih peduli.
Seseorang yang memiliki keterbelakangan mental bisa mengetahui prinsip balas budi, sedangkan orang-orang yang "normal" kerapkali melupakan prinsip balas budi. Jika demikian halnya, siapakah yang lebih terbelakang? Marilah kita tanyakan pada diri sendiri. Saya bersyukur bahwa saya tidak dilahirkan dengan keterbelakangan mental. Dengan bersyukur saya mengerti indahnya kehidupan. Dengan mengerti indahnya kehidupan saya mengerti apa arti kasih.
Dharma yang bermanfaat tidak perlu terlalu melambung tinggi, melainkan ada di hadapan dan sekitar kita.
Semoga dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua.
Setelah menyelesaikan acara berbelanja, saya memasuki mobil saya, dan siap memundurkan mobil saya. Ternyata waktu itu jalanan ramai, sehingga saya agak kesulitan mengeluarkan mobil saya. Tanpa dinyana-nyana, tukang parkir yang ada di seberang jalan itu berlari membantu saya mengatur lalu lintas di depan toko, sehingga akhirnya saya dapat mengeluarkan mobil saya.
Barangkali ini merupakan sebuah kisah kecil yang tak berarti. Barangkali para pembaca akan menganggap ini hanya sebuah kisah yang terlalu sederhana dan tak bermakna apa-apa. Namun dari tukang parkir tersebut saya belajar banyak hal, yakni mengenai balas budi. Karena saya sudah membayarnya dan saya saat itu sudah berada di "luar daerah kerjanya," maka bisa saja dia tak peduli. Tetapi ia justru berlari membantu saya. Ia bisa saja tidak peduli, namun ia memilih peduli.
Seseorang yang memiliki keterbelakangan mental bisa mengetahui prinsip balas budi, sedangkan orang-orang yang "normal" kerapkali melupakan prinsip balas budi. Jika demikian halnya, siapakah yang lebih terbelakang? Marilah kita tanyakan pada diri sendiri. Saya bersyukur bahwa saya tidak dilahirkan dengan keterbelakangan mental. Dengan bersyukur saya mengerti indahnya kehidupan. Dengan mengerti indahnya kehidupan saya mengerti apa arti kasih.
Dharma yang bermanfaat tidak perlu terlalu melambung tinggi, melainkan ada di hadapan dan sekitar kita.
Semoga dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua.