DUA MACAM CARA DALAM MENGHADAPI HAWA NAFSU KEINGINAN
Artikel Dharma ke-1, Agustus 2013
Ivan Taniputera
1 Agustus 2013
Saya
terdorong menulis mengenai renungan ini sewaktu teringat mengenai kisah
Odyseus dalam mitologi Yunani. Konon Odyseus beserta rombongannya
mendekati pulau yang dihuni peri-peri Siren. Konon suara peri-peri ini
sangat merdunya, sehingga sanggup memikat para pelaut mendekati pulau
yang mereka huni. Setelah mereka turun ke pulau, maka peri-peri tersebut
akan menyantap mereka.
Odyseus lantas memerintahkan agar para anak buahnya menyumbat telinga mereka rapat-rapat, agar tak dapat mendengar suara peri-peri Siren. Namun Odyseus sendiri merasa penasaran dan ingin mendengarkan suara para peri tersebut. Oleh karenanya, ia lantas memerintahkan anak buahnya agar merantai dirinya kuat-kuat di kapal. Ia mengatakan bahwa seberapa kuat dirinya meronta, agar jangan dilepaskan dari tiang, sampai jaraknya cukup jauh dari pulau yang dihuni para peri Siren.
Perintah itupun dilaksanakan. Para anak buahnya tenang saja sewaktu mendekati pulau yang dihuni para peri Siren, karena mereka memang tak mendengar apapun. Sedangkan Odyseus yang diikat pada tiang berusaha meronta-ronta karena terpikat oleh nyanyian peri Siren. Ia ingin melepaskan dirinya dan jika mungkin berenang di laut menuju pulau tersebut. Namun rantai berhasil mengikatnya kuat-kuat, sehingga ia tak sampai menjadi santapan para peri Siren.
Apakah makna kisah di atas dari sudut pengendalian diri?
Orang-orang yang masih belum dapat mengendalikan dirinya, maka lebih baik ia menjauhkan atau mengalihkan panca indranya dari sumber-sumber hawa nafsu keinginan. Jika tidak, maka dengan mudah ia akan terseret olehnya dan menuju kehancuran dirinya. Ini dilambangkan dengan para anak buah kapal yang menutup pintu indriya pendengarannya agar tak terpikat oleh nyanyian para peri Siren.
Sebaliknya, seseorang boleh menyaksikan segenap kesenangan duniawi tersebut, asalkan memiliki pengendalian diri yang kuat. Adapun pengendalian diri yang kuat ini dapat dicapai dengan tiga hal; yakni:
1.Disiplin moralitas (shila)
2.Pemusatan pikiran yang baik (samadhi)
3.Kebijaksanaan (panna)
Meskipun saya menulis padanan katanya dalam bahasa Pali. Namun tulisan ini sebenarnya tidak ditujukan pada penganut agama tertentu saja, melainkan berlaku secara universal.
Dengan memiliki pengendalian diri yang kuat, seseorang dapat menyaksikan segenap sumber hawa nafsu keinginan duniawi tersebut, namun tak terseret olehnya. Ia dapat melihat hakikat segenap sumber hawa nafsu keinginan tersebut.
Namun, jika kita belum sanggup, maka lebih baik kita menjauhkan diri darinya. Saya akan mengambil contoh diri saya sendiri. Saya masih mudah marah, oleh karenanya saya berupaya menjauhkan diri dari sumber-sumber kemarahan tersebut. Saya menghindari sumber-sumber yang sekiranya dapat menjadi sumber kemarahan saya.
Demikian, semoga dapat menjadi bahan perenungan yang bermanfaat.
Odyseus lantas memerintahkan agar para anak buahnya menyumbat telinga mereka rapat-rapat, agar tak dapat mendengar suara peri-peri Siren. Namun Odyseus sendiri merasa penasaran dan ingin mendengarkan suara para peri tersebut. Oleh karenanya, ia lantas memerintahkan anak buahnya agar merantai dirinya kuat-kuat di kapal. Ia mengatakan bahwa seberapa kuat dirinya meronta, agar jangan dilepaskan dari tiang, sampai jaraknya cukup jauh dari pulau yang dihuni para peri Siren.
Perintah itupun dilaksanakan. Para anak buahnya tenang saja sewaktu mendekati pulau yang dihuni para peri Siren, karena mereka memang tak mendengar apapun. Sedangkan Odyseus yang diikat pada tiang berusaha meronta-ronta karena terpikat oleh nyanyian peri Siren. Ia ingin melepaskan dirinya dan jika mungkin berenang di laut menuju pulau tersebut. Namun rantai berhasil mengikatnya kuat-kuat, sehingga ia tak sampai menjadi santapan para peri Siren.
Apakah makna kisah di atas dari sudut pengendalian diri?
Orang-orang yang masih belum dapat mengendalikan dirinya, maka lebih baik ia menjauhkan atau mengalihkan panca indranya dari sumber-sumber hawa nafsu keinginan. Jika tidak, maka dengan mudah ia akan terseret olehnya dan menuju kehancuran dirinya. Ini dilambangkan dengan para anak buah kapal yang menutup pintu indriya pendengarannya agar tak terpikat oleh nyanyian para peri Siren.
Sebaliknya, seseorang boleh menyaksikan segenap kesenangan duniawi tersebut, asalkan memiliki pengendalian diri yang kuat. Adapun pengendalian diri yang kuat ini dapat dicapai dengan tiga hal; yakni:
1.Disiplin moralitas (shila)
2.Pemusatan pikiran yang baik (samadhi)
3.Kebijaksanaan (panna)
Meskipun saya menulis padanan katanya dalam bahasa Pali. Namun tulisan ini sebenarnya tidak ditujukan pada penganut agama tertentu saja, melainkan berlaku secara universal.
Dengan memiliki pengendalian diri yang kuat, seseorang dapat menyaksikan segenap sumber hawa nafsu keinginan duniawi tersebut, namun tak terseret olehnya. Ia dapat melihat hakikat segenap sumber hawa nafsu keinginan tersebut.
Namun, jika kita belum sanggup, maka lebih baik kita menjauhkan diri darinya. Saya akan mengambil contoh diri saya sendiri. Saya masih mudah marah, oleh karenanya saya berupaya menjauhkan diri dari sumber-sumber kemarahan tersebut. Saya menghindari sumber-sumber yang sekiranya dapat menjadi sumber kemarahan saya.
Demikian, semoga dapat menjadi bahan perenungan yang bermanfaat.